Ratu Halimah merasa ia hanyalah orang awam soal wikara. Ia memang pernah mendengar anak yang tumbuh berbeda. Ia hanya menduga-duga jika pangeran kecilnya yang suka berbicara sendiri menyandang suatu kelainan, mungkin semacam autisme. Ratu juga tak tahu jika kelainan itu ternyata ada karena ia belum pernah melihat dan merasakannya sendiri.
Setelah menduga pangeran kecilnya mengidap kelainan karena tumbuh berbeda, ratu terus dihantui perasaan bersalah. Ia mulai mengingat-ingat dosa apa yang pernah ia lakukan ketika mengandung pangeran kecilnya.
Mungkinkah ia tanpa sadar pernah melakukan sihir hitam hingga anaknya dikutuk seperti itu? Namun jika itu memang benar mengapa anak perempuannya tidak mengalami kelainan seperti anak laki-lakinya? Padahal mereka adalah anak kembar dan dilahirkan di waktu yang hampir bersamaan.
“Yang kau katakan mungkin benar dan masuk akal Halimah! Tapi kau harus ingat kelakuan aneh Hasyi tetap bisa membuatku malu. Ia akan mencemari nama baik seorang raja di depan rakyat-rakyatnya!” ucap Raja Ghaozon sambil menggengam tangan permaisurinya dengan paksa.
Ratu Halimah pun berusaha melepaskan genggaman tangan suaminya dengan sekuat tenaga. Kemarahannya memuncak.
“Oh begitu, jadi kau rela mengorbankan nyawa anakmu demi menjaga nama baikmu? Jadi nama baikmu lebih berarti daripada nyawa anakmu sendiri? Oh kalau itu maumu mulai malam ini hubungan kita berakhir. Lupakanlah jika aku pernah menjadi istrimu!” ujar sang ratu dengan suara pelan tapi penuh ketegasan.
Bola mata sang ratu tampak kian menyala. Matanya tak lepas memandang Raja Ghaozon dengan tatapan tajam bercampur perasaan marah dan kecewa.
Tak butuh waktu lama, Ratu Halimah mulai mengemasi barang-barangnya dalam tas jinjingnya. Ia lalu menggendong Hasyi yang masih terlelap di pundaknya.
Entah apa yang dipikirkan oleh Ratu Halimah yang sudah diliputi kekecewaan dan kemarahan. Awalnya Halimah juga hendak menggendong Hasya bersama Hasyi untuk minggat. Halimah ingin kedua anaknya tetap berada di pelukan dan kasih sayangnya.
Namun Raja Ghaozon menahan Halimah saat hendak menggendong Hasya. Raja masih menyayangi dan ingin melindungi Hasya. Apalagi Hasya tidak seperti Hasyi yang menurut ramalan kerasukan roh jahat dan akan menghancurkan kerajaan sehingga harus dilenyapkan.
Halimah akhirnya pergi dengan berat hati dengan hanya membawa Hasyi karena ia tak mampu merebut Hasya dari tangan suaminya. Halimah sangat sedih dan kecewa karena gagal membawa Hasya. Namun kemudian ia berpikir Hasya masih bisa tetap hidup bahagia di dalam lingkungan istana yang nyaman, tanpa harus mengikuti pelarian ibunya demi menyelamatkan kakak kembarnya. Mulai detik itu, Ratu Halimah telah memisahkan kedua anak kembarnya.
“Jangan bawa Hasya! Aku masih menyayanginya, kelak dia akan menjadi ratu sempurna yang akan memimpin negeri ini, meski dia bukan anak laki-laki. Tak usahlah kau pikirkan Hasyi sampai berniat meninggalkanku. Dia sudah tak punya harapan lagi,” Raja Ghaozon masih mencoba membujuk permaisurinya.
Namun Ratu Halimah bergeming. Raja Ghaozon semakin gusar. Ia akhirnya menyadari permaisurinya sangat kuat pendiriannya ketika keluar kamar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Halimah tunggu! Apa yang kau lakukan? Tolong pikirkan lagi dengan kepala dingin! Halimaaah! Aku tak bisa hidup tanpamu!” teriak Raja Ghaozon histeris.
Tetapi Ratu Halimah sama sekali tidak peduli dengan teriakan Raja Ghaozon. Seluruh pintu hati sang ratu benar-benar sudah tertutup untuk sang raja yang dianggapnya teramat egois dan kejam pada darah dagingnya sendiri. Ratu Halimah berlari sambil terus mengendong Hasyi hingga keluar dari gerbang istana. Ia tak peduli dengan tatapan penuh keheranan dari para pelayan istana dan prajurit penjaga.
Beberapa saat setelah kepergian Ratu Halimah, tiba-tiba seorang ajudan raja tergesa-gesa membuka pintu kamar dengan kasar. Wajah Raja Ghaozon yang masih sangat galau terlihat memerah. Hampir saja ia menempeleng sang ajudan itu.
“Ampun Yang Mulia Raja, gawat! Sisa-sisa para kepala suku nomaden Beylik sedang melakukan kudeta. Mereka berkuda ke sini membawa senjata lengkap disertai tank dan kendaraan pansernya.”
Baru selesai berbicara, tiba-tiba sebuah proyektil artileri melubangi kepala ajudan itu. Darah berserakan di lantai istana. Sebuah peluru tajam yang memecahkan kaca jendela hampir melukai Hasya yang terbangun dari tidurnya. Raja Ghaozon dengan sigap melindungi putrinya dari pecahan kaca dengan tubuhnya sendiri.
“Hmm…pasti Pasha Bey dalang di balik semua upaya kudeta ini. Ia pasti ingin menggantikan posisiku sebagai raja. Awas saja jika tiba saat yang tepat, ia akan kuhukum mati!” gumam Raja Ghaozon. Ia tidak akan marah jika dirinya sendiri yang terluka, tetapi ia akan sangat marah jika putri kecilnya terluka.
Raja Ghaozon yang awalnya ingin mencegah Ratu Halimah minggat dari istana terhalang oleh pasukan pemberontak yang memblokade gerbang depan. Ia akhirnya memilih menggunakan kesempatan untuk melindungi putrinya.
Pasha Bey merupakan petinggi dari kepala suku-suku nomaden Beylik. Wajar bila Raja Ghaozon langsung menduga Pasha Bey mengerahkan sukunya untuk membantu melakukan kudeta. Tentu saja itu hanya sebuah tuduhan yang tak berdasar.
Setelah pertempuran seharian di gerbang istana, kudeta itu akhirnya dapat ditumpas dengan mudah oleh pasukan kerajaan. Ini karena persiapan kudeta Suku Beylik belum matang.
Meski berhasil menggagalkan kudeta, Raja Ghaozon benar-benar terpukul setelah Ratu Halimah meninggalkannya. Sejak semua kejadian itu, sebagai raja yang memiliki darah siluman api tingkat tinggi, ia tak punya pilihan selain menghapus ingatan seluruh rakyatnya dengan segenap kekuatan siluman Asura yang ia miliki. Raja ingin menghapus keberadaan anak dan permaisurinya yang telah melarikan diri dari istana demi menjaga nama baiknya di depan rakyat-rakyatnya.
Bagi rakyat yang tidak terpengaruh oleh kekuatan sang raja dalam menghapus ingatan, Raja Ghaozon akan mencoba menyogok dengan menjadikannya bangsawan. Ini agar rakyat itu tidak menyebarluaskan rahasia yang disembunyikan oleh sang raja. Bagi rakyat yang menolak disogok menjadi bangsawan, sang raja tidak segan menghukum mati tanpa menjelaskan alasan apapun. Raja memang punya kekuatan untuk mendeteksi siapa saja yang terpengaruh dengan kekuatannya dalam menghilangkan ingatan dan siapa saja yang tidak terpengaruh. Raja Ghaozon tak mau nama baiknya tercemar karena kepergian istri dan anaknya.
Ratu Halimah termasuk yang tak terpengaruh kekuatan raja dalam menghapus ingatan. Meski kelak ia mengaku sebagai ratu, bisa dipastikan seluruh rakyat di kerajaan ini akan melupakannya. Tak akan ada yang tahu bahwa ia pernah menjadi permaisuri.
Dengan berat hati, Raja Ghaozon yang memiliki kekuatan siluman Asura juga mengutuk sepasang telinga Hasyi yang telah dibawa kabur oleh permaisurinya. Telinga anak laki-laki itu diubah menjadi telinga kelinci arktik yang bulunya berwarna campuran putih, merah muda, dan coklat. Raja berharap kelak Hasyi akan mudah dikenali atau ditemukan.
Bentuk telinga Hasyi kini seperti telinga kelinci sungguhan yang panjang dan bisa digunakan untuk memantau lingkungan serta mendeteksi predator di sekitarnya. Telinga itu menonjol dan memanjang hingga di atas rambut kepalanya yang berwarna hitam kecoklatan sebagai wikara atau kutukan dari raja.
Kutukan itu dilontarkan Raja Ghaozan juga sebagai tanda untuk terus mengenang permaisurinya yang sangat bersikeras melindungi Hasyi. Padahal Hasyi telah diramalkan para leluhurnya sebagai analogi kelinci pembawa jam. Anak yang kelak akan menghancurkan seluruh kerajaan dengan bom waktu yang disandangnya.
Posting Komentar