Sementara kedua anak kembar berada di sekitar ruangan istana, raja dan ratu seringkali menghabiskan waktu istirahat di kamar pribadi sambil mengenakan piyama berwarna putih. Raja dan ratu selama ini tidur dalam satu kamar yang luas bersama pangeran dan putrinya yang masih kecil. Berbagai jenis hiasan keramik, woodwork, dan gaya arsitektur klasik ditampilkan di kamar raja yang sangat mewah ini. Warna biru muda dan emas juga mendominasi hampir seluruh sudut kamar istana.
“Ghaozon dengar! Menurutku wajar jika rakyat kita banyak yang melakukan tindakan kriminal seperti merampok, mencuri, bahkan melakukan kanibalisasi pada orang yang masih hidup! Mereka terpaksa melakukan semua itu. Mereka semua kelaparan, sedangkan para bangsawan dan pejabat kerajaan malah sering melakukan korupsi dan mengadakan pesta perjamuan mewah yang tidak perlu di tengah rakyat kita yang sedang kelaparan. Aku menilai sebagai raja kau kurang tegas kepada bawahan-bawahanmu. Jadi jangan hanya salahkan rakyatmu tapi salahkan dirimu sebagai raja. Itu tanggung jawabmu!” sang ratu sibuk mengomeli raja di kamar mereka.
Tanpa berkutik sedikitpun Raja Ghaozon menutupi kedua telinganya dengan bantal mewahnya yang berbalut kain sutera. Keadaan kamar yang bising karena omelan sang ratu itu akhirnya diakhiri oleh bantingan pintu yang keras dan begitu tiba-tiba dari Hasya yang memaksa masuk ke kamar raja dan ratu.
“Ibu! Ayah!” Hasya menangis keras. Raja Ghaozon dan ratu pun segera menghampiri putri kecilnya yang masih meneteskan air mata.
“Tolong panggil ayah dengan lebih sopan sayang, padisyah atau prabu negara,” tegur ibunya pada Hasyah. Ibunya memang dikenal sebagai ratu yang sangat tegas dan disiplin.
“Jangan begitu Halimah dia kan anak kandungku, meskipun aku seorang raja sudah sepantasnya dia memanggilku ayah, apalagi kita sedang tidak berada di depan rakyat,” bela sang raja.
Raja Ghaozon sangat menyayangi istrinya, Halimah. Begitu sayangnya, di kerajaan ini ada undang-undang absolut yang ia buat sendiri dan sudah dijanjikan pada rakyatnya. Aturan yang sangat jauh berbeda dengan kerajaan lainnya. Aturan itu berbunyi, mulai dari dirinya sampai penerus-penerusnya dilarang memiliki seorang selir. Raja hanya boleh memiliki satu permaisuri seumur hidupnya bahkan jika permaisurinya meninggal, raja harus mengurus anak kandungnya sendirian karena jika raja menikah lagi dikhawatirkan anak-anaknya akan telantar.
Raja Ghaozon mengelus kepala Hasya dan lalu memeluknya. “Ada apa sayang? Mengapa kau menangis?” tanyanya kepada putri kecilnya yang masih menangis dalam pelukannya.
“Ka-ka-kak. Ka-kak gak mau main sama aku! Kakak kerjanya ngomong sendiri melulu, Hua…hua!” teriak Hasya sambil menginjak-injak lantai dengan jeritan yang semakin kencang.
“Sekarang Kakak di mana sayang?” tanya Raja Ghaozon pada Hasyah sambil mengelus-elus putri kecilnya dengan penuh perhatian.
“Kakak di aula istana,“ jawab Hasya menunjuk ke arah pintu sambil menarik-narik tangan Raja Ghaozon untuk keluar dari kamar.
Dengan masih menarik tangan ayahnya, Hasya memandu kedua orang tuanya menuju aula istana melewati abdi dalem (pelayan istana sukarela) dan garson (pelayan istana yang digaji raja) yang berdiri sambil memberikan hormat di sepanjang lorong istana. Mereka menuju tempat Hasyi berada.
“Itu dia, Yah!” teriak Hasya menunjuk saudara kembar laki-lakinya yang terdengar sedang tertawa keras tanpa sebab sambil berbaring di lantai aula istana. Padahal suasana di aula itu sangat sepi dan gelap gulita. Lagipula apa yang lucu dari aula istana yang suasananya sangat suram? Ia terlihat sedang bermain dengan sesuatu yang tak terlihat!
Raja Ghaozon pun mulai sedikit khawatir dengan tingkah aneh pangeran kecilnya hingga kakinya terasa menggigil seakan sedang berjalan di atas jembatan es.
“Mungkinkah benar apa yang dulu dikatakan oleh Pasha Bey? Anakku adalah anak yang telah diramalkan kakek buyutku sebagai anak yang akan membawa kerajaan ini pada kehancuran,” gumam sang raja gelisah dengan napas terengah-engah.
“Aku harus cepat bertindak. Ia sudah terlalu lama dirasuki roh-roh jahat! Mungkin inilah wikara yang dimaksud oleh petapa waktu itu,” desis sang raja sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang seakan jantungnya ditampar berkali-kali dengan palu.
Raja pun menguji Hasyi untuk memastikan apakah pangeran kecil itu kerasukan roh jahat atau tidak. Raja memanggil Hasyi dengan susah payah dan dengan nada lembut  kemudian membawanya ke sebuah meja makan. Di atasnya ada dua buah hidangan. Di atas piring hidangan pertama adalah sebuah roti dan hidangan kedua adalah sebuah bara api yang menyala.
Jika Hasyi tidak kerasukan roh jahat dan masih memiliki akal dan nafsu ia pasti akan memilih roti dan tak akan memilih bara api karena mencari kebahagiaan dan menghindari rasa sakit adalah naluri alami manusia. Namun Hasyi yang sangat lugu karena masih balita malah memilih makan bara api yang dimasukan ke mulutnya dan menolak roti yang ditawarkan raja di meja makan karena bara api jauh lebih bercahaya dan menarik di mata Hasyi.
Raja semakin yakin jika Hasyi dirasuki roh jahat ketika Hasyi memasukkan bara api ke dalam mulutnya tanpa seujungpun lidahnya terbakar ataupun terluka. Bahkan Hasyi bisa menelan bara api itu semudah menelan air.
***
Tengah malam yang sangat sunyi hampir seluruh lampu di ruangan istana dan semua perapian telah dimatikan. Pangeran dan putri kecil telah terlelap di ranjang masing-masing. Tetapi Raja Ghaozon dan Ratu Halimah tak bisa berhenti membahas perilaku aneh pangeran kecilnya.
“Tidak ada tawar menawar lagi Halimah! Kita tak bisa membiarkanya tetap hidup! Kita harus membakar tubuhnya malam ini juga!”  bisik sang raja sambil mengepalkan kedua telapak tanganya sekuat tenaga.
“Apa kau sudah gila Ghaozon? Apa kau tega membunuh anakmu sendiri? Darah dagingmu sendiri? Aku pikir kau menyayanginya?” bentak Ratu Halimah sambil menarik-narik pakaian kebesaran sang raja yang dipenuhi batu permata.
“Sudah bisa dipastikan anak balita yang suka berbicara sendiri adalah anak yang dilahirkan dengan ditunggangi roh-roh jahat, mana ada anak balita yang lebih memilih bara api daripada roti kecuali dia ditunggangi roh jahat yang tak memiliki akal? Sudah sepantasnya anak-anak yang dilahirkan dengan ditunggangi roh-roh jahat, tak dibiarkan hidup. Ia harus dibakar hidup-hidup! Bukannya aku kejam pada anak sendiri, justru ini bentuk kasih sayangku padanya,” jawab Raja Ghaozon. Wajah sang raja tampak semakin mengerikan saat disinari lampu kamar klasiknya yang temaram.
Sungguh ironis raja yang awalnya terlihat tidak percaya ramalan dan seakan ingin menerima anaknya apa adanya malah tidak setabah ratu dalam menerima Hasyi. Padahal sebelumnya ratu sangat enggan mendekati anak yang memiliki kelainan seperti Hasyi. Sifat raja selalu berubah-ubah dan tak bisa ditebak terkadang pikiran, perkataan, dan perbuatannya tidak pernah sejalan.
Tiba-tiba napas Ratu Halimah menjadi berat. Ratu memicingkan mata, telinga runcingnya yang terlihat seperti elf terasa gatal. Ia tampak tak percaya dengan kata-kata tak berperasaan yang diucapkan oleh suaminya kepada anak kandungnya sendiri yang tak berdosa.
“Jangan menjadi orang primitif yang bodoh, Ghaozon! Bagaimana mungkin kau tahu kalau anak kita adalah anak yang dirasuki roh jahat? Bagaimana jika dia hanya mengalami kelainan? Bukankah selain anak balita yang ditunggangi roh jahat, anak balita yang menyandang kelainan juga banyak yang sering berbicara sendiri? Sebagai seorang raja kau harusnya bisa berpikir lebih rasional. Rakyat kita pasti akan sangat malu jika tahu mereka dipimpin oleh seorang raja yang sangat bodoh!” bentak Ratu Halimah yang benar-benar geram dengan perkataan Raja Ghaozon.
Ratu Halimah melayangkan legannya untuk menampar pipi Raja Ghaozon dengan tangan kurusnya. Namun tamparan sang ratu ditahan oleh raja semudah mengedipkan mata.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama