Mungkin seharusnya aku memang tidak boleh menjahili orang lain saat di kendaraan umum apalagi orang yang kujahili belum tentu aku kenali. Semua penumpang dalam angkutan kota pun terkejut, bahkan supir angkutan itu meneriakiku dan menyuruhku diam dari bangku kemudinya. Ia merasa terganggu dengan perbuatan iseng yang baru saja kulakukan.

“Apa-apan sih, siapa kamu!?” teriak si penyuka warna hijau tepat di mukaku sambil menangis. Akupun hanya tersenyum tengil melihatnya panik.

“Apakah kamu Selim?” Aku malah balik bertanya padanya dengan menyipitkan mata sambil memiringkan kepala dan memegangi daguku.

“Ya. Namaku Selimgrad Humsin. Bagaimana kau bisa tahu namaku?” jawabnya ketus sambil memukul-mukuli pahanya dan memasang wajah cemberut.

Selim adalah orang yang sangat kaku. Pendiam. ia hanya mengatakan sesuatu yang dianggapnya penting. Ia baru mau berbicara banyak pada orang yang sangat dekat dengannya atau orang yang ia percaya.

Selim orang yang sangat takut melakukan sesuatu yang tercela. Ia tidak bisa diajak becanda. Menurutnya, becanda yang terlalu berlebihan adalah sesuatu yang tercela. Ia sepertinya terlahir tanpa memiliki selera humor. Jujur menurutku terkadang dia adalah orang yang sangat membosankan.

Dalam bahasa Miggleland klasik nama Selimgrad Humsin bermakna kota suci. Selim memiliki hidung mancung dan rahang persegi. Ia terlihat memakai jel pada rambut ikalnya.

Jika tidak sedang sekolah, Selim selalu mengenakan sebuah panci besi dengan gagang masak di kepalanya ketika keluar rumah untuk melindungi kepala dari siluman pemakan otak.

Bagi Selim, setiap orang tak boleh lengah pada orang di sekitarnya. Bahkan pada orang yang sudah lama dikenal, termasuk yang disayangi sekalipun. Karena bagi Selim, kita tidak pernah tahu bisa saja orang yang kita sayangi menanti saat yang tepat untuk menyerang otak. Bahkan ia terlihat selalu berhati-hati saat berada di dekatku. Ia bilang padaku jika siluman yang terlalu banyak makan otak akan mengalami kolesterol.

Padahal aku tidak pernah makan otak. Aku saja agak merasa jijik ketika dipaksa makan mayat manusia untuk bertahan hidup. Namun aku tak percaya padanya, aku yakin orang-orang dan dunia ini tidak semenakutkan yang ia pikirkan. Tak mungkin ada orang yang menyakiti orang yang ia sayangi.

***

“Woiii, bocah autis gila! Siapa suruh lewat jalan komplek?  Ini komplek wilayah kekuasaan kami!” Bentak salah seorang anak yang mengganggu Selim sambil menendangi selangkangan Selim. Mereka tertawa sinis di bawah tiang listrik pinggir jembatan aspal di atas sebuah sungai kecil.

Sewaktu masih sekolah dasar (SD), Selim sering sekali diganggu oleh anak-anak lainnya karena anak-anak itu menganggapnya bertingkah aneh seperti orang gila. Selim memang anak autis sindrom asperger sepertiku. Ia sering melakukan tindakan atau gerakan tertentu yang dilakukannya secara berulang, seperti mengayun tangan atau memutar-mutarkan badan.

Semua tingkah anehnya itu menarik perhatian anak-anak lain untuk mengganggunya. Meskipun terkesan pendiam dan sulit berteman dengan banyak orang, sebenarnya Selim adalah seorang teman yang sangat setia.

Selim selalu membutuhkan dukungan dan kepekaan orang lain. Biasanya ia selalu membutuhkan ruang dan kesunyian untuk bertindak atau membicarakan apa yang ada di pikirannya.

Selim adalah seorang pemikir yang selalu dapat menyelesaikan masalah tepat waktu, namun tak jarang dia sering kecewa jika hasil upayanya menyelesaikan masalah tidak tepat waktu atau tidak sesuai dengan usaha yang telah ia keluarkan.

Meskipun begitu, Selim sama sekali tidak merasa bertingkah aneh seperti yang dirasakan oleh teman-teman di sekitarnya. Selim sama sekali tidak membalas anak-anak  yang sedang menganggunya. Kurasa itu mungkin karena ia merasa kalah jumlah dengan anak-anak yang sedang mengganggunya. Mereka berjumlah tiga orang.

Kebetulan setelah mengembalikan buku dari perpustakaan aku dan Anita Isadora, satu-satunya teman perempuan yang kumiliki, sedang berjalan berdua melewati jalan komplek tempat Selim sedang diganggu. Saat itu langit sudah agak gelap. Tampaknya matahari yang jarang menyinari akan segera terbenam. Aku dan Anita melihat Selim sedang diganggu di bawah tiang listrik.

Di Miggleland, orang-orang kaya banyak yang menggunakan pakaian tradisional berlapis emas dan yang perempuan mengenakan semacam mahkota emas tipis di kepalanya seperti yang dipakai di kepala Anita. Sedangkan, orang-orang kelas menengah ke bawah seperti buruh dan pegawai kantoran mengenakan pakaian modern seperti jas, dasi, kemeja, dan sepatu.

Namun bukan berarti aku yang mengenakan kemeja coklat berdasi merah saat masih kecil dan Selim yang mengenakan sweter hangat adalah orang miskin. Terkadang orang Miggleland lebih nyaman menggunakan pakaian modern untuk kehidupan sehari-hari dan mengenakan pakaian tradisional untuk pesta, meskipun sebagian besar orang kaya selalu mengenakan pakaian tradisional untuk menunjukkan kekayaannya.

“Aku suka buku baru yang kau rekomendasikan Hasyi! Coba saja pegawai perpustakaan itu lebih ramah pada kita dan lebih sabar mencarikan buku yang kuinginkan, aku pasti akan membaca di kursi goyang depan jendela perpustakaan itu setiap hari!” tanpa memperhatikan selokan di sekelilingnya, Anita, gadis berambut oranye lurus yang sedang mengenakan kacamata baca merah muda berlapis empat, tersenyum sambil membaca buku selama di perjalanan pulang.

Gaya bicara Anita sangat sopan dan ditata dengan sangat baik.

Anita terlihat sangat dewasa di balik sikap cerianya. Ia juga mengajari aku dan Selim bagaimana bersikap lebih sopan dan dewasa. Bahkan terkadang ia menganggapku dan Selim sebagai adik kandungnya.

Ketika berjalan bersama Anita, mataku tiba-tiba terpaku pada Selim yang sedang diganggu anak-anak lain. Aku pun tidak tahan membiarkannya terus diganggu oleh anak-anak itu.

“Selim, jangan diam saja! Cepat kabur!” teriakku berlari mendekati tiang listrik tempat Selim sedang diganggu sambil memungut sebuah batu. Aku bersiap melempar batu itu ke kepala mereka.

“Yah, Si Hasyi gila datang lagi. Benar-benar cari mati dia! Ya udah bantai sekalian sama teman idiotnya ini!” ketiga anak itu menyiapkan kuda-kuda dan bersiap-siap menghajarku begitu aku mulai berlari ke arah mereka.

Namun raut muka ketiga anak itu langsung berubah menjadi cemas begitu melihat Anita juga sedang berlari di belakangku.

Aku dan Selim pernah bekerja di sebuah pabrik peluru dan bubuk mesiu untuk mencari tambahan uang jajan selama musim libur musim panas. Ibuku pun mengizinkannya karena aku ditemani Selim. Tapi karena aku ceroboh pernah terjadi satu kesalahan fatal yang membuat pabrik itu meledak.

Untungnya seluruh pekerjanya selamat. Seluruh pekerja sambilan termasuk aku dan Selim dipecat karena pabrik itu hancur. Aku dan Selim tak tahu bagaimanakah kami menghabiskan liburan musim panas selain bekerja di pabrik.

Tapi akhirnya Anita datang dan menawari kami bertualang dengan mendaki gunung. Awalnya aku dan Selim ragu untuk mengikutinya, terutama ibuku seringkali tak mengizinkanku pergi sendirian karena takut kehilangan anaknya.

Tapi Anita berhasil menyakinkan ibuku dan berjanji akan menjaga aku dan Selim. Kami mulai mendaki gunung dan membuat jiwa kami semakin kaya dengan pengalaman yang tak bisa dibayar dengan apapun.

Kami tak hanya sekali mendaki gunung bersama. Aku, Anita, dan Selim menaklukkan berbagai gunung tertinggi di Kerajaan Miggleland setiap tahunnya.

“Woiii! Jangan maju dulu lihat tuh Anita juga ke sini, mending kabur. Kalo lu semua kagak mau kabur muka lu pada bonyok. Gua ngeri!” ujar salah seorang dari ketiga anak itu mengingatkan teman-temannya yang lain.

Mereka panik setengah mati hingga tak dapat berpikir dengan jernih begitu melihat Anita berlari ke arah mereka dengan wajah setengah tertutup bayangan dan mata terpincing.

“Kabuuur!!!” teriak  salah seorang dari ketiga anak itu ketakutan sambil menunjuk Anita. Mereka berlari terbirit-birit meninggalkan jalanan komplek itu.

“Wuih hebat mereka berlari karena takut denganku. Sudah kuduga aku tidak selemah yang kukira aku sangat terharu ternyata usahaku untuk menolongmu tidak sia-sia, Selim.  Aku bukanlah teman yang tak bisa diandalkan” kataku tertawa percaya diri sambil mengepalkan tanganku.

“Enggak! Bukan Hasyi. Mereka berlari karena mereka takut dihajar sama Anita, bukannya takut sama kamu. Kamu terkadang memang bisa sangat cerdas, namun terkadang kamu juga bisa menjadi orang yang sangat gegabah, bodoh, dan fisikmu sangat lemah. Maaf kau adalah teman yang baik tak seharusnya aku mengatakan itu,” ujar Selim yang masih meringis kesakitan.

Kata-kata polos Selim itu sedikit membuatku kecewa. Ternyata aku lebih lemah daripada anak perempuan.

Selim menolak tawaranku untuk membantunya kembali berdiri. Agak kasar dia mengatakan, “Hasyi kuharap ini terakhir kalinya kau menggangapku sebagai orang yang lemah! Sekali lagi, maaf tadi aku menyebutmu bodoh dan lemah, sedangkan aku tidak suka dibilang lemah. Aku hanya merasa tidak nyaman.“ Selim berusaha berdiri sendiri sambil memegangi selangkangannya yang masih sakit karena habis ditendangi ketiga anak tadi. Ia tidak suka dianggap lemah oleh kedua temannya.

“Kita berdua mungkin memiliki fisik yang lemah dibandingkan anak-anak lainnya, tapi yang penting kita saling memiliki dan saling menjaga. Kita tetap sahabat selamanya,” ujar Hasyi berusaha tersenyum manis.

Sementara, Anita terlihat memarahi anak-anak itu dari jauh. “Dasar anak nakal! Pengecut! Ngebully orang  beraninya keroyokan! Kalo lagi sendirian kalian juga gak bakal berani kan gangguin Selim?!” bentak Anita dengan suara kerasnya dari jauh sambil berkacak pinggang.

“Ampun Kak Anita, kami sama Selim cuma becanda kok!” sahut anak-anak nakal itu masih dengan lari terbirit-birit.

Ketika kedua anak lainnya yang baru saja membully Selim berhasil melarikan diri, ada satu anak yang larinya cukup lambat dibandingkan anak-anak lainnya hingga ia berhasil ditangkap Anita. Anita menarik kerah bajunya. Meskipun anak perempuan cengkeraman Anita sangat kuat.

“Eh ngomong-ngomong kamu punya uang berapa? Boleh aku minta?!” tanya Anita dengan tersenyum manis pada anak yang baru saja membully Selim tadi, tapi dengan wajah agak mengerikan ia merogoh saku anak laki-laki itu.

“Aku gak punya uang sedikitpun Kak, ampun,” anak laki-laki itu memelas.

Anita memang sangat marah ketika melihat aku dan Selim diganggu anak-anak lain karena autisme yang kami idap. Namun tak jarang Anita juga suka mengganggu kami bahkan anak-anak lainnya, terutama dengan meminta uang saku dan makanan. Meskipun khusus padaku dan Selim, ia tidak pernah membully kami sampai menjatuhkan dengan kata-kata kasar.

Anita hanya membully balik anak-anak yang memang nakal dan suka mengintimidasi anak lain. Anita tak takut dengan anak laki-laki sekalipun.

“Pembohong aku benci pembohong berikan uangmu sekarang juga!” Anita mulai meninggikan suaranya menarik uang dari kantung celana anak laki-laki yang baru ia rogoh dengan tatapan sinis.

Ia kemudian mengizinkan anak itu pergi sambil tersenyum seperti satpam sekolah yang menggeledah mainan di tas anak-anak. Anak laki-laki yang membully Selim pun terbalaskan oleh Anita. Anak laki-laki itu berteriak sepanjang jalan sambil mengancam mengadu kepada ibunya karena Anita telah mengambil uang jajannya.

Selain gemar memalak, Anita juga selalu memaksa dan marah besar jika aku dan Selim tidak mau memberikannya contekan ulangan atau PR. Ia sering mengangkat kerah baju kami hingga terasa hampir menyentuh atap kelas dengan tatapan yang mengancam dan mengerikan.

Tidak, itu masih mending. Terkadang jika tidak diberi contekan Anita menangis tersedu-sedu tak mau berbicara dengan kami berdua selama berhari-hari dan berkata jika kami berdua bukan temannya lagi. Tentu saja kalimat itu membuat kami merasa bersalah. Kami tak mau kehilangan teman, sedangkan Anita adalah teman perempuan yang sangat perhatian pada kami dan selalu menolong saat kesulitan atau saat kami kurang memahami petunjuk di sekitar kami.

“Kalau kau sampai mengadu pada orang tuamu awas saja! Besok akan kuhajar kau di sekolah!” ancam Anita pada anak nakal yang melarikan diri itu.

Anita masih berdiri di sebelahku tanpa ekspresi dengan sebelah mata tertutup rambut oranyenya. Ia tak mengatakan sepatah katapun pada kami karena ia tak ingin menyela obrolanku dengan Selim.

Anita adalah pendengar sekaligus pembicara yang baik. Ia tahu kapan waktu yang tepat untuk mengeluarkan pendapat atau mendengarkan pendapat orang lain, menyesuaikan perilaku sesuai orang atau situasi yang sedang dihadapinya. Anita cenderung senang bersosialisasi dengan orang lain namun di saat-saat tertentu ia sangat suka menyendiri.

Bagiku Anita lebih dari sekadar teman ataupun kakak perempuan. Ia sangat cantik, periang, ramah, perhatian, dan baik hati.

Sebenarnya aku sangat mengaguminya, namun sahabat sejatiku, Selim, agaknya jauh lebih dari itu. Ia diam-diam sangat mencintai Anita.

Tentu, aku tidak bisa mencintai gadis yang sama dengan sahabatku. Akupun berhenti menaruh hasrat kepada Anita karena aku tak mau membuat Selim marah dan kecewa. Aku tak mau persahabatan kami merenggang hanya karena Anita.

Aku tak mau kehilangan teman karena aku takut kesepian. Bagi Selim, Anita adalah segala-galanya. Di dunia ini tak ada gadis yang lebih cantik daripada Anita.

Aku pernah memergoki Selim di balik jendela kamarnya pada malam hari. Selim terlihat mengigau bermimpi dan berbicara dengan Anita di dalam mimpinya sambil memeluk foto Anita yang ia simpan di dalam bingkai rapi bersama gulingnya. Bahkan ia mengigau sampai ingin mencium foto Anita. Itu sebabnya ia terkadang merasa kecewa karena Anita tidak pernah merespons perasaannya. Karena Anita memang tak tahu Selim mencintainya.

Selim tak pernah berani mengungkapkan rasa cintanya pada Anita. Selim memintaku merahasiakan jika ia mencintai Anita.

Anak autis sangat fokus pada satu hal. Begitupun Selim. Ia hanya fokus pada satu anak perempuan. Seumur hidup, Selim tak akan bisa mencintai gadis lain, selain Anita.

***

“Sudah-sudah jangan marah-marah terus Selim. Ayo ambil kembali ponselmu yang terjatuh itu,” ujarku mencoba mendinginkan suasana.

Selim pun memungut kembali ponselnya dan memasukkannya ke kantong celana sekolahnya. Tampaknya tangisannya sudah mulai reda.

“Kutanya sekali lagi! Sebenarnya kau siapa?”gertak Selim dengan menggengam tangannya erat-erat. Kurasa ia ingin meninju mukaku. Aku pun langsung menahan Selim dengan menggengam tangannya.

“Tenang-tenang jangan marah. Aku minta maaf  tadi udah ngagetin kamu, tapi gak mungkinlah kamu lupa dengan wajahku yang tampan ini. Perhatikanlah wajahku baik-baik, aku yakin kau pasti nggak akan asing dengan wajahku,” Aku tersenyum tengil meletakkan wajahku tepat di depan wajahnya.

Selim melongok dan memperhatikan wajahku dengan serius, lebih seksama. “Benarkah ini? Benarkah?” mata Selim kini benar-benar berbinar kegirangan.

Selim merasa berjumpa teman lamanya. Hingga ia hampir melompat-lompat di atas tempat duduknya sampai kepalanya terjedot atap angkutan kota. Penumpang lain pun menegur Selim dengan berpura-pura batuk karena menganggap Selim terlalu berisik.

“Hasyi Ozgur, si kutu buku!”  Selim memekik kegirangan sambil memelukku. Ia benar-benar tidak peduli meskipun penumpang lain memandangnya seperti orang aneh. Kurasa Selim kini sangat senang berjumpa denganku.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama