"Asla karanlıktan korkmadım. Karanlık her zaman beni incitmek isteyen insanlardan korur. Işıktan uzaklaşmaya başladığımda."

"Aku tidak pernah takut pada kegelapan. Kegelapan selalu melindungiku dari orang-orang yang ingin menyakitiku. Ketika aku mulai berpaling dari cahaya, jalan kesengsaraan terhubung ke jalan kebahagiaan."

(Hasyi Ozgur Bhirawa Sanca IX)
                                                        


Malam itu telah menjadi saksi di saat jiwaku dihantui bayang-bayang kegelapan. Tubuhku terus terjaga semalaman karena aku tak dapat menahan keinginan untuk membuang air kecil.

Perlahan-lahan aku beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Aku berusaha tidak membangunkan ibu yang sudah tertidur lelap karena kelelahan bekerja sepanjang hari. Aku tak ingin ibu terbangun hanya gara-gara aku ingin buang air kecil. Aku tak ingin mengganggunya dan aku merasa sudah cukup mandiri untuk buang air sendiri.

Tapi aku tak hanya buang air kecil di kamar mandi dan langsung kembali tidur. Aku masih belum mau memejamkan mata.  Aku melangkahkan kaki menuju ruang belakang.

Aku lantas ke teras belakang rumah. Di situ ada keran air tempat ibu biasa mencuci baju dan mencuci piring.  

Saat ibu sedang mencuci, aku selalu tak dibolehkan mendekat. Mungkin ibu khawatir aku terpeleset atau mungkin khawatir aku menyenggol piring-piring itu. Atau mungkin ibu tak mau pekerjaannya terganggu. Teras belakang ini juga tempat menyimpan kandang penguin-penguin hasil buruanku yang besok akan dijadikan sarapan.

Aku bermain air dari keran teras itu hanya untuk sekadar membasahi telapak tanganku. Entah mengapa aku seringkali merasa gelisah dan tidak nyaman saat telapak tanganku kering. Seperti ada sesuatu yang selalu kurang di telapak tanganku.

Jika tanganku kering rasanya aku semakin kesulitan untuk tidur. Bahkan aku tidak merasa nyaman saat meraba pakaian ataupun seprai tempat tidurku yang memiliki tekstur menyerap keringat semacam bahan katun. Rasanya geli dan gatal.

Aku lebih suka memakai pakaian berbahan panas dan tak menyerap keringat seperti poliester dan nilon untuk meredakan nyeri di seluruh tubuhku. Pakaian seperti itu memberikan perasaan tenang dan nyaman di telapak tanganku.

Saking asyiknya bermain air,  aku tidak menyadari jika keadaan teras rumahku telah berubah total! Bak mandi, mesin cuci kuno, gayung, ember, dan semua perabot yang ada di teras telah lenyap! Kini yang terlihat adalah lorong tangga gelap yang sangat menyeramkan.

Inikah pemandangan mengerikan yang sering diberitahu ibu jika aku bandel dan terlalu banyak bermain air? Haruskah kali ini aku berteriak untuk memanggil ibu?

Ah, sudah terlambat. Sekelilingku telah berubah dalam sekejap.

Mendadak aku melihat pintu yang biasa digunakan untuk keluar dari teras rumah kian berada jauh di atas anak tangga yang kemerahan karena terkena percikan api.

Anak tangga yang ada di bawah pijakan kakiku seakan tak terbatas dan tak terlihat ujungnya karena diselimuti oleh kegelapan yang sangat pekat. Tangga itu terbuat dari sebuah rak buku emas yang ditumpuk dari yang rendah ke yang tinggi.

Di samping tembok tertempel cetak biru semacam prasasti yang tersemat di sebuah papan tulis. Lorong tangga ini digerakkan oleh rantai-rantai mesin uap yang ditautkan pada sebuah baut besar.

Rak buku ini berputar terbalik, bergerak sangat cepat seperti kereta uap. Suara kereta uap itu memekakkan telingaku.

Sebuah menara jam di belakangku terus bergerak mundur dan terus mendentangkan loncengnya. Mesin di rantai menara jam itu mengendalikan tangga rak buku tempatku berpijak.

Hanya ada sedikit cahaya di lorong tangga itu. Pelan-pelan aku pun mulai sadar jika cahaya yang sedikit itu berasal dari balik tubuhku. Spontan aku menoleh ke belakang.

Beberapa meter dari tempatku berdiri, sesosok laki-laki bertubuh besar ada di situ. Sosoknya tidak terlihat jelas karena wajah dan rambutnya seakan terbakar dan tertutup oleh kobaran api. Menyala-nyala sangat mengerikan.

Tubuh laki-laki itu selalu mengeluarkan uap yang sangat panas. Matanya tajam seakan terus mengawasiku. Aku takut sekali, tapi aku berusaha tetap tenang dan tidak mengatakan sepatah kata pun.

Api dari rambut pria itu amat terang menyala dan seakan bisa membuat mataku tak bisa melihat selama sepekan. Aku sangat peka dengan buku-buku. Meskipun aku memiliki penciuman yang kurang baik, namun aku sangat peka dengan suara buku yang terbakar. Buku di rak tepat di bawah kakiku terdengar mulai gemeretak. Baunya seperti kayu-kayu yang terbakar api.

Meskipun aku takut. namun rasa ingin tahuku lebih besar daripada rasa takutku. Aku mencoba memberanikan diri mendekatinya dengan melangkah turun perlahan-lahan.

Tapi baru beberapa langkah aku menginjakkan kaki ke anak tangga yang berada tepat di bawah pijakan kakiku, tiba-tiba tubuhku seakan terasa terbakar api. Tubuhku seolah-olah adalah daging yang dipanggang hidup-hidup. Panas!

“Tampaknya kau mulai tak tahan dengan panas api di tempat ini. Mungkin saat ini aku akan membiarkanmu pergi. Tapi dengan membiarkanmu pergi dari tempat ini, itu artinya aku menganggapmu sudah setuju dengan perjanjian kita. Kau harus berjanji mengakui aku sebagai bagian dari dalam dirimu,” tiba-tiba laki-laki asing itu mengatakan sesuatu yang samar-samar karena suaranya seperti tertelan percikan api yang membakar lorong tangga.

“Aku dulu adalah seorang petapa yang membantu ayah dan ibumu melahirkanmu di dunia ini. Sekarang aku adalah darah siluman api yang sejak kau lahir sudah ditakdirkan mengalir bersama aliran darah di dalam tubuhmu. Jadi kau tak bisa menghindar dariku, meskipun panas dari api ini bagimu sangat menyakitkan, lama-kelamaan kau akan terbiasa dan dapat mengendalikannya sebagai sahabat setia yang selalu melindungimu. Percayalah.”

Setelah laki-laki asing itu mengakhiri kata-katanya, api yang membakar lorong tangga tempatku berada seketika padam. Tetapi, api yang menghilang di lorong tangga itu ternyata telah berpindah dan segera menyatu dengan daging di dalam tubuhku. Api itu menyeruak tak terbatas di tulang rusukku dan membuat tubuhku terasa semakin tersiksa karena panasnya. Panas! Teramat Panas!

Aku bergegas menghindar dari laki-laki misterius itu. Aku segera berlari menuju pintu keluar teras rumahku yang terlihat semakin jauh di puncak anak tangga. Tapi semakin berlari aku merasa pintu itu mulai menjauh, menjauh, dan terus menjauh.

Tubuhku semakin terbakar oleh api yang kian bertambah panas setiap detiknya. Panas!

Tangga di bawah kakiku digerakkan oleh mesin uap yang dikendalikan oleh menara jam di depanku. Menara jam di depanku berputar berlawanan arah jarum jam dengan sangat cepat sampai jarum panjang dan pendeknya berhenti di angka 12. Tubuhku terasa menyusut sampai terbenam di dalam jarum jam lubang waktu yang terbakar yang berputar sangat cepat.

“Ah panas, panas, panas!!!” Aku meronta-ronta hingga tubuhku berguling-guling. Tapi anehnya meskipun aku mengguling-gulingkan tubuhku di lorong tangga, aku sama sekali tidak terjatuh atau terlempar ke bawah.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama