Halimah menghunus kerisnya. Tanpa basa-basi ia merapal mantra dalam kerisnya hingga langsung mengeluarkan dinding es yang sangat tajam untuk melindungi dirinya dan Hasyi.
Segerombolan pasukan Janissary itu menembakkan senapan berpeluru aliran listrik ke arah Halimah, tetapi dengan cekatan Halimah menghabisi sepasukan Janissary itu dengan menusuk-nusukan bongkahan tembok es yang tajam itu ke leher satu per satu anggota pasukan Janissary hingga leher para tentara Janissary itu terpenggal. Mayat tanpa kepala mereka membeku di tempat itu.
Pemimpin kompi pasukan Jaissary itu adalah Naga Hijau, seorang siluman naga paruh baya yang sudah lama menjadi komandan Janissary kepercayaan raja. Tetapi ia tidak mampu menangkap seorang wanita yang terlihat lemah sambil menggendong anak balita.
Seumur hidupnya, Naga Hijau tidak bisa melupakan wajah Hasyi dan ibunya. Selama berbulan-bulan ia tidak pernah berhenti mengejar Hasyi dan ibunya ke seluruh penjuru kota dan provinsi di kerajaan. Hingga akhirnya mereka kembali ke Kota Rumeli Hisari.
Naga Hijau mengenakan helm bundar khas dari tembaga yang disepuh disertai dengan kechea yaitu pita bersulam emas yang dikenakan di lengan baju. Simbol itu menunjukkannya mengikuti tarekat kerajaan.
“Nyonya tak ada gunanya melarikan diri. Jika Anda menyerahkan diri kepada raja dan berbicara baik-baik, kami janji tak akan menyakiti Anda,” ujar Naga Hijau setelah kewalahan menghadapi ibu Hasyi seraya mengundurkan diri bersama pasukannya perlahan-lahan.
Agaknya setelah kalah telak, Naga Hijau baru mencoba mengajak berdamai lawannya. Lantaran tak digubris, pasukan itu memilih mundur atau lebih tepatnya kabur.
“Kurang Ajar! Dia memanggil Ibumu, nyonya. Padahal Ibu kan masih muda. Ibu baru menginjak usia 60 tahun,” bisik ibu Hasyi pada anaknya sambil berkacak pinggang seolah menyombongkan diri.
Sebagai seorang siluman, ibu Hasyi memang tergolong masih muda untuk memiliki anak yang baru berusia lima tahun. Ibu Hasyi mencoba mengajak becanda anaknya. Namun Hasyi memang tak memahami candaan orang lain. Bahkan ia pun tak tahu jika ibunya sedang mengajaknya becanda.
“Ibu tadi keren! Kudengar ibu itu dulu seorang kesatria yang hebat,” teriak Hasyi.
Tidak seperti Hasyi remaja yang terlihat pendiam dan memiliki kepribadian kelam karena sering dikucilkan teman-teman di sekolahnya, Hasyi ketika masih balita adalah anak yang ceria dan selalu bersemangat dalam segala hal, berbeda dengan Hasyi yang kini sudah remaja.
”Terus?” tanya ibunya dengan wajah panik.
”Aku ingin menjadi seorang kesatria yang keren seperti ibu!’ jawab Hasyi.
Ibunya menatap Hasyi dengan tajam disertai senyuman. Ia terus mengelus rambut Hasyi yang coklat kemerahan sampai rambutnya menjadi kian keriting.
“Tidak perlu Hasyi, tidak saat ini, bahkan tidak untuk masa depan. Kau nanti akan menyesal jika menjadi kesatria seperti ibu. Banyak risiko yang akan menantimu jika kau menjadi kesatria. Kamu menjadi anak yang baik saja dan bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada siapapun. Buat ibu itu sudah cukup,” Hasyi menggelengkan kepala kebingungan. Ia heran tiba-tiba ibunya melarangnya menjadi seorang kesatria tanpa alasan apapun.
Halimah memang tak ingin anaknya terinspirasi menjadi seorang kesatria seperti dirinya dan terus melakukan tindakan sembrono dan membuat kesehatannya memburuk. Kini Hasyi adalah satu-satunya anaknya. Ia tak mau kehilangan satu-satunya orang yang paling ia sayangi, setelah kehilangan Hasya yang tertinggal di istana. Biarlah Hasyi kelak menjadi manusia biasa.
Selain minatnya menjadi seorang kesatria seperti ibunya, Hasyi juga terlihat memiliki minat menjadi seorang pendongeng. Tentu saja Halimah lebih mendukung impian Hasyi menjadi seorang pendongeng daripada menjadi seorang kesatria seperti dirinya. Ia berusaha membuat Hasyi melupakan minatnya menjadi seorang kesatria. Yang penting tingkah laku dan pendidikannya berjalan baik.
Halimah mendekap tubuh Hasyi kecil. Tidak seperti saat di gedung Psikologi Z beberapa bulan lalu, Hasyi tak lagi meronta-ronta begitu didekap ibunya. Ia kini sangat menikmati dekapan ibunya.
”Setiap anak di dunia memiliki negeri ajaibnya masing-masing. Suatu saat kau akan menemukan negeri ajaibmu mungkin dari teman-temanmu atau dari hal lainnya. Ibu yakin kau akan memiliki teman, ambilah Goldilocks ini! Kunci ini menjajikan negeri ajaib pada dirimu. Kunci ini menjanjikan kebahagiaan anak autis sepertimu di kerajaan ini,” Halimah menyapu air matanya. Ia memberikan sebuah kunci emas ke tangan kecil Hasyi. Kunci emas itu adalah kunci kamar asramanya di panti asuhan nanti.
Halimah berharap Hasyi akan mendapatkan teman baru di panti asuhan. Hasyi kecil melihat tubuh ibunya seperti berhadapan dengan raksasa. Tubuh Hasyi kecil lebih pendek daripada paha ibunya. Sehingga ibunya bisa menggendong tubuh kecilnya ke mana-mana dengan mudah.
Ibu Hasyi memiliki tinggi badan hampir dua meter, membuatnya terlihat seperti manusia harimau raksasa yang sebenarnya membuat Hasyi agak takut jika dia bukan ibunya. Saat sedang menggunakan ilmu tiwikrama, ibu Hasyi bisa benar-benar menjadi raksasa seukuran bukit.
Halimah meninggalkan Hasyi di depan pagar panti asuhan sambil mencium keningnya. Hati kecilnya tidak tega meninggalkan buah hatinya di panti asuhan itu.
Tetapi untuk saat itu, panti asuhan adalah tempat paling aman guna menyembunyikan dan melindungi Hasyi dari Raja Ghaozon, ayah kandungnya sendiri yang ingin membunuhnya dan menganggap Hasyi sebagai jelmaan iblis. Halimah akan membawa Hasyi kembali pulang dari panti asuhan itu jika sekiranya keadaan lebih aman.
***
“Kek apakah kita bisa mengubah takdir atau kebahagiaan kita?” tanyaku mulai mencoba berusaha mengungkapkan seluruh isi hati padanya.
“Tiba-tiba topik pertanyaanmu berat sekali, kenapa kau menanyakan itu?” Kakek Waringin balik bertanya balik seraya menggoyangkan ranting-rantingnya.
“Begini Kek saat aku sedang sendirian, aku seringkali didatangi oleh seorang peri hitam. Sebenarnya aku tak yakin peri hitam itu memang benar-benar sungguhan atau peri hitam itu muncul karena aku terlalu banyak membaca buku dongeng. Ibuku juga tak bisa melihat peri hitam itu. Saat aku sedang berbicara dengan peri hitam itu, ibuku selalu menganggapku sedang berbicara sendiri,” jawabku. Sebenarnya aku juga tak yakin jika pohon yang sedang kuajak bicara ini juga benar-benar bukan khayalanku semata.
Sambil menggaruk-garuk kakiku yang tiba-tiba terasa gatal digigit semut yang berasal dari ranting Kakek Waringin, aku menarik napas yang sangat panjang dan kembali menelan ludah.
“Peri hitam itu bilang jika aku sebentar lagi akan mengalami tahun-tahun yang tak membahagiakan dalam hidup karena memang sebentar lagi aku akan pindah dari rumah lamaku ke rumah ayah baruku. Aku tidak yakin apakah aku akan bahagia di rumah ayah baruku seperti aku bahagia di rumah lamaku. Namun tentu saja aku tak akan langsung percaya dengan kata-kata peri hitam itu, tapi kata-kata peri hitam itu cukup mengganggu perasaanku belakangan ini.”
Suaraku terdengar terbata-bata. Tak sadar saat aku mengakhiri kata-kataku, mataku sudah basah karena sudah cukup lama menangis di atas akar Kakek Waringin.
“Kau tak perlu khawatir Hasyi. Kalaupun seandainya peri hitam itu memang benar-benar nyata, apa yang dikatakan peri hitam itu tak akan menentukan kebahagiaanmu sama sekali. Kakek tahu mungkin keluar dari zona nyaman bukanlah hal yang mudah. Tapi nanti kau sendirilah yang akan menentukan hatimu akan bahagia atau tidak di rumah ayah barumu. Segala pilihan ada di tanganmu,” jawab Kakek Waringin mengelus-elus rambutku dengan ranting-ranting tertiup angin yang cukup tajam menusuk dahiku sehingga menjadi agak lecet. Tapi anehnya aku tak merasakan sakit sedikitpun.
“Aku paham! Yang mampu menentukan kebahagiaanku hanyalah diriku sendiri. Jika aku terus mengeluhkan ketidakmampuan beradaptasi pada hal-hal baru, aku tak akan pernah dapat mengubah apapun,” batinku. Napasku terengah-engah karena baru selesai menangis. Aku tahu aku memang anak yang sangat cengeng.
Angin dingin membelai jiwaku yang sebelumnya panas bagaikan tertusuk anak panah api. Membekukan perasaanku yang sempat meledak-ledak karena panas yang tak tentu arah.
Posting Komentar