"Apa yang akan terjadi jika gen autisme dihilangkan dari pool gen? Anda akan melihat sekelompok orang berdiri di sekitar gua, mengobrol, dan bersosialisasi tanpa menyelesaikan apa pun. ”
Dr. Temple Grandin  (Penulis 60 makalah ilmiah tentang perilaku hewan dan industri peternakan, serta juru bicara autisme)
Suara gemercik air hujan yang memantul di atap gedung Psikologi Z terdengar cukup nyaring. Sejenak Hasyi melirik deraian air hujan dari balik jendela ruang tunggu.
Hasyi kemudian memalingkan kembali perhatiannya ke arah buku yang sedang ia baca. Hasyi sedang asik membaca buku cerita dongeng di dekat rak buku yang ada di sekitar ruang tunggu.
Hasyi biasanya akan mengamuk dan tidak akan membiarkan siapapun mendekatinya termasuk ibunya sendiri. Ia tidak suka saat ada orang yang mengganggunya ketika ia melakukan sesuatu yang menarik perhatiannya.
Setelah selesai membaca beberapa buku dongeng di ruang tunggu, Hasyi selalu merapikan buku yang baru saja ia baca atau yang berserakan di lantai karena habis dibaca oleh anak lain. Ia sangat senang menumpuk tinggi-tinggi buku-buku yang habis ia baca itu, di atas rak buku dongeng. Berulang-ulang ia melakukannya tanpa bosan ataupun lelah sama-sekali.
Hasyi sangat suka keteraturan. Ia selalu merasa gelisah hingga frustrasi jika melihat barang barang di rumahnya berantakan. Ia juga lebih suka merapikan mainannya di rak hingga terlihat sejajar dan simetris daripada menghabiskan waktu untuk memainkannya.
Halimah tampak frustrasi ketika bertatap mata dengan seorang wanita tua ahli psikologi yang baru saja selesai mendiagnosa Hasyi di dalam ruang konsultasi yang bertembok warna putih pucat.
Di luar hujan sudah berhenti. Suasana yang berubah senyap kian membuat Halimah gelisah.
“Bu, apakah anak saya bisa sembuh?” Halimah menggebrak meja di depan ahli psikologi yang baru saja mendiagnosa
Hasyi. Halimah tak dapat mengendalikan kegelisahannya, bagaikan mimpi buruk yang selama ini terus berusaha ia pendam.
“Sabar, sabar Bu, sebaiknya ibu tenang dulu. Autis mungkin terlihat mudah untuk didiagnosa namun pada praktik pengamatan sehari-hari justru sulit untuk menegakkan diagnosanya karena gejala perilaku yang ditunjukkan anak-anak autis terkadang agak terlihat mirip dengan kelakuan anak-anak balita seusianya,” psikolog itu meminta Halimah tetap duduk tenang.
Psikolog itu menunjukkan hasil diagnosa kasus Hasyi yang ada di dalam map pada Halimah. Di gedung Psikologi Z itu, Hasyi diberikan berbagai macam tes untuk mendiagnosa perilakunya yang terlihat aneh. Mulai dari tes mengenal jenis binatang, tes menghitung, menggambar, menulis, membaca, dan tes menangkap bola. Ini untuk mengetahui seberapa kemampuan Hasyi dalam berkonsentrasi.
Psikologi itu semakin yakin jika Hasyi menyandang autisme karena Hasyi sama sekali tak terlihat peka ataupun menanggapi saat staf psikolog melemparkan bola kepada Hasyi. Hasyi tetap asik di dalam dunianya sendiri.
Namun pada saat tes membaca, Hasyi bukan hanya menanggapi staf psikolog yang memeriksanya, ia bahkan begitu antusias. Ia jauh lebih tertarik pada tes membaca daripada tes menangkap bola.
Anak autis biasanya sangat tertarik dan mampu berkonsentrasi dengan sangat baik pada satu hal yang mereka anggap menarik. Akan tetapi, anak autis cenderung tidak mempedulikan sama sekali sesuatu yang mereka anggap tidak menarik, bahkan jika sesuatu yang mereka anggap tidak menarik itu ada di sekitarnya.
Selain mengikuti serangkaian tes itu, Hasyi juga menjalani tes kecerdasan intelektual yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, daya tangkap, dan belajar.
Meskipun anak autis seperti Hasyi sangat sulit berkomunikasi dua arah, psikolog itu tetap berusaha melakukan tanya jawab dengan Hasyi untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam diagnosanya. Ia ingin mencari tahu apa yang ada di pikiran Hasyi.
Psikolog itu membutuhkan waktu lima hari untuk menegakkan diagnosa. Ia meminta ibu Hasyi kembali ke tempat gedung Psikologi Z, lima hari setelah proses diagnosa untuk menyerahkan dokumen hasil diagnosa kasus Hasyi kepada ibunya.
“Kemungkinan ada ketidakseimbangan kimiawi pada otak Hasyi yang menyebabkan hambatan pada perkembangannya. Banyak tanda dan gejala yang dapat kami gunakan untuk mendiagnosa autisme. Yang paling nyata adalah perilakunya yang memperlihatkan kecenderungan untuk tinggal di dunianya sendiri, gerakan berulang yang dilakukan tanpa henti, serta kelakuannya pada rutinitas sehari-hari,” mendengar pemaparan psikolog itu, ibu Hasyi tidak kuasa menahan tangisnya.
Ibu Hasyi hampir saja berteriak karena ia merasa Tuhan tidak adil padanya dengan memberikan anak seperti Hasyi. Langit terasa runtuh!
Rasanya tak berlebihan kalimat itu diucapkan oleh ibu manapun begitu mengetahui jika anaknya dinyatakan menyandang autis. Apakah ibu Hasyi akan menangis berkepanjangan, melampiaskan kekecewaan dengan menutup pintu hatinya rapat-rapat dari anak laki-lakinya itu? Atau ia akan tetap berdiri tegak berusaha menuntun Hasyi menuju kehidupannya lebih baik dan mandiri di masa yang akan datang?
Setelah mengernyitkan dahi hingga matanya celingukan mencari cara menenangkan ibu Hasyi yang sedang menangis tersedu-sedu, psikolog itu pun menarik napas panjang dan meneruskan kata-katanya.  
“Kami akan berusaha memberikan pelatihan dan terapi yang tepat agar Hasyi bisa mandiri paling tidak untuk kehidupan sehari-harinya.” Psikolog itu menepuk pundak ibu Hasyi perlahan-lahan berusaha menenangkannya.
“Namun ibu jangan khawatir soal Hasyi. Semua yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini pasti ada maksudnya. Dari hasil observasi dan tes, ternyata Hasyi memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Itu semua terbukti karena di usianya yang belum genap lima tahun, Hasyi sudah cukup lancar membaca huruf latin dan tampaknya ia juga punya minat pada bidang yang ia sukai, tapi hanya akan selalu fokus pada minatnya itu.”
Psikologi itu terdiam sejenak sambil melihat burung gagak berwarna hitam yang hinggap di jendela ruang kerjanya.
Kemudian psikolog itu melanjutkan kata-katanya. Ia menjelaskan pada ibu Hasyi bahwa pengidap autisme biasanya memiliki daya ingat yang sangat baik dan jelas. Untuk urusan membaca pola, berhitung, dan menarik kesimpulan logis biasanya mereka jauh lebih mahir dari orang-orang pada umumnya.
“Kami mendiagnosa Hasyi mengalami sindrom asperger. Autis yang dialami Hasyi hanyalah autis ringan, namun
tetap memerlukan perlakuan dan pendidikan khusus. Permasalahan utama anak penyandang asperger adalah kesulitan dalam memahami lingkungan sosial atau keadaan di sekitarnya. Orang-orang kerap kali salah mengertikannya sebagai individu yang tidak menghargai etika sosial.”
Akhirnya psikolog itu memeluk tubuh ibu Hasyi yang masih menangis tersedu seolah mengisyaratkan jika semua yang terjadi pada Hasyi sama sekali bukan kesalahannya.
Sindrom asperger adalah gangguan neurologis atau saraf yang tergolong ke dalam gangguan spektrum autisme. Gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder) atau yang lebih dikenal dengan autisme merupakan gangguan pada sistem saraf yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.  
Psikolog itu menarik kembali rambutnya ke belakang yang tertiup kipas angin. Sejenak ia menutup wajahnya dari terpaan angin.
“Memang mengurus anak autis seperti Hasyi bukanlah hal yang mudah. Sangat banyak orang tua tak bertanggung jawab yang tega membunuh dan membakar hidup-hidup anak-anaknya sendiri yang mengalami autisme karena mengira anaknya telah dikutuk wikara atau dirasuki roh jahat. Memang kepercayaan yang tidak benar di kerajaan ini seakan tak dapat dihilangkan.”
Psikolog itu mengakhiri kata-katanya dengan berusaha memberikan semangat agar ibu Hasyi bisa tabah menerima Hasyi apa adanya. Tidak banyak ibu yang memiliki anak autis begitu tegar menerima kehadiran anaknya yang kebetulan tidak sama dengan anak-anak yang dianggap normal lainnya.
Siluman yang baik disebut detya dan yang jahat disebut danawa. Meskipun penduduk kerajaan ini sudah lama tidak mengenal kedua penggolongan itu karena kejahatan dan kebaikan dianggap bisa terjadi di dalam diri siapa saja.
Terkadang siluman danawa inilah yang dianggap sebagai roh jahat yang merasuki tubuh anak autisme. Sebagian siluman memang ada yang bisa merasuki tubuh manusia atau siluman lain, tetapi mereka tidak terbukti menjadi penyebab anak menyandang autisme.
Setelah keluar dari ruangan konsultasi itu, ibu Hasyi mendapati anaknya sedang membaca buku kumpulan dongeng dengan penuh antusias di dekat rak buku ruang tunggu. Hasyi sama sekali tidak mau memalingkan perhatiannya dari buku dongeng yang sedang ia baca untuk alasan apapun.
Ibu Hasyi sangat tidak nyaman melihat telinga kelinci yang ada di atas rambut Hasyi. Telinga yang dengan tega diberikan ayah kandung Hasyi sendiri untuk mempermalukannya. Menandakan jika Hasyi adalah mangsa lemah di dasar rantai makanan yang tak berguna dan selamanya akan menjadi bulan-bulanan oleh mahluk lain yang lebih kuat.
Meskipun telinga kelinci itu diberikan sebagai kutukan, di sisi lain sebenarnya Hasyi cukup nyaman dengan telinga kelinci yang dimilikinya. Anak autis seperti Hasyi sangat sensitif dengan tekstur suatu benda. Bulu telinga kelincinya yang halus itu sangat nyaman untuk diraba terus-menerus dan membuat kemampuan konsentrasi Hasyi semakin meningkat.
Belum lagi kebanyakan anak autis seperti Hasyi buta arah. Tetapi dengan kedua telinga kelinci di atas kepalanya, ia dapat dengan mudah mengingat arah saat bepergian hingga ia tidak mudah tersesat seperti anak autis kebanyakan.
“Hasyi kamu lagi baca buku apa itu, Nak? Kelihatannya bagus sekali. Boleh ibu ikut lihat?” tanya ibu Hasyi sambil memangku dan memeluk anaknya erat-erat. Ia lalu berlahan-lahan melepaskan pelukannya.
Hasyi kini sedang memakan wortel cemilannya sambil asik terus membaca. Ibu Hasyi tersenyum kecil saat menyaksikan anaknya melahap wortel. Mata Hasyi yang berwarna coklat kemerahan dengan rambut coklatnya yang agak ikal selalu membuat ibu Hasyi tersenyum.
Ibu Hasyi ikut membaca salah-satu buku yang ada di rak. Buku yang lebih tebal karena bukan buku dongeng. Itu adalah buku tentang autisme. Buku yang menjabarkan kemungkinan dua anak kembar identik sama-sama mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen.
Itulah mungkin alasan mengapa putri kecil Raja Ghaozon dan Ratu Halimah, yaitu Hasya, tidak mengidap autis seperti saudara kembar laki-lakinya, Hasyi. Karena masih ada kemungkinan 60 hingga 95 persen putri kecil itu tidak mengalami autisme seperti yang diidap saudara kembarnya. Apalagi, berdasarkan buku itu, autisme ternyata lebih banyak diidap anak laki-laki daripada anak perempuan. Ibu Hasyi pun mengangguk-angguk saat membaca buku itu.
Ibu Hasyi kembali merasa bersalah meninggalkan Hasya sendirian di Kastil Herlingen dan hanya mementingkan Hasyi. Sebagai seorang ibu, ia jelas menyayangi kedua buah hatinya itu. Tak ada perbedaan. Namun, kini Hasyi yang paling membutuhkan dukungan kasih sayangnya. Apalagi, nyawa Hasyi setiap saat selalu dalam ancaman pihak kerajaan.
Meskipun ingatan tentang saudara kembarnya telah dihapus oleh ayahnya, samar-samar Hasyi masih terkenang Hasya. Entah bagaimana, bayangan Hasya tiba-tiba melintas di alam bawah sadarnya. Ini membuatnya mudah marah dan menangis. Ia masih merasa kehilangan sosok yang sangat berharga selain ibunya.
Begitu pun yang mungkin dirasakan Hasya yang kini tinggal di Kastil Herlingen. Usai berpisah, kedua anak kembar itu seakan adalah potongan cermin yang terbelah.
Tetapi Hasyi benar-benar tidak nyaman dan tidak suka dipeluk oleh siapapun bahkan oleh ibunya sendiri. Hasyi malah menangis dan meronta-ronta berusaha melepaskan tubuhnya tatkala ibunya berusaha mendekapnya.
“Ibu minta maaf karena mungkin melakukan kesalahan saat melahirkanmu. Seumur hidup mungkin kau akan merasakan kesedihan, mungkin akan terus disakiti orang lain karena keadaanmu yang seperti ini. Kerajaan ini sudah lama berjanji menjadi rumah kebahagiaan bagi anak penyandang autisme seperti dirimu. Kaulah yang akan mewujudkan dan membuktikan jika janji itu benar," Ibu Hasyi berkata-kata setengah berbisik.
Hasyi masih saja asik dengan buku bacaannya. Wortel di tangannya sudah tak tersisa. Ia seperti tak mendengar kata-kata dari ibunya.
"Beritahu ibu jika suatu saat nanti ada orang yang menyakitimu! Ibu bersumpah akan menggigit leher semua orang yang menyakitimu dengan taring siluman harimau ibu, sampai putus!”  cetus Ibu Hasyi dengan napas tersengal-sengal.
Suaranya tidak jelas karena menahan isak tangis. “Ibu berjanji akan terus menjaga dan mengurusmu tanpa harus bergantung pada siapapun. Mungkin itu bukanlah hal yang mudah, namun inilah kata-kata yang harus selalu kau ingat seumur hidupmu. Hasyi, orang yang selalu mengeluhkan ketidakmampuan selamanya tak akan mampu mengubah apapun!”
Tentu saja Hasyi tak memahami dan tak peduli dengan kata-kata ibunya. Hasyi tetap meronta-ronta berusaha melepaskan diri ketika ibunya kembali mendekapnya.
Namun, ibu Hasyi tidak akan menyerah mengungkapkan seluruh kasih sayangnya. Ibu Hasyi tetap berusaha mendekap tubuh Hasyi dengan pelukan malaikatnya yang semakin erat.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama