(Ilustrasi: maritimnews.com)

Oleh Damar PY

Aku tak segan pada lautan, peduli setan apa kata orang. Kulangkahi luasnya lautan, yang penting hasrat hati terpenuhi jadi kepuasan tersendiri, walau nyawa jadi taruhan.

Aku tak perlu gelisah wahai musuhku, bangsa pelaut. Aku tak gentar pada cipratan bola meriam menjelma ombak yang berusaha menelan keberanianku. Allahu Akbar, mari kobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah haus darah dari tanah nenek moyang, tanah Nusantara.

Wahai pasukan Portugis, di hadapanmu, lawanmu pedangnya melingkar merupa ular tangannya putih suci, menunggu dinodai darahmu, Lihatlah!

Beribu orang tenggelam tak berarti di mata lautan menjelma tangisan angin memecah dua paru-paru. Aku bersumpah pedang amarahku akan menancap di jantungmu dari peperangan tatapan mata lautan.

Wahai Raden Fatah, mertuaku, aku tak akan mengecewakanmu karena mewasiatkan tahtamu kepadaku, kunyatakan ekspedisi jihad keduaku dimulai.

Aku tidak akan gentar melawan musuh, meskipun mereka bagai jelmaan iblis karena aku percaya sepenuh hati. Allah akan bersama orang-orang yang berjihad di jalannya  karena seluruh sekutuku percaya pada kepemimpinanku. Harus ada kerja sama dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di Nusantara jika ingin memenangkan peperangan ini, kami pasti berhasil melawan musuh terbesar dan terkuat, bangsa Portugis.

Ketika kami bersatu senjata yang bagaikan hantu akan musnah oleh semangat persaudaraan, mari bersama melenyapkan bangsa yang telah mendzalimi rakyat Nusantara, saudara kami dari laut, dan muka bumi Nusantara.

"AllahuAkbar...," teriakku sambil mengangkat keris tinggi-tinggi sampai terpantul cahaya matahari di ujungnya.

Mereka adalah bangsa manusia yang tak punya perasaan, mereka mahluk berdarah dingin yang buta nuraninya, kekejaman mereka melebihi gabungan hantu dan raksasa, mereka bahkan tega membongkar kuburan rakyat Malaka untuk mendapat bahan bangunan untuk membangun benteng pertahanan. Bagaimana jika mereka yang merasakanya, kuburan mereka dibongkar saat sudah meninggal dan tak dapat beristirahat dengan tenang karena di atas rumah mereka dibongkari orang yang masih hidup?

Di tengah kebisingan, ada seorang laskar yang menepuk kakiku. Aku terkesiap iba melihat penampilannya yang terlihat payah, satu tangannya sudah hilang begitu pun kakinya sudah sirna terkena bola meriam. Penuh darah, wajahnya sudah tak lagi berbentuk, apalagi tubuhnya hanya sanggup merangkak. Ia memohon padaku untuk menghentikan semua ini dan pulang kembali ke Kerajaan Demak. Sebenarnya aku ingin menurutinya, tapi ambisiku masih belum padam, aku sudah sampai sejauh ini. Aku tak mau melepaskan ambisiku untuk alasan apapun jua.

"Wahai Pati Unus mari kita menyerah saja, tidak mungkin kita akan berhasil dengan kondisi seperti ini, ayo kita lupakan saja semua ambisi kita," ujar seorang laskar asal Cirebon yang terlihat tak berdaya dengan terengah-engah.

"Tidak. Aku tidak akan mengecewakan orang orang yang telah percaya padaku, terutama sultanmu yang telah percaya padaku untuk melindungi putrinya dan menjadi suami yang bertanggung jawab. Kini aku adalah raja, rakyatku bergantung padaku, mau jadi apa kerajaanku jika punya pemimpin yang tak tahan banting," jawabku sambil teriak karena tertutup suara bola meriam yang bagai sambaran bunyi-bunyi guntur. 

Aku tidak akan mundur selangkahpun. Aku sudah sampai sejauh ini, tak akan kusia-siakan semua tenaga yang telah kukerahkan dari siang dan malam sampai aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan strategi mengusir bangsa Portogis dari tanah yang bukan milik mereka.

"Terus berjuang, kita selamatkan saudara-saudara kita yang menderita di Malaka," teriakku dengan semangat yang menggelora.

Ini kedua kalinya aku melakukan perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Dulu aku pernah melakukannya juga saat masih menjadi seorang adipati, tetapi aku mengalami kegagalan yang pahit. Benar-benar pahit. Kegagalan ini karena aku sepertinya kurang persiapan.

Tetapi semua kenangan buruk itu menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi, yang rakyatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Selain itu, aku juga menjadikan Jepara sebagai pabrik kapal tempur dan aku juga melengkapinya dengan senjata api cetbang, senjata yang sudah dipakai nenek moyangku sejak zaman Kerajaan Majapahit, untuk menandingi meriam meriam bangsa Portugis yang bagaikan amukan harimau.

Ya, dulu aku memang kalah tapi aku bukan keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali, setidaknya kuharap begitu. Sekarang berbeda, aku mengenakan mahkota. Ya benar aku sekarang adalah raja yang memiliki kekuatan lebih besar, tapi dengan tanggung jawab yang besar pula. Akulah raja yang pemberani, raja yang memimpin peperangan secara langsung dengan langkah pasti melindungi kerajaanku, tanpa takut kehilangan nyawa, dan kekhawatiran akan meninggalkan kekuasaan sebuah kerajaan di dunia.

Meskipun dulu aku dikalahkan armada Portugis, aku berlayar pulang dan mendamparkan kapal perang sebagai monumen perjuangan orang-orang yang disebut paling berani di dunia. Aku memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak.

Seusai bermahkota, aku berhasarat membawa seluruh umat Muslim di Nusantara untuk menguasai perekonomian maritim agar dapat menguasai dunia, biar bagaimanapun Malaka harus direbut kembali. Kalian harus meneruskan perjuanganku dalam merebut Malaka karena saat jalur laut pulau Malaka direbut Portugis, maka rakyat Nusantara tidak dapat melewatinya untuk berdagang menuju seluruh dunia.

***

Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, kapten armada yang menghalau armadaku, menuliskan,   

"Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis) yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu koin tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka."

— Fernão Pires de Andrade, Suma Oriental.

***

Kini, semua kapal yang susah payah dirakit telah selesai. Aku memutuskan untuk mengikuti ekspedisi secara langsung. Tetapi memang sulit menjaga harmoni sekutu-sekutuku yang terdiri dari Cirebon, Banten, Palembang, Riau, hingga Aceh dan Johor, serta kerajaan-kerajaan lainya di tanah Nusantara, karena pasti mereka punya kepentingan yang berbeda-beda. Terutama Kerajaan Tuban yang berkhianat pada kami.

Mereka sengaja datang paling akhir dan membuat kami kekurangan kekuatan. Mungkin itu semua karena dulu Tuban bekas wilayah taklukan Kerajaan Majapahit dan terkadang mengalami hubungan yang kurang harmonis dengan Majapahit. Itu sebabnya mereka tak mau menolong Demak yang dianggap sebagai penerus Majapahit.

Meskipun begitu, pasukanku banyak menilai aku berhasil menyatukan kembali armada dan kekuatan laut Nusantara yang sempat mati suri sejak Majapahit runtuh. Lautan mahaluas selalu meminta korban dan menguji keikhlasan dalam berjihad. 

Kukerahkan semua sisa-sisa tenagaku untuk memimpin mereka menurunkan perahu dan merapatkannya ke Pantai Malaka di tengah suasana pertempuran, sambil dengan susah payah memegangi perahu yang bergoyang-goyang karena air laut telah terkena cipratan air bola-bola meriam yang berserakan memenuhi lautan.

"Tetapi...argh sial, tamatlah hidupku hari ini, tamat pula semua ambisiku. Aku tak akan bisa melakukan apa-apa lagi untuk keselamatan rakyatku," desahku saat tertembak bola meriam dan seketika itu mataku tidak pernah terbuka lagi untuk selamanya.

Saat aku hampir tewas, sekilas aku mendengar suara orang-orang yang menangisiku, mereka semua orang-orang malang, ya benar-benar malang. Jika aku masih sanggup bangun aku akan berusaha menghapus air mata sisa-sisa laskar yang masih selamat dari pertempuran dahsyat, minimal dengan senyumanku.

Aku mungkin sudah tidak akan menginjakkan kaki di bumi ini lagi, tetapi semangat jihad untuk melindungi dan menjaga tanah Nusantara dari bangsa asing yang kafir tak akan pernah padam dan tak akan berhenti sampai di sini.

Aku memang sangat menyesal karena gagal kedua kalinya dalam merebut kembali Malaka, tetapi yang terpenting setidaknya aku telah melakukan yang terbaik yang aku bisa sebagai seorang pemimpin dan berusaha mati syahid di jalan Allah, tekad yang kutanamkan, semua keyakinan yang tertanam dalam hatiku dalam-dalam.

Untuk Raden Fatah dan orang-orang yang percaya pada komandoku, aku minta maaf karena telah mengecewakan kalian dan kurasa aku terlalu percaya diri dan terlalu merasa mampu mengusir lawan dari Malaka. Armada gabungan kerajaan Islam telah mengalami banyak kekalahan kemudian memutuskan untuk mundur di bawah komando Raden Hidayat, orang kedua dalam komando ini.

Raden Hidayat memelukku erat-erat dan membuat tubuhku kebasahan dengan tetesan air matanya  "Patih Unus! Jangan tinggalkan kami siapa yang akan memimpin armada kita," tangis Raden Hidayat.

"Perjuangan kita tak selesai di sini aku sudah berkali-kali mengatakannya, aku masih percaya padamu dan semua orang di sini yang suatu saat akan akan mengusir tirani asing yang kejam dari tanah Nusantara," hanya itu kata-kata terakhir yang yang mampu kuucapkan dari lidahku dengan susah payah sebelum meninggalkan semuanya.

***

Raden Hidayat berteriak histeris, "Oh Pati Unus tidak!!!"

Pati Unus memejamkan mata dan telah tiada di pelukannya. Anak Pati Unus, Raden Abdullah pun tak kuasa menahan tangisnya.

"Sekarang sudah selesailah semua, tak ada guna tangis kita. Kita semua gagal dan ayahku sekarang tak lebih dari sekadar jenazah, semua yang kita dan ayahku bangun akan terlupakan begitu saja tenggelam dalam lautan, sudah menguaplah semua semangat dan ambisiku dan uap itu berubah menjadi awan melayang di atas langit bagaikan mimpinya yang hanya menjadi angan-angan. Sudah cukup, aku tidak tega lagi memandangi wajah mayatnya yang penuh kekecewaan," tangis Raden Abdullah yang tak kuasa menahan kesedihannya.

Raden Hidayat menepuk pundak Raden Abdullah. "Tidak, itu semua tidak benar, raganya memang akan dilupakan dan nanti akan membusuk dan dimakan sekumpulan belatung di bawah kuburnya, tetapi semua yang ia tinggalkan dan wariskan kepada kita tak akan pernah lenyap. Biarlah sekarang ia berderai air mata, tapi suatu saat nanti saat ruhnya datang kepada kita. Ia akan tersenyum dan tertawa bahagia jika kita menerapkan semua yang dia ajarkan di dalam jiwa kita. Ia akan pandangi kita semua bersatu padu tanpa melihat perbedaan satu sama lain dan saling menghargai sambil bergandengan tangan, membuat lingkaran yang sangat besar."

Raden Abdullah hanya berusaha tersenyum mendengar kata-kata Raden Hidayat. Sayang, Demak tidak pernah mengirim armada lagi ke Malaka di bawah penerus Pati Unus, bukan Raden Abdullah, melainkan Trenggana. Demak melupakan kekuatan maritimnya.

Depok, Kamar Atap 2020/Malaka 1521









Post a Comment

Lebih baru Lebih lama