Lima tahun kemudian.
“Selamat datang di negeri baru” Tulisan spanduk itu telah lama memenuhi berbagai layar televisi raksasa yang menempel di depan gedung pencakar langit. Di bawahnya kendaraan bermotor berlalu lalang memenuhi kota yang padat dan sibuk.
Naga Merah sebagai ketua Tanduk Berlian kini menjabat sebagai kanselir atau pemimpin tertinggi pemerintahan baru Republik Miggleland. Sesuai janjinya, ia mengubah Miggleland menjadi negeri yang lebih baik. Tidak ada lagi diskriminasi antara hak istimewa bangsawan dan rakyat biasa, maupun diskriminasi antara manusia dan robot. Konferensi nasional menyatakan pembubaran kerajaan dan berdirinya reich kedua, Turkestan Miggleland Reich.
Turkestan merujuk pada makna ‘tanah bangsa Turki’ dalam arti luas manusia pertama dan terbanyak yang mendiami dan menjadi nenek moyang penduduk asli di Benua Miggleland yang berasal dari suku-suku nomaden Turki dari pegunungan Altai. Dalam arti sempit bahasa Persia, Turkestan merujuk pada beberapa daerah di Asia Tengah, sedangkan reich dalam bahasa Jerman bermakna kekaisaran atau imperium, di mana Kerajaan Miggleland membawahi banyak koloni dan negara bagian.
Reich pertama yang dianggap adalah Kerajaan Majapahit. Rakyat tak menganggap Kerajaan Miggleland yang mereka gulingkan sebagai salah-satu reich yang bisa dibanggakan, justru mereka menganggap Republik Miggleland sebagai reich kedua.
Hasyi dan Hasya kini tinggal di sebuah apartemen kecil sebagai rakyat biasa. Hasya sudah lama kehilangan gelar bangsawannya, namun ia tak pernah sedih. Hasya dan Hasyi sangat bahagia hidup sederhana. Mereka kini dapat bersama satu-sama lain tanpa ada lagi kekuatan di dunia yang bisa memisahkannya. Untuk apa menjadi ratu kesepian di suatu kerajaan yang sama-sekali tak memiliki keluarga ataupun orang yang ia sayangi? Apalagi semua orang di istana menghormatinya dengan terpaksa karena takut akan kekuasaannya. Hasya tetap gembira meskipun masih harus duduk di kursi roda. Sejak saat itu jiwa saudara kembar itu tak pernah lagi merasa hampa.
Hasya kini mengunakan banyak nama samaran, meskipun wajahnya masih mirip ketika ia naik takhta. Wajahnya sudah cukup berubah sehingga banyak orang yang sudah melupakan kekuasaan tirani Putri Hasya karena keadaan sudah sangat aman saat ini. Hasya tak perlu lagi takut akan diburu dan dieksekusi Tanduk Berlian.
Lanza kini bekerja sebagai seorang jurnalis cabutan setelah berhenti menjadi polisi kerajaan. Ia tetap senang dengan profesi barunya.
Sedangkan Selim berhasil mendapatkan gelar doktor di bidang thanatologi mengikuti jejak kakeknya hanya dalam waktu dua tahun. Ia kini menjadi seorang ilmuwan yang lingung bahkan terkesan rada gila. Ia berusaha menciptakan alat untuk berbicara dengan orang mati menggunakan salinan otak mayat itu. Meskipun hanya kegagalan dan kegagalan lainnya yang ia temukan. Setiap hari Selim mempelajari kematian semua mayat manusia yang akan ia makan. Selim juga belum menyerah untuk mewujudkan impiannya, yaitu membuat bumi ini sama indahnya seperti ketika sebelum perang nukilir dengan cara mengembalikan binatang ataupun tumbuhan yang sudah punah dengan penemuannya.
Adapun Hasyi kini menjadi guru konseling di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus seperti impiannya sejak dulu. Ia ingin anak-anak berkebutuhan khusus di tangannya memiliki masa kecil yang bahagia, tidak seperti dirinya yang memiliki masa kecil hampa dan kesepiaan. Ia berusaha menjadi guru yang baik dan memahami pikiran dan perasaan mereka.
Semua teman Hasyi di regu pengumpan, yakni Aryan, Irvan, dan Anita pun hidup bahagia dengan pekerjaan masing-masing. Begitupun kedua saudara tiri Hasyi, Erdhem dan Alara. Kedua kakak beradik siluman laba-laba itu kini seringkali mengunjungi Hasyi di apartemennya. Alara dan Hasya pun semakin dekat sebagai adik dan kakak perempuan. Alara seringkali mencubit pipi Hasya yang sangat imut dan menggemaskan.
Selain bekerja, Aryan sangat terampil memainkan piano, meskipun mungkin itu agak dibesar-besarkan. Itu sebabnya ia kini berusaha bergabung dengan berbagai macam band, meskipun ia selalu ditolak karena sikapnya yang sulit diatur. Hingga kini persaingannya dengan Selim demi memperebutkan cinta Anita masih belum berakhir.
***
Mengajar murid penyandang autis bukan hal yang mudah. Terlebih lagi saat kondisi murid sedang meltdown. Bukan tidak mungkin beberapa pukulan dilayangkan murid kepada gurunya tanpa disadari. Dengan menggunakan pakaian serbabiru, Hasyi terlihat sangat sabar meladeni murid autis karena ia selalu berkaca dan menerima dirinya apa adanya. Ia selalu mengajak muridnya bicara dengan nada lembut dan sesekali mengingatkan muridnya untuk bersikap tenang. Kadang ia menangis bahagia karena sewaktu kecil dia juga suka sekali mengalami emosi tak terkendali seperti anak-anak autis itu.
Selain suka memukul, ada hal-hal unik lainnya dalam diri para murid Hasyi. Seperti saat sedang belajar tiba-tiba murid yang meltdown berlarian keluar kelas. Akibatnya, para guru pun langsung mengejar murid tersebut agar tidak membahayakan murid itu sendiri. Jadi ditenangkan dulu, baru nanti ikut belajar lagi bersama teman-temannya. Banyak orang tua murid yang khawatir menyekolahkan anaknya yang autis. Para orang tua itu takut anaknya akan dibully karena mereka berbeda dari anak-anak lainnya, meskipun sebenarnya anak autis terutama sindrom asperger termasuk anak cerdas.
Meskipun berada dalam satu kelas dengan anak normal, anak penyandang autis ini tidak pernah memengaruhi anak normal. Terbukti, anak normal yang bersekolah dan satu kelas dengan anak autis masih dapat berprestasi seperti masuk SMP dan SMA unggulan.
Tercatat murid normal yang bersekolah di yayasan ini sebanyak 116 orang, sedangkan untuk anak autis sebanyak 59 orang. Memberi pelajaran anak-anak ini juga terkesan monoton. Misalnya dalam satu minggu, hanya memberi dua pelajaran, dan diajari secara berulang-ulang. Anak-anak berkebutuhan khusus itu hanya fokus pada satu hal. Terlalu banyak hal dalam satu waktu bisa membuat mereka kebingungan.
"Di yayasan itu aku mengajarkan anak-anak bernyanyi, menulis, membaca, dan menggambar," terang Hasyi pada Hasya.
"Pokoknya mengajar itu seru. Ada yang nakal, ada yang enggak. Tapi semua nakal sama seperti aku waktu masih kecil," Hasyi mendorong Hasya dari bangku kursi rodanya ke dalam sebuah bangunan besar.
Awalnya Hasyi membenturkan kepalanya ke tembok bangunan itu karena bingung mencari cara menaikkan kursi roda Hasya ke atas anak tangga. Tetapi Hasya dengan sangat lembut menenangkan Hasyi dan menanyai salah-satu orang di sana di manakah lift yang tersedia.
Setiap pergi keluar rumah, Hasya selalu ikut Hasyi dengan kursi rodanya. Hasyi tidak tega meninggalkan Hasya sendirian di dalam apartemennya.
Mereka berdua datang ke konferensi nasional autisme yang digelar karena kebijakan rezim Tanduk Berlian. Padahal di zaman kerajaan, pihak kerajaan tidak pernah peduli dengan nasib anak penyandang autisme, bahkan banyak anak autis yang terbunuh akibat menjadi kelinci percobaan, hingga membuat Hasyi menyimpan sedikit rasa benci pada ayahnya. Namun Hasyi tahu ayahnya yang telah tiada sudah menyayanginya jadi ia bisa melupakan itu dan memaafkan ayahnya.
Di konferensi itu, Hasyi melihat seorang anak perempuan yang berputar-putar di tempat, mengingatkan dirinya yang selalu merasa nyaman saat berputar-putar dalam sebuah ayunan. Ada pula orang tua yang menyangkal perkataan seorang ahli psikologi jika autis adalah gangguan mental pada anak-anak mereka. Begitupun ada beberapa psikolog yang membantah perkataan rekannya barusan. Pertengkaran antara orang tua dan ahli psikologi mengingatkan Hasyi dengan ibunya yang pernah naik pitam dengan psikolog yang mendiagnosanya pada usia lima tahun. Ini membuat Hasyi menjerit dan menutup telinganya karena suara pertengkaran yang terlalu berisik.
“Menurutku melakukan stimming dan menstimulasi seperti menggerakkan bagian tubuh berulang-ulang itu bisa menangkan saraf, meskipun terlihat aneh itu bukan berarti mereka mengalami gangguan mental atau gila. Itu lebih baik daripada dikekang, justru dikekang adalah hal yang gila!” tiba-tiba Hasyi membuka suara setengah berteriak.
Semua perhatian orang tua dan psikolog tertuju pada Hasyi. Hasya pun hanya melongok melihat amarah yang dilepaskan kakak kembarnya. Ia kebingungan. Seminar itu seketika hening ketika Hasyi dengan agak kurang sopan menyerobot pidato ahli psikologi.
“Berapa usia anakmu, Tuan?” tanya ahli psikologi di panggung seminar itu pada Hasyi yang baru meredakan emosinya. Kini Hasyi memang sudah terlihat cukup dewasa untuk memiliki anak.
“Aku belum memiliki anak,” jawab Hasyi singkat. Banyak orang tua yang lalu menghela napas meremehkan Hasyi. Mereka menganggap Hasyi tidak paham apapun karena tak memiliki anak autis seperti orang tua yang lain. Hasyi datang ke seminar itu untuk penelitiannya sebagai guru konseling anak berkebutuhan khusus.
“Tapi, aku seorang penyandang autis. Aku memerlukan sensasi untuk dipeluk. Temanku Selim yang juga mengalami autisme suatu ketika bisa mengembangkan mesin. Kami berdua masuk ke dalam mesin itu. Kami merasa berbeda setelah keluar dari mesin itu. Kami merasa lebih bisa bersosialisasi. Aku juga tidak bisa memahami adik kembarku yang mengajakku berbicara saat usiaku kurang dari lima tahun,” Hasyi melirik Hasya dengan wajah cemas .”Namun dulu ketika masih remaja aku sempat menjadi anggota organisasi Tanduk Berlian, meskipun menemukan banyak kesulitan dan tantangan, teman-temanku selalu ada di sisiku untuk menolong dan aku cukup mampu menyelesaikan misi yang mereka berikan, dan kini aku punya gelar master bidang pendidikan dan akan menyusul temanku, Selim, yang membuat mesin itu untuk mendapatkan gelar doktor.”
“Bagaimana caramu belajar berbicara dengan baik, hingga bisa berpendidikan tinggi?”
“Bagaimana mungkin kau yang mengalami autisme bisa bergabung dengan pemberontak restorasi kebangkitan Miggleland?”
Orang tua murid membanjiri pikiran Hasyi dengan sejumlah pertanyaan. Mereka sangat ingin mengetahui rahasia Hasyi yang mengalami autisme namun dianggap bisa meraih kesuksesan. Para orang tua yang sangat menyayangi anaknya itu kini ingin anak autis yang mereka rawat dapat menjadi sukses seperti Hasyi.
“Tolong jangan berteriak padaku,” seru Hasyi pada semua orang tua anak autis di konferensi. ”Kebanyakan anak autis sangat sensitif terhadap warna dan suara, terlalu banyak hal dalam satu waktu dapat membuat panik.”
“Bagaimana kau dapat sembuh,” tanya salah satu orang tua anak autis dari bangku depan.
“Aku tidak sembuh, selamanya sebesar apapun perubahan yang terjadi pada diriku, aku akan tetap menjadi anak autis,” tukas Hasyi.
“Ibuku tak percaya aku mengalami sedikit gangguan verbal, namun ketika aku berbicara dengan cukup baik, ibuku menitipkanku sesaat di panti asuhan dan ketika aku sudah lebih sedikit dewasa, ibuku yang merupakan siluman harimau, pemburu yang andal, mulai percaya mengajariku dan mengizinkanku berburu penguin sendirian di aliran sungai yang membeku. Itu bukanlah hal mudah untuk melepaskan anak autis seperti diriku. Ibuku memang selalu khawatir tapi ia ingin melihat seluruh keberanian yang kumiliki. Baik di rumah bersama ibuku maupun di dunia luar, aturan dan kesopanan sangat penting. Aku beruntung ibuku mengajari itu padaku, semua itu berhasil padaku,” ujar Hasyi berapi-api.
Dari kursi rodanya, Hasya meneteskan air mata begitu mendengarkan penjelasan Hasyi.
”Setiap orang yang kutemui bekerja keras dan menyakinkan jika aku bisa menjadi orang yang berguna, maksudku semua orang baik yang kutemui tahu aku berbeda tapi tak berkekurangan. Kalian seharusnya tahu aku dan anak-anak autis kalian pasti memiliki bakat. Anak-anak autis kalian akan melihat dunia dengan cara yang baru. Aku menganggap sesuatu yang kecil sangat berharga ketika orang lain membuangnya dan tak memperhatikannya…” sejenak Hasyi menghentikan kata-katanya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Aku tak ingin pikiranku mati bersama mayatku. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang berharga di dunia ini. Anak autis sepertiku dan semuanya, sama seperti Nikola Tesla dan Thomas Alva Edison, mereka dianggap aneh tapi pemikiran mereka yang aneh itu lebih masuk akal daripada pemikiran semua orang dan pada akhirnya semua orang meminta maaf pada mereka.” Kembali Hasyi menghentikan kata-katanya.
“Maaf tolong tapi kami ingin mendengar semuanya,” pinta salah seorang pembawa acara.
”Ya ceritakan pada kami,” semua orang tua yang memiliki anak autis mendesak Hasyi untuk naik ke atas panggung.
Hasyi membayangkan sebuah gerbang harapan baru di atas panggung itu. Ketika menaiki panggung itu, Hasyi merasakan semua orang yang pernah menghina ataupun meremehkannya tertinggal jauh di belakangnya, dan melihat semua teman dan orang yang menyayanginya mengulurkan tangannya mencoba menarik Hasyi menuju panggung besar itu.
“Nama saya Hasyi Ozgur…” Hasyim kehabisan kata-kata.
Hasyi sudah mengeluarkan seluruh isi hatinya sebelum naik ke atas panggung. Tak ada kata-kata lain yang Hasyi ucapkan selain pemacu semangat kepada anak autis maupun pada orang tuanya agar tetap sabar dan pantang menyerah karena merawat anak autis seperti Hasyi bukanlah hal yang mudah dan hidup dengan dilahirkan sebagai anak autis juga tidaklah mudah. Mereka harus menghadapi seluruh tantangan yang akan menanti anak autis di masa depan.
“Kakak, mungkin bukan orang yang sempurna, namun kau adalah kakak kembar terbaik yang pernah kumiliki,” Hasya mengulurkan tangannya meminta Hasyi mendekapnya dari kursi rodanya.
Kondisi Hasyi sudah banyak berubah. Ia tak perlu takut lagi dengan dekapan kasih sayang seperti ketika ia dulu didekap ibunya. Senyuman Hasya telah menggantikan senyum ibu Hasyi yang selalu menerima kehadiran Hasyi di dunia ini, apa adanya. Hasya pun selalu bisa merasakan sakit yang juga dirasakan Hasyi.
“Hasya demi dirimu, aku berjanji akan menciptakan dunia yang lebih indah daripada dunia kita saat ini. Akan kutunjukkan cahaya yang berkilau di dunia, entah bagaimana caranya. Tak akan kubiarkan siapapun menghalangi tujuanku. Jika kau mau, akan kurebut kembali negeri ini demi dirimu. Aku bersumpah akan menggulingkan kekuasaan Suku Vlad.”
Posting Komentar