"Annem her zaman yetersizliklerinden şikayet eden insanların hiçbir şeyi değiştiremeyeceğini söylerdi...
Ibuku berpesan orang yang selalu mengeluhkan ketidakmampuan niscaya tak akan dapat mengubah apapun..."
(Hasyi Ozgur Bhirawa Sanca IX)
Aku dan ibuku seakan mewakili patung emas yang telah menjadi lambang negara sekaligus kebanggaan Kerajaan Miggleland. Patung itu berada tepat di pusat ibu kota Miggleland, Rumeli Hisari. Patung tersebut berbentuk seperti seorang ibu sedang mengendong anaknya yang masih bayi, melambangkan kasih yang tak akan pernah padam, bahkan oleh terjangan waktu.
Patung ibu itu terlihat diangkat dan disanjung seperti ratu oleh patung-patung penguin emas yang membungkuk di kakinya. Ibu dan anaknya mengenakan busana yang hampir menutupi seluruh wajahnya dari salju, seperti Suku Nenets Eskimo yang sedang memburu ikan tersembunyi di balik lapisan es sungai Kutub Utara.
Setelah perang nuklir berakhir, sebenarnya bumi kembali menjadi planet yang layak huni. Hampir sama sehatnya dengan jutaan tahun lalu. Namun dampak perang nuklir masih sangat terasa terutama di sebagian belahan bumi, khususnya di Miggleland. Kerajaan ini sudah bukan lagi dunia manusia, namun menjadi dunia para siluman. Lebih tepatnya manusia setengah siluman, seperti diriku.
Benda-benda dan kendaraan pribadi sudah sangat canggih, berbanding terbalik dengan fasilitas dan kendaraan umum yang masih kuno. Bahkan terkadang fasilitas umum seperti angkutan kota menggunakan sisa-sisa peralatan perang nuklir.
Aku mencium tangan ibu. Ia mengizinkanku pergi ke sekolah dan berpetualang di dunia yang sangat mengerikan bagiku. Biasanya ibuku tidak pernah percaya anak autis dengan sindrom asperger sepertiku dapat menjaga dan mengurus dirinya sendiri di dunia luar sana tanpa perlindungan orang tua.
Tapi entah mengapa belakangan ini ibuku mulai percaya aku bisa menjaga dan melindungi diri sendiri. Satu-satunya hal yang ingin kutanyakan pada ibu selama ini adalah, “Sebenarnya aku dilindungi dari apa?”
Namaku adalah Hasyi Ozgur. Ozgur bermakna kebebasan. Aku ingin memiliki kebebasan untuk meniti, mengurus, dan melindungi hidupku sendiri. Satu-satunya impian seluruh anak autis sepertiku di dunia ini hanyalah bebas hidup mandiri, tanpa harus bergantung pada siapapun. Memang banyak anak autis yang ketika dewasa tidak bisa mandi sendiri tanpa bantuan orang tuanya. Bahkan aku sendiri mungkin juga tidak dapat mandi dengan cukup bersih tanpa arahan langsung dari ibuku.
Aku sangat membenci kedewasaan. Ibuku selalu mengatakan jika anak autis sepertiku tumbuh dewasa mentalnya dan sifatnya yang cengeng akan tetap melekat, sama seperti anak kecil.
Kedewasaan juga bermakna aku harus menghadapi perubahan untuk mengurus diriku sendiri. Sedangkan anak autis sepertiku sangat membenci perubahan seperti tantangan baru. Kami menyukai hal sama yang dilakukan berulang-ulang. Penyihir abadi mungkin bersemayam di tubuh anak-anak autis di seluruh dunia. Membuat mereka menjadi anak kecil selamanya dan takut keluar dari zona nyaman, seperti aku yang seolah terpisah dengan jarak tak terbatas dari dunia nyata.
Aku berharap menjadi anak kecil selamanya. Sehingga aku tidak harus takut dari dunia luar yang sangat mengerikan. Aku tidak percaya ketika ibuku selalu mengatakan jika kerajaan ini adalah negeri yang dijanjikan bagi kebahagiaan anak autis sepertiku. Mungkin karena janji itu memang belum ditepati, aku tidak terlalu merasa bahagia hidup di kerajaan ini.
Aku langsung menutup wajahku dengan masker yang dijahit sendiri oleh ibuku. Selain karena aku anak yang mudah sakit dan memiliki penyakit pernapasan, aku juga mengenakan masker untuk menutup diri dan mengurangi interaksi dengan orang lain. Setiap hari seakan aku merasa terus menghirup polusi yang membuatku sesak napas.
Ketika berangkat sekolah, aku dibekali sebuah anak panah besi oleh ibuku. Ibuku selalu menyuruhku berburu penguin di sungai yang membeku setelah pulang sekolah. Aku yang mencari daging penguin dan ibuku yang memasak. Ibuku selalu bahagia dan terlihat bangga setiap aku mendapatkan binatang buruan. Namun ibu melarangku menangkap beruang kutub sendirian karena itu sangat berbahaya.
Harga daging penguin sangat mahal jika bukan di musim beranak-pinak. Jadi memburu penguin di sungai adalah pilihan terbaik untuk mendapatkan makanan tanpa mengeluarkan uang. Apalagi saat ini ibuku juga yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Aku mengenakan sebuah jas hitam dan dasi merah. Lencana wajib militer Kerajaan Miggleland yang berbentuk bulan cerah tersemat di depan jasku. Penampilan seragam sekolahku sangat gelap dan muram. Sama sekali tak berwarna warni ataupun ceria.
Semua temanku yang mengenakan seragam sekolah ini tampak suram dan menakutkan. Apalagi kebanyakan teman sekolah yang kutemui memang jarang tersenyum bahkan anehnya terkadang aku takut pada penampilanku sendiri ketika mengenakan seragam sekolah saat bercermin. Aku terlihat seperti mahluk dunia kegelapan yang menyeramkan.
Penguin bukanlah hewan langka di kerajaan ini. Mungkin kondisi kerajaan ini cocok untuk hidup penguin. Meskipun belum turun salju, namun suhu wilayah ini mencapai -20 derajat Celsius. Penguin bersarang di sepanjang wilayah tepi pantai MIggleland. Banyak yang menjadikan penguin binatang peliharaan, namun banyak pula yang terpaksa harus memakannya untuk bertahan hidup. Penguin sering berkeliaran di jalan raya yang sangat dingin seperti kucing liar.
Penguin bertelur dan membesarkan anak-anaknya di sebuah liang yang digali di tanah. Namun demikian, walau terletak jauh di tempat terpencil, keselamatan burung-burung ini masih sangat dipengaruhi aktivitas manusia. Es yang sangat dingin dalam sehari terkadang meleleh dengan cepat.
Iklim yang berubah-ubah memicu naiknya suhu laut menyebabkan perubahan rantai makanan hewan laut. Bagi semua penguin, itu berarti harus berburu lebih lama agar mendapat makanan dan sekaligus meninggalkan anak-anak mereka untuk waktu lebih lama. Hal ini mempertajam ancaman yang datang dari burung camar dan predator-predator lain yang mengincar para bayi penguin.
Ibuku adalah cindaku kerinci atau lebih dikenal dengan sebutan siluman harimau, lebih tepatnya siluman harimau putih dengan belang putih dan abu-abu di rambutnya. Ia biasa hidup di daratan bersalju. Ibuku seringkali menggigit leherku dengan taring runcingnya jika menganggapku berbuat nakal seperti ketika aku menumpuk gelas beling tinggi-tinggi di dapur rumahku dan merobohkannya kembali hingga banyak gelas beling itu yang pecah dan terkadang melukai kaki dan kepalaku.
Aku tidak tahu mengapa begitu nyaman saat menumpuk gelas. Mungkin ibuku hanya khawatir jika aku terluka karena tertimpa gelas dan terkena pecahan beling dari gelas yang kutumpuk. Atau ia tak suka melihat dapurnya berantakan karena gelas yang ditaruh bukan pada tempatnya.
Ibuku memang pemarah dan cenderung mudah tersinggung. Terutama ketika ia sedang kelelahan. Padahal ibuku tidak perlu melakukan semua itu. Aku rasa aku adalah anak yang cukup penurut. Tapi yah, begitulah karakter ibuku yang memang mirip harimau. Ketika sedang lelah dan hampir kehilangan akal, ia selalu berpura-pura mengunyah kepalaku dan hampir saja seperti hendak memakan otakku.
Namun terkadang ibuku menakut-nakutiku dengan taringnya hanya untuk bersenang-senang dan menjahiliku untuk membuatku menangis. Jika menguap mulut ibuku memang dipenuhi taring harimau yang membuatku agak takut padanya. Aku sendiri tidak tahu mengapa banyak orang yang sangat senang menjahiliku.
Mungkin karena aku memang sulit membedakan orang yang sedang serius ataupun orang yang sedang becanda hingga aku selalu menjadi bahan tertawaan. Atau mungkin ibuku ingin sekali menggigit atau bahkan memakanku karena melihat telinga kelinci yang menonjol di kepalaku dan menganggapku sebagai mangsanya.
Memang agak aneh siluman harimau dapat melahirkan anak seekor kelinci. Tapi jangan salah, ia memang ibu kandungku. Wajahku dengan ibuku sangat mirip dan aku tahu ibuku sangat menyayangiku. Hatiku pun selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya.
Entah darimana dan sejak kapan telinga kelinci arktik ini muncul di kepalaku. Aku sangat ingin merobeknya karena telinga kelinci yang cukup panjang ini sedikit mengganggu. Telinga ini seringkali menghalangi pandangan mata, meskipun aku sangat menyukai bulunya yang sangat halus dan nyaman untuk diraba.
Namun sekarang aku tidak peduli jika ibuku ingin menggigit leherku sebanyak yang ia mau. Aku sendiri tidak tahu mengapa, semakin lama gigitan ibuku pada leherku semakin terasa tidak sakit.
Lihatlah dari gaya bicaraku saja saat bergumam aku sudah banyak melakukan pengulangan kata yang terdengar mirip-mirip, seperti anak autis yang bisa ditemui di mana-mana. Inilah saat-saat dramatis antara aku dan ibuku, sementara aku memandangi cerobong asap rumahku yang menonjol pada bagian atap terlihat mulai menjauh. Aku mulai memandangi ibuku yang terlihat memudar setiap kali berjalan lebih jauh hingga tubuh ibuku seakan habis ditelan oleh kaki langit.
Saat aku berangkat ke sekolah, aku tidak pernah lupa membawa buku catatan puisi sekaligus buku harianku. Sejak masih kecil aku sangat suka menulis puisi. Seluruh isi hatiku tak pernah lupa kutuangkan di atas kertas dalam bentuk puisi yang selalu berusaha kubuat seindah mungkin.
Selain berisi puisi, di dalam buku itu juga terdapat catatan hasil pengamatanku sebagai seorang penyandang sindrom asperger tentang bagaimanakah cara ibu dan orang-orang di sekitarku beraktivitas dengan baik. Bahkan aku juga meneliti gaya bicara, lekuk tubuh, logat, dan semua perilakunya yang bisa kupelajari, semata-mata untuk belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik.
Di saat berjalan menuju ke sekolah seperti sekarang, pikiranku seringkali berpetualang tak tentu arah. Aku tak bisa berhenti memikirkan ibuku yang akan menikah lagi.
Seharusnya aku senang saat ibuku memutuskan menikah lagi karena sebagai anak yang baik, aku seharusnya bahagia jika ibu merasa bahagia. Lagipula aku akan mendapat ayah dan saudara-saudara baru yang nantinya menjadi satu keluarga utuh yang selalu kuimpikan. Namun aku tidak tahu mengapa air mataku seakan tak dapat berhenti mengalir.
Aku memang orang yang sangat benci dengan perubahan atau hal-hal yang baru. Aku sangat nyaman dengan rutinitas. Aku biasa tinggal berdua di rumah bersama ibu dan melakukan rutinitas yang sama selama bertahun-tahun. Belum lagi ini adalah hari terakhir menikmati rumah lamaku. Ibuku memutuskan untuk tinggal di rumah suami barunya. Sebenarnya hati kecilku belum siap untuk pindah rumah. Aku pasti harus banyak menyesuaikan diri.
Rumahku memiliki dua lantai dengan loteng yang menjadi kamarku di lantai kedua. Rumahku juga memiliki langit-langit yang tinggi sehingga dari luar, rumahku juga terlihat menjulang. Karena terdiri dari dua lantai dan langit-langitnya yang tinggi itu, rumah ini terasa sejuk dan megah.
Selain itu rumahku memiliki atap yang miring. Dengan demikian, atap dan bentuk rumah akan terlihat seimbang. Atap yang miring akan lebih mudah dibersihkan ketika kotor akibat debu atau daun gugur, dibandingkan dengan rumah beratap datar. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan semua keindahan rumah itu dan membuat hati kecilku enggan untuk pindah rumah.
Setelah keluar dari komplek perumahan, aku melewati sebuah pasar dengan aromanya yang sulit kulupakan. Mungkin karena aku selalu melewatinya setiap hari. Di pasar itu para pedagang menjual sayuran, seperti wortel, lobak, selada, dan kubis. Sayangnya aku tidak begitu hafal dengan nama-nama sayuran karena aku tidak pernah memasak. Aku hanya jago makan.
Selain pasar, tempat ini juga digunakan sebagai terowongan yang akan membawa orang ke sebuah stasiun kereta bawah tanah. Suara klakson kereta selalu terekam di telingaku. Warna pastel yang memukau mulai dari dinding-dindingnya hingga pantulan cahaya dari lantainya, melengkapi keindahan stasiun.
Beberapa benda seni pun diletakkan di sudut stasiun kereta bawah tanah ini demi menghiasi stasiun yang selama ini terkesan kaku dan kurang fleksibel. Kesan kaku akan langsung hilang begitu melihat beberapa permainan warna yang berani di dinding stasiun sehingga membuat suasana lebih ringan dan ceria.
Suara ringkikan kuda terdengar bersamaan dengan sabetan cambuk yang digunakan oleh seorang kusir. Kusir di pasar ini memanfaatkan bangkai kendaraan perang kuno untuk dijadikan sebuah kereta kuda.
Seperti pasar pada umumnya, pasar itu dipenuhi dengan kios berjejer. Di tempat parkir pasar itu, aku biasanya sering menjumpai motor-motor tukang ojek berjejer di mana-mana. Mereka biasanya mengobrol sambil menunggu penumpang.
Selain itu, aku juga melihat angkutan kota- sedang ngetem menunggu penumpang di tepi trotoar. Biasanya, aku melawati pasar ini untuk mendapatkan tumpangan dari angkutan kota yang akan mengantarkanku menuju ke sekolah.
Sebenarnya hari ini terasa cukup indah, entah mengapa langit yang biasanya berwarna hitam karena tertutup kabut asap dari sisa-sisa perang nuklir, terlihat lebih biru dari biasanya. Muncul lebih dari satu pelangi di atas langit pada pagi ini dan udaranya sangat segar.
Mungkin karena hujan air dan asam semalam cukup deras untuk menyapu sisa-sisa kabut asap yang mengepul pekat di atas langit. Bahkan genangan air masih terlihat di mana-mana.
Pasar ini memang begitu indah dan penuh warna dengan tukang ojek yang memainkan alat musik di sepanjang tempat parkir. Mungkin bagi banyak orang, semua itu bukanlah hal yang berarti. Namun menurutku semua itu membuat jiwaku yang terkadang hampa diselimuti kebahagiaan.
Setelah sekian langkah aku berjalan di tempat parkir pasar, akhirnya langkah kakiku sampai di atas trotoar. Aku pun berdiri di trotoar menunggu nomor angkutan kota yang terlihat sekilas dari luar mirip kendaraan panser. Ini karena angkutan itu menggunakan besi bekas kendaraan panser. Sambil menunggu angkutan yang biasa mengantarkanku ke sekolah, aku selalu menjentik-jentikan jariku setengah tidak sadar.
Di pinggir jalan raya masih banyak terlihat bangkai-bangkai tank dan kendaraan panser yang tersisa dari zaman perang nuklir. Kendaraan tempur itu tercecer di pinggir jalan. Mulai dari tank jenis Black Panther dengan dua senapan mesin bermeriam 120 mm hingga panser spesialis pendobrak Komodo Halilintar. Dulu, panser itu biasanya digunakan untuk mendobrak di barisan depan pertahanan lawan.
Itulah mengapa kendaraan lapis baja ini didesain sangat lincah namun sangat kuat, meski harus menghadapi serangan balik. Panser ini memiliki kecepatan hingga 100 km per jam dan diperkuat dengan bodi yang mampu menahan proyektil berkaliber 7,62 mm.
Aku pernah membaca dan mempelajari kehebatan kendaraan-kendaraan perang kuno itu di buku pelajaran sejarah sekolahku. Awalnya aku tidak menyadari jika semua kendaraan perang kuno yang disebutkan di buku pelajaran sekolahku ternyata ada di sekelilingku.
Namun sayangnya semua kendaraan perang kuno yang berharga itu dibiarkan berkarat dan berlumutan hingga terbengkalai. Bahkan, setengah bagian tubuh kendaraan perang itu terkubur di dalam tanah.
Setelah masuk ke dalam angkutan kota, aku memilih duduk di paling belakang tepatnya di bagian pojok kanan. Aku berusaha menjauhi pintu untuk menghindari pencopetan. Belakangan ini sering terjadi aksi pencopetan di dalam angkutan kota.
Kebetulan kursi, pintu, dan hampir semua bagian dari angkutan kota yang sedang kunaiki penuh dengan karat. Sebagian besar bagian atap angkutan umum yang kunaiki ini patah dan berlubang.
Bahkan aku bisa saja melongokkan kepala keluar dari dalam angkutan kota lewat atap yang berlubang itu. Cukup hanya dengan memanjat kursi angkutan, aku bisa melihat jalan raya dengan aspal yang agak retak di pinggirnya. Biar bagaimanapun angkutan ini memang modifikasi dari kendaraan perang panser yang sudah rusak.
Aku heran mengapa saat di pasar udara sangat segar, tapi udara tiba-tiba berubah drastis ketika aku berada di dalam angkutan kota. Di sini ini dengan cepat udaranya menjadi sangat pengap.
Aku mencoba bersantai sambil melihat pemandangan kota dari balik jendela angkutan kota. Aku selalu melihat jam agung Miggleland terlihat semakin menjauh seakan jam itu sedang berjalan berlawanan arah dengan angkutan kota yang kunaiki.
Ada satu hal yang sangat aku kagumi dari jam itu. Kudengar jarum jam itu tak pernah berhenti berputar sejak pertama kali dibangun 200 tahun yang lalu. Katanya baterai jam kuno itu juga belum pernah diganti sejak pertama kali dibangun, menjadikan jam itu sebagai sumber tenaga kehidupan penduduk Miggleland.
Jam agung Miggleland juga salah satu bangunan yang dianggap ajaib karena bangunan itu adalah salah satu yang tidak hancur saat terjadi perang nuklir. Selain jarum jam utama di atas menaranya, jam agung itu juga dilengkapi dengan beberapa jam digital kecil di sekitarnya.
Karena itulah banyak orang yang mengatakan bangunan di jam itu angker dan ada semacam mahluk halus yang melindunginya. Tapi menurutku bukan bangunan dari jam itu yang angker, melainkan jarum emas dari jam itu yang tak pernah berhenti apalagi mundur.
Jam itu selalu bergerak maju, maju, dan terus maju. Aku seringkali memaki-maki jam itu seperti orang gila. Aku ingin meminta jam itu menghentikan jarum emasnya karena aku selalu membenci masa depan. Masa depan adalah kata lain dari perubahan, sedangkan aku sangat tidak suka dengan perubahan ataupun hal-hal baru.
Belum lagi jam itu selalu berbunyi dengan sangat keras dengan simulasi suara sambaran guntur saat siang hari, tepatnya saat jarum panjang dan pendek menunjuk angka dua belas secara bersamaan. Aku sangat membenci suara berisik jam itu yang terdengar ke seluruh Kota Rumeli Hisari.
Tapi apa daya jam itu sama sekali tak pernah mempedulikan makianku. Jam itu terus membiarkan kisah-kisahku berlanjut!
Hari ini memang hari yang sangat sibuk. Angkutan kota dipenuhi oleh penumpang. Hingga aku harus duduk dengan agak berdesakan.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa di antara penumpang yang ada di angkutan berkarat ini. Angkutan kota ini dipenuhi dengan orang-orang berwajah jenuh dan murung, kecuali seorang penumpang yang duduk tepat di sebelah kiriku.
Dari awal aku yakin jika aku mengenalnya terutama dari ciri khasnya yang tak bisa kulupakan. Ia memakai jaket, topi, dan tas ransel yang semuanya berwarna hijau. Kurasa dia memang memiliki obsesi yang terlalu berlebihan dengan warna hijau. Tanpa sadar dia juga suka menjulurkan lidahnya ke samping saat sedang memainkan ponselnya.
Dia juga penumpang yang sangat rakus. Sambil memainkan ponsel, ia melahap dengan cepat seonggok paha mayat manusia yang dipenuhi darah. Ia membuang dan membiarkan tulang-tulang paha manusia itu berserakan ke lantai angkutan kota tanpa memedulikan kenyamanan penumpang lain.
Seperti semua penduduk manusia setengah siluman di kerajaan ini, terkadang mereka memakan mayat sesama manusia setengah siluman yang sudah mati. Aku sendiri jijik melihat manusia yang memakan bangkai manusia lainnya, meski ibuku juga memakan mayat sesama manusia siluman.
Aku lebih suka makan wortel, daging penguin, dan beruang kutub. Hingga sekarang aku belum pernah memakan mayat manusia karena ibuku juga tidak pernah memaksaku memakan mayat manusia. Mungkin karena harga daging mayat manusia yang dibeli dari suatu anggota keluarga, lebih mahal daripada daging penguin dan beruang kutub.
Ibuku sangat hemat bahkan untuk dirinya sendiri. Meskipun dia siluman harimau yang membutuhkan daging manusia, ia lebih memilih memakan daging penguin dan beruang kutub yang harganya lebih murah untuk menghemat pengeluaran.
Kelakuan penumpang yang sedang memakan daging manusia itu seperti tak asing bagiku. Matanya tak dapat menatap lurus ke arah layar ponselnya. Matanya selalu melirik ke atas-ke bawah atau ke kiri dan ke kanan. Ia juga suka berbicara sendiri sambil memainkan ponselnya. Ia tampak lebih ceria daripada penumpang lain yang ada di dalam angkutan ini.
Ia persis seperti diriku yang seringkali kesulitan melakukan kontak mata saat sedang berbicara dengan orang lain. Banyak juga orang yang mengatakan jika aku sering berbicara sendiri, meskipun aku tidak pernah menyadarinya.
Tiba-Tiba ide jahil melintas di kepalaku. Aku mencoba mengagetkannya.
“Duaarr!!! Selim!” teriakku memegang dan menggoyangkan pahanya saat ia sedang duduk di kursi panjang angkutan itu. Karena kagetnya ia tak sengaja melempar ponselnya yang kemudian terjatuh dengan suara keras ke lantai besi angkutan itu.
Posting Komentar