Aku mendapati sebuah pohon beringin yang sangat tua dan besar. Dedaunannya mulai kering dan wajahnya terlihat hampir tanpa cahaya kebahagiaan. Akarnya dipenuhi jamur dan sulurnya menjuntai dengan sangat lebat.
Aku tak dapat menolak untuk tidak menegur wajah pohon yang kuinginkan itu. Meskipun setelah perang nuklir ada semacam sihir yang membuat pohon kembali tumbuh di tanah yang terpapar radiasi, namun pohon yang tersisa di zaman ini sangatlah jarang. Hanya pohon-pohon kokoh seperti beringin yang masih mampu bertahan.
Pepohonan ini sebentar lagi akan ditebang untuk dijadikan lahan perkantoran. Aku tidak mau kehilangan saat-saat terakhirku bersama pepohonan itu, pohon tua seumur kakek-kakek.
Sebenarnya aku tak yakin jika sosok pohon beringin itu memang benar-benar nyata atau hanya sekadar teman khayalanku belaka. Namun bagiku itu semua tidak penting.
Baik nyata ataupun tidak, aku tetap menyayangi semua pohon yang ada di seluruh dunia. Pohon beringin itu tak memiliki mata, tapi ia bisa melihat dengan sangat jelas. Ia tak punya mulut tapi ia dapat berbicara dengan fasih. Bahkan pohon beringin itu selalu bisa memahami perasaan anak-anak yang bermain di sekitarnya.
“Permisi apakah kakek pohon ini bernama Waringin?” tanyaku dengan suara lembut. Aku berusaha bertanya dengan sopan.
“Iya saya Waringin. Lalu, siapa kamu?” tanya kakek Waringin sambil menatap wajahku dengan penuh teliti.
“Saya Hasyi, Kek. Anak yang dulu suka bermain dan memanjat tubuh kakek,” jawabku sedikit mengeraskan suaraku, tapi tetap berusaha bernada lembut dan sopan.
“Oh itu kau Hasyi! Maaf Kakek lupa. Kakek sudah lama tidak melihat wajahmu, sepertinya kau tampak lebih tua daripada saat kakek terakhir kali bertemu denganmu. Dan, sepertinya kakek sudah mulai pikun, heheheh….” Kakek Waringin terbelalak sekejap memandangi diriku, kemudian terkekeh-kekeh menertawakan dirinya sendiri.
Karena aku terlalu lama tak bertemu, aku pun memeluk tubuh Kakek Waringin erat-erat di bagian batang pohonnya untuk meluapkan seluruh rasa rinduku padanya. Jelas pelukan tak bisa sampai melingkari tubuh Kakek Waringin yang teramat besar. Tapi aku merasa gatal karena di bagian batangnya dipenuhi semut berwarna merah. Aku pun buru-buru melepaskan pelukan.
“Oh iya Kek kenapa tadi aku mendengar Kakek menangis?” tanyaku hampir meneteskan air mata. Hatiku tak kuasa menatap wajah kakek Waringin yang tampak bersedih dan kian menua.
“Tak apa Hasyi, Kakek hanya sedih sudah lama tak ada anak-anak yang mau bermain lagi dengan Kakek. Tapi jangan khawatir Kakek merasa baik-baik saja,” jawab Kakek Waringin seolah menatap mataku dengan tersenyum.
“Oh iya Hasyi, kenapa kau ingin bertemu dengan Kakek, ada perlu apa?” Kakek Waringin meneguk sebuah kopi bercangkir tanah liat raksasa ke dalam mulut kayunya. Entah darimana ia mendapatkan secangkir kopi itu.
Ada seekor kupu-kupu merah muda yang lewat di depan cangkir kopi Kakek Waringin. Sayap kupu-kupu itu lalu patah dan tubuhnya melepuh hingga jatuh ke tanah karena saking panasnya cangkir Kakek Waringin itu.
“Tak apa Kek aku hanya ingin bertemu dengan kakek. Aku janji sama kakek kalau aku ada waktu, aku akan selalu berkunjung ke tempat Kakek.” Aku mulai duduk di atas rantingnya perlahan-lahan.
Tapi karena di ranting Kakek Waringin banyak semut merah dan membuatku gatal, aku langsung turun dari rantingnya ke tanah dan kembali duduk di atas akarnya. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa ingin kembali berdiri. Aku pun berdiri di hadapan wajah kakek Waringin dengan hampa.
***
“Eits-eits kalau kau menangis terus nanti kita akan tertangkap, diam ya anak pintar.”  
Sore yang muram. Segerombolan pasukan pejalan kaki menenteng tombak dan senapan ringan memasuki wilayah pepohonan yang sangat luas. Mereka mengejar seorang wanita yang terlihat menggendong seorang anak balita.
Wanita tersebut menutup mulut Hasyi yang saat itu masih berusia lima tahunan. Dahinya berkerut mempelajari arah jalan pasukan yang dikenal dengan sebutan Janissary. Mereka adalah pasukan elite dari Kerajaan Miggleland.
Para pasukan itu mengenakan seragam berupa kain kaftan panjang ke bawah mencapai betis kaki. Bagian lengannya tampak panjang menutupi siku. Bagian celananya dilengkapi dengan semacam rok.
Mereka juga mengenakan hiasan kerucut berwarna merah asimetris dengan ikat kepala lebar berwarna emas. Selembar sarung putih melingkar di leher. Beberapa pasukan Janissary yang berpangkat lebih rendah mengenakan turban berwarna merah dengan bintang emas kecil tersemat di kepala mereka.
Wanita itu mempercepat derap langkah kakinya sambil terus menggendong Hasyi. Dari postur tegapnya untuk ukuran seorang wanita, ia jelas bukan wanita biasa. Sebelum diangkat menjadi ratu, ia dulu adalah seorang panglima besar pasukan elite Janissary, Halimah Hatun. Seorang cindaku yang perkasa tak tertandingi.
Raja Ghaozon terus memburu permaisurinya. Ia masih mencintainya, meskipun Halimah sudah tidak sudi menatap wajah mantan suaminya itu. Halimah adalah putri dari kepala Suku Beylik, kepala suku tertinggi di kerajaan ini. Sebelum akhirnya ia dipinang oleh raja.
Hasyi memang agak mirip ibunya meskipun sebenarnya dia adalah siluman api seperti ayahnya. Walau belum membangkitkan dan mengendalikan darah siluman apinya, sebenarnya sejak kecil Hasyi sudah menunjukkan tanda-tanda kekuatan siluman apinya.
Saat ia sedang marah dan tak bisa mengendalikan dirinya, rambutnya yang coklat lebat selalu terbakar, terlihat seperti iblis. Ini membuat ibunya gelisah karena anak autis seperti Hasyi memiliki emosi yang tidak stabil. Hasyi memiliki kulit agak pucat dan gigi taring. Namun gigi taringnya tidak setajam cindaku murni seperti ibunya.
Cindaku memiliki kekuatan Asura yang dapat membuat tubuh pemakainya menjadi lebih ringan dan tak kasat mata. Dahulu, kekuatan ini berguna untuk berburu binatang ataupun manusia.
Halimah dan Hasyi bersembunyi di balik tubuh kakek Waringin. Halimah selalu menggengam sebuah payung di salah satu tangannya untuk memayungi Hasyi dan dirinya sendiri dari hujan dan udara panas saat sedang mengembara bersama.
”Ibu, kenapa sih kita harus hidup berpindah-pindah terus? Aku kan jadi gak punya teman, ya meskipun memang tak ada anak yang mau jadi temanku. Apalagi aku juga lebih suka di rumah,” ujar Hasyi kecil merajuk dengan wajah manja dan tatapan bola mata yang melengos ke mana-mana.
Ibu Hasyi berusaha menghibur anaknya. ”Ini demi keselamatan kita sayang. Setidaknya kau bisa melihat hal-hal baru dan mengagumkan di seluruh negeri. Ini bagus untuk mengisi jiwa anak autis sepertimu. Kau tidak perlu takut lagi dengan sesuatu yang baru.”
Hasyi ingin menjawab tetapi ibunya memberinya isyarat untuk tidak bersuara. Sosok-sosok bayangan itu berjalan dalam gerak lambat yang mengintimidasi.
Tubuh Halimah yang sudah lebih tua dan tidak sebugar waktu remaja tak kuasa terus bertahan. Alhasil dirinya yang awalnya tak kasat mata akhirnya terlihat oleh sepasukan Janissary itu. Tak ada pilihan lain kecuali melawan mereka.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama