"Pisahkanlah apa yang berguna dari apa yang tidak dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih sempurna, seperti mengubah besi menjadi emas. Begitupun anak autis, kami harus bisa memisahkan rasa takut pada hal-hal baru, sesuatu yang di luar rencana dan sesuatu yang tak beraturan untuk menjadi pribadi yang sedikit lebih sempurna. Namun sayangnya, kami tak menginginkan kesempurnaan dan lebih ingin menjadi diri kami sendiri yang terbaik."
(Hasyi Ozgur Bhirawa Sanca IX)
Teo memanggil-manggil Hasyi agar keluar dari rumah Selim. Hasyi diminta membantu ibunya mengemasi barang-barang di rumahnya. Malam ini Hasyi dan ibunya mendadak akan pindah ke rumah ayah baru Hasyi.
Hasyi pun langsung berpamitan dengan Selim dan Anita. Ia bergegas menuju pintu untuk keluar dari rumah Selim dan menemui Teo.
“Teo, bisakah kau tidak menggangguku saat sedang bermain?” bentak Hasyi kepada Teo begitu membuka pintu rumah Selim dengan membantingnya.
“Sudah cukup mainnya, sekarang saatnya kamu membantu ibumu mengemasi barang menuju rumah baru, rumah ayah barumu!” kata Teo menyeringai seraya membuka pintu bangku kemudinya.
“Loh bukanya pindah rumahnya lusa?” kata Hasyi terkejut.
Sebenarnya Hasyi sangat malas bangkit dari karpet ruang bermain Selim apalagi sampai keluar rumahnya. Tapi suara klakson Teo benar-benar membuatnya tidak nyaman saat bermain video game.
Setelah Teo mematikan klakson mobilnya, Hasyi dan Teo saling bertatapan erat dan bergeming selama hampir semenit.
“Hasyim kau melupakan bukumu yang kemarin aku pinjam!” Anita keluar tergesa-gesa mengembalikan novel pada Hasyi yang sudah duduk di bangku kemudi.
“Terima kasih, Anita!” Hasyi meraih novelnya dengan tergesa-gesa.
***
Hasyi merasakan jalanan kota tertutup salju yang turun semakin lebat di malam hari, menambah kekaburan pandang di kaca mobil samping dan kaca spion Teo.
“Teo maaf tadi aku bertindak terlalu kasar padamu,” ujar Hasyi dengan raut wajah masam dan sangat menyesal.
“Tak masalah Hasyi,” jawab Teo singkat dengan wajah ceria.
Teo selalu tetap ceria meskipun Hasyi sering memarahinya karena Teo paham jika Hasyi menjadi pemarah karena kehidupan sehari-harinya yang selalu mendapatkan perlakuan buruk. Wiper Teo terus bergerak membersihkan kaca depannya yang tertutup salju.
Ibu Hasyi terlihat gundah dengan raut wajah murung saat Hasyi tiba di rumah. Hasyi masih jengkel sudah beberapa hari ini ia tidak mau berbicara dengan ibunya, meskipun dengan cepat ibu Hasyi dapat melupakan wajah murung yang dipasang oleh anak laki-lakinya.
Kali ini ibu Hasyi yang duduk di bangku kemudi Teo. Sedangkan Hasyim memilih beristirahat di bangku belakang. Hasyi kelelahan setelah mengemasi barang-barang yang akan dipindahkan ke rumah ayah barunya.
Ibu Hasyi memutar kunci mobil Teo dan membiarkan roda Teo menggelinding di atas aspal jalan yang sedikit licin karena tertutup salju. Teo terus melaju membelah jalanan kota yang hening.
Malam hari yang begitu dingin. Sedikit selimut cahaya bulan membuat suasana terasa begitu mencekam. Lampu jalanan yang sangat tipis memantulkan bayangan maut yang seakan dapat datang kapan saja.
Mata Hasyi terbuka lebar-lebar memandangi taburan bintang yang berkilau di atas langit yang sangat gelap dan menyeramkan. Setetes air mata turun perlahan-lahan membasahi pipinya.
Sambil mengemudi, ibu Hasyi melirik wajah anak laki-lakinya sekilas dari kaca spion Teo. Hasyi tampaknya sama sekali tak ingin pindah dari rumah masa kecilnya.
Batin Hasyi kehilangan arah. Benar-benar tak tahu lagi ke mana harus melangkah. Seakan semua pintu di sekelilingnya telah tertutup rapat. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di rumah barunya nanti.
“Sudahlah Hasyi, ibu tahu anak sepertimu memang sangat benci dengan yang namanya perubahan, hal-hal baru, dan sesuatu yang tak beraturan. Tapi kamu tak bisa selalu melarikan diri dari perubahaan yang terjadi dalam hidupmu karena setiap hari kehidupan manusia akan selalu berubah. Nanti di rumah baru kamu pasti akan sangat senang karena di sana kamu akan memiliki banyak saudara dan kamu tak akan merasa kesepian. Apalagi sampai membuat teman khayalan.
Kerajaan ini adalah negeri yang dijanjikan untuk kebahagiaan anak-anak sepertimu. Ibu tidak pernah bosan mengatakan itu. Seharusnya di manapun kau tinggal kau harus bahagia karena ke manapun kita pindah rumah, selama masih di wilayah kerajaan ini kebahagiaanmu sudah terjanjikan,” Ibu Hasyi berusaha membuat Hasyi mau menerima rumah barunya dengan berlapang dada, sambil menceritakan semua kebahagiaan yang akan didapatkan Hasyi di rumah barunya nanti.
“Kamu juga selalu kebingungan ketika sesuatu tak berjalan sesuai rencana. Dulu kamu pernah membuat ibu sangat malu saat kamu mengamuk di mal hanya karena ibu mengajakmu ke mal secara mendadak dan tanpa direncanakan sebelumnya. Apakah saat kita keluar rumah kita harus merencanakannya jauh-jauh hari hanya agar kau dapat tenang? Seharusnya kau tidak boleh panik saat menghadapi sesuatu yang di luar rencana.
Jika kau bukan anak ibu, rasanya ibu ingin sekali menyantapmu dan mengigitmu erat-erat dengan taring siluman harimau putih ibu yang tajam! Ngomong-ngomong ibu saat ini memang merasa sangat lapar.”
Mungkin karena mencoba menahan rasa kantuknya saat mengemudi Teo, ibu Hasyi terus memarahi Hasyi dengan kata-kata kasar untuk melampiaskan rasa lelahnya karena bekerja seharian di sebuah restoran kecil.
Tiba-tiba ada seorang pengendara motor yang menghalangi jalan Teo. Awalnya pengendara itu hampir terjatuh dari motornya karena ban motornya tergelincir oleh jalanan yang sangat licin tertutup salju.
Pengendara motor itu telah mengakhiri perbincangan antara Hasyi dan ibunya di dalam tubuh mobil Teo. Ibu Hasyi menekan tombol klakson Teo berkali-kali untuk membuat pengendara motor itu menyingkir dari jalan. Agar Teo dapat meneruskan perjalanannya ke rumah ayah baru Hasyi.
Tapi pengendara motor itu malah menanggapi klakson dari ibu Hasyi dengan mengeluarkan benda yang sangat mengerikan. Sebuah pistol yang dapat menembakkan aliran listrik!
Pengendara motor itu, seorang pria yang terdengar sering meraung.
“Ibu. bagaimana ini? Lihat orang itu membawa senjata, pasti orang itu ingin menyakiti kita!” Hasyi berteriak sangat keras karena panik hingga mendorong-dorong bangku mobil yang ada di depannya dan membuat ibunya ikut panik.
“Tenang Hasyi, jangan buat ibu ikut panik!” teriak ibu Hasyi dengan keringat dingin yang terus bercucuran dari dahinya.
Kepanikan Hasyi semakin menjadi-jadi begitu ia menoleh ke belakang. Hasyi melihat lima orang pria dewasa muncul dari bayangan pohon membawa senapan yang dapat menembakkan aliran listrik. Biasanya saat dipakai, senjata itu seakan terlihat dapat menyambarkan petir.
Masih ada lagi segerombolan pria menunggangi beruang kutub dengan cambuk dan alat pacu kuda turut mengejar Teo. Meskipun terlihat menggemaskan, beruang kutub sangat kuat dan berbahaya. Seperti kerabatnya si beruang cokelat, mereka dapat mematahkan kepala seseorang hanya dengan satu pukulan.
Hasyi benar-benar kehilangan akal hingga ia membenturkan kepalanya ke atap Teo berkali-kali. Ibu Hasyi berusaha mengemudikan Teo lebih cepat untuk melarikan diri dan menjauhi sekelompok pria yang nampaknya punya niat jahat.
Tapi gerombolan itu telah mengepung tubuh Teo dan membuat ibu Hasyi tak bisa melarikan diri ke manapun. Tanpa berkata sedikit pun orang-orang itu melangkah perlahan-lahan mendekati tubuh Teo. Jantung Hasyi berdegup semakin kencang setiap langkah orang-orang itu kian mendekat.
Posting Komentar