"Ateş, tüm peri masallarının gücünün kaynağıdır...
Api adalah sumber kekuatan segala negeri dongeng..."
(Hasyi Ozgur Bhirawa Sanca IX)


Dentuman jam agung Miggleland menampar telinga Hasyi berkali-kali seperti gemuruh guntur. Jam itu juga telah membawa duka yang begitu dalam.

Hasyi sedang terkulai lemas di atas ranjang kamar rawat inap sebuah rumah sakit. Ia merasakan sekujur tubuhnya menggigil hebat.

Hasyi tak dapat berpikir jernih. Kepalanya terasa ditusuk-tusuk jarum pentul.

“Saat ini belum saatnya aku mati! Masih ada mimpi yang belum aku wujudkan. Aku ingin menjadi seorang guru taman kanak-kanak yang mampu mengajar murid-murid dengan cinta dan kasih sayang agar mereka nanti bisa memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, tidak seperti masa kanak-kanakku yang menyedihkan!” Hasyi memegangi dadanya yang sangat perih dan sesak tapi masih berdenyut dengan kencang. Ia berusaha menjaga harapannya untuk tetap hidup.

Entah hanya perasaannya atau tidak, Hasyi mendengar suara operator wanita dari balik punggungnya. Ada tulisan drive di sebuah benda yang ada di dadanya tepatnya di dalam baju pasien yang berwarna putih tipis.

Benda itu berbentuk kubus dan di dalamnya seperti sebuah jam nano yang selalu berputar. Inti-inti tersebut ditahan tanpa beban di dalam ruang penggeraknya dan berputar dengan cepat saat listrik disalurkan melaluinya. Drive diisi ulang melalui perangkat pengisi energi.

Sepertinya Hasyi memiliki anggota tubuh yang terputus hingga drive itu harus dipasangkan di tubuhnya, namun selama jantungnya berdetak, tubuhnya masih dapat berfungsi tanpa drive itu.

Saat Hasyi merogoh punggungnya untuk mencari asal suara operator wanita itu, kumparan aliran listrik yang sangat tebal terasa memantul seperti bias cermin yang sangat panjang dan tak terbatas hingga menjalar seperti gurita dari mata dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Tubuhnya terasa lebih bertenaga. Tiba-tiba operator wanita itu mengeluarkan suaranya lagi.

“Energi penuh! Sistem persenjataan diaktifkan!” suara operator wanita terdengar dari punggung Hasyi mengucapkan kata-kata misterius dengan suara robotnya yang seperti suara pantulan kaleng. Tiba-tiba Hasyi merasa memiliki kepala bingkai berisi perangkat sensor yang mengirimkan gambar termografik ke ingatan pribadinya.

Operator wanita itu tidak ditemukan, hanya alat pacu jantung yang ia raba.

“Aku sering mendengar suara wanita itu, biasanya suara itu muncul saat aku kehabisan pulsa untuk menghubungi seseorang lewat ponselku,” gumam Hasyi masih menatapi atap kamar rawat inapnya yang berwarna putih pucat.

Kemudian Hasyi memalingkan pandangannya pada sebuah jam digital yang menggantung di pintu kamar rawat inapnya. Angka-angka merah di jam digital itu menunjukkan tanggal 12 Maret.

“Astaga, aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17!” Hasyi terkejut bukan main, begitu melihat tanggal yang tertera di jam digital tersebut. Lalu Hasyi tertawa kecut sambil mengelengkan kepalanya.

“Bagaimana mungkin aku masih ingat hal sepele itu di saat seperti ini?” Hasyi terus menghela napasnya yang masih berat. Merasakan hadiah yang tidak menyenangkan di hari ulang tahunnya.

Sebagai anak autis, Hasyi sangat sensitif pada pendengarannya. Karena anak autis seperti Hasyi memiliki otak yang bereaksi sangat kuat terhadap stimulasi sensorik.  
Stimulasi sensorik adalah kemampuan dalam menggunakan indera yang ada pada tubuh sesorang. Mereka memakai data masukan dari indera tersebut sebagai sarana untuk melakukan penafsiran terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Saat ini Hasyi juga masih merasakan suara percikan api dari tubuh pria siluman api kemarin, terus terngiang-ngiang di telinganya.

Bahkan Hasyi mampu mengetahui keberadaan orang yang ia kenal di sekitarnya. Tanpa melihat wajahnya secara langsung, hanya dengan menghapal suara langkah kakinya. Saat masih kecil, Hasyi sangat sering bersembunyi di kolong tempat tidurnya saat mendengar suara gemuruh pesawat dan helikopter.

Hasyi mendengar ada suara langkah kaki yang menuju kamar rawat inapnya. Gagang pintu kamar miring dan terbuka perlahan-lahan.

Seorang wanita bermata coklat cerah masuk dan berjalan menuju ranjang Hasyi. Dengan mengusap keringat di dahinya, wanita itu membolak-balikan telapak tangannya yang halus di atas dahi Hasyi. Dari pakaiannya sepertinya wanita itu adalah seorang dokter.

“Kamu ternyata sudah sadar tapi sebaiknya jangan banyak bergerak dulu, kamu masih belum sembuh total,” kata dokter wanita itu sambil mengelus-elus dahi Hasyi.

“Kamu tadi mengalami gagal jantung. Tapi jangan khawatir pria yang membawamu ke rumah sakit ini telah mendonorkan jantungnya. Pria yang sangat mulia. Meskipun manusia setengah siluman seperti kita dapat meregenerasi luka hanya dalam beberapa detik, tapi kita tetap tidak bisa meregenerasi organ tubuh kita. Pria tadi benar-benar rela mengorbankan jantungnya yang tak dapat diganti lagi demi menolong nyawa orang lain. Sekarang pria itu telah meninggal setelah ia mendonorkan jantungnya padamu.” Dokter wanita itu terus bercerita pada Hasyi.

Hasyi pun terus mengangguk seolah mengiyakan.

”Jadi pria siluman api semalam itu benar adanya? Berarti dia itu nyata dan bukan cuma imajinasiku. Tapi mengapa pria itu dulu pernah mengatakan jika dia adalah bagian dari diriku? Aku benar-benar tak mengerti semua perkataan siluman api kemarin. Kurasa aku harus berhenti memikirkan semuanya. Mimpi buruk ini membuat kepalaku sangat pusing. Itu berarti semua kejadian semalam benar-benar terjadi dan...ibuku juga sudah tiada...”  batin Hasyi masih merasa tidak percaya dengan semua hal yang baru saja ia alami semalam.

Hasyi seringkali bergumam, memilah informasi untuk dirinya sendiri.

“Gak kebayang di zaman sekarang masih ada orang sebaik dia. Saya kira pria tadi itu ayahmu. Itu berarti kami melakukan operasi transplantasi tubuh padamu tanpa izin sedikitpun dari anggota keluargamu. Tapi, ya sudah pasti orang itu bukan ayahmu, dia bilang menemukanmu terluka dan tergeletak di jalan yang sepi. Pria tadi juga telah menanggung biaya operasi dan pengobatanmu di rumah sakit ini. Jadi kamu gak perlu khawatir soal biaya.” Dokter itu tersenyum sambil menempel-nempelkan stetoskopnya ke dada Hasyi yang masih berdenyut dengan sangat kencang.

Hasyi menatap dingin dokter wanita itu. “Kenapa dokter ngasih tahu itu semua sama aku? Aku kan nggak nanya,” ujar Hasyi dengan polosnya tanpa perasaan sungkan sedikitpun di depan dokter itu.

Hasyi memang terbiasa mengatakan semua yang ada di pikirannya pada orang lain tanpa memedulikan kata-katanya bisa menyakiti hati orang lain atau tidak.

Dokter wanita itu tak menanggapi omelan Hasyi. Ia justru tersenyum sambil menyodorkan remote televisi pada Hasyi.

Ketika terbangun tadi, Hasyi memiliki sebuah antena di atas kepalanya. Ada yang telah mengimplankan komponen ke dalam tubuhnya, dan benda itulah yang menjadikan ia terlihat seperti robot. Antena tersebut bukanlah alat bantu tapi antena yang sudah menjadi bagian dari anggota tubuhnya.

“Sudahlah, lebih baik sekarang kamu nonton televisi aja dulu Dik, biar gak bosen. Kamu harus lebih banyak istirahat. Entar sore kamu boleh pulang kok,” dokter wanita itu menyeringai hingga menunjukkan lesung pipitnya. Kemudian ia melangkah perlahan-lahan keluar dari kamar rawat inap Hasyi.

Antena kecil di kepala Hasyi dapat mengubah warna di televisi menjadi getaran yang dapat didengar. Sensor yang menggantung di atas kepalanya itu bisa menerjemahkan gelombang cahaya menjadi getaran.

Antena kecil di kepala Hasyi juga mempelajari realitas di luar spektrum visual. Dengan begitu, Hasyi bisa merasakan sinar inframerah dan ultraviolet yang punya koneksi internet di kepalanya. Jadi, ia bisa saja langsung terhubung ke satelit untuk bisa berkirim data dari luar angkasa atau ke luar angkasa.

Beberapa saat setelah dokter itu meninggalkan kamar, Hasyi tiba-tiba merasakan ada yang aneh pada penglihatan mata kirinya.

Mata kiri Hasyi terasa seperti semacam kamera digital atau layar komputer. Seakan mata Hasyi adalah mata robot. Ada tulisan loading di penglihatan mata kirinya seperti ketika ia ingin menyalakan komputer dan bermain game.

Tiga monitor tampilan panorama dan panel instrumen terhubung di matanya. Monitor panorama dihubungkan ke sensor dan kamera luar yang dapat dialihkan untuk menampilkan informasi lain seperti status kerusakan yang ada di dalam tubuhnya, atau bahkan sebagai sistem komunikasi video antarmuka pengganti ponsel atau telepon genggam yang bervariasi.

Sementara mata kanan Hasyim tetap terlihat normal seperti biasanya.

“He-he-he...Sepertinya belakangan ini aku terlalu banyak bermain game sampai aku melihat tombol loading muncul di bola mataku.” Pikir Hasyi tertawa kecut sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa berat. Kedua gigi di rahang atas dan bawahnya juga terasa seakan menempel membuatnya agak berat untuk membuka mulut seperti besi yang menempel di bawah magnet.

Hasyi lalu meraih remote televisi yang ditawarkan dokter wanita tadi. Hasyi menyalakan TV LED yang tergantung di tembok kamar rawat inapnya. Kemudian ia menyalakan televisi itu.

Hasyi benar-benar merasa sangat kesal karena acara di televisi kamar rawat inapnya menyajikan film-film percintaan remaja yang sangat membosankan. Di usianya yang sudah 17 tahun, Hasyi lebih suka menonton film kartun anak-anak dan dongeng daripada menonton film percintaan remaja yang seharusnya diperuntukkan untuk remaja seusianya.

“Aku gak mau nonton film percintaan! Aku mau nonton kartun soal dongeng,” gerutu Hasyim menjerit-jerit seperti orang gila kepada televisi kamar rawat inapnya.

“TV Saaampaah!!!” bentak Hasyi pada televisi itu. Ia membanting remote hingga baterainya keluar dan berserakan ke lantai.

***

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama