, 

“Aarghhh...aku adalah orang yang sangat lemah selamanya. Aku hanya akan menangis mengeluhkan ketidakmampuanku dalam mengendalikan diriku sendiri.”

Hasyi terus meneteskan air matanya yang mengucur deras, tapi dari matanya ia mengeluarkan percikan api ke aspal hitam. Percikan api itu melepuhkan warna aspal menjadi abu-abu.

Hasyi benar-benar tak berdaya menahan dirinya yang ingin menyakiti remaja yang tepat ada di depannya. Pertarungan dalam dirinya semakin sengit. Algoritma secara otomatis mengurai sinyal dan mengubahnya menjadi exoskeleton untuk menggerakkan tubuhnya.

“TSiing!” Suara gergaji mesin itu membuat kelopak mata Hasyi mulai menghitam. Hasyi menggengam gergaji mesin itu semakin erat.

Hasyi berusaha membelokkan gergaji mesinnya sehingga meleset dari leher remaja laki-laki yang ingin diserang oleh tangan kanannya yang bergerak sendiri. Namun meskipun meleset, gergaji mesin telah mengukir luka yang cukup panjang di kaki remaja itu.

Tubuh sibernatika Hasyi memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan dengan tubuh remaja itu, meskipun tidak selalu memiliki keunggulan jangkauan.

Selain jangkauan standar gerakan bipedal, tubuh Hasyi yang kini nampaknya menjadi cyborg dilengkapi dengan sepatu roda self-propelled yang dipasang di pergelangan kakinya. Itu memungkinkanya mencapai mobilitas dan kecepatan tinggi di sebagian besar medan.

Mobilitasnya dipengaruhi sensor yang memiliki kemampuan termografik dan berbagai fungsi pengumpulan data lainnya yang disusun secara langsung. Hasyi pun terbantu merasakan keadaan di sekelilingnya.

Sensor dilindungi di bawah lapisan pelindung kepalanya yang dapat ditarik untuk meningkatkan sistem. Cyborg di tubuh Hasyim diujicobakan dengan dipasang di 'punggung punuk' yang menonjol.

Lemari punggungnya adalah pusat kendali mandiri yang dapat dikeluarkan jika terjadi keadaan darurat. Meskipun pelindung tempurung kepala Hasyi tampaknya tidak memiliki fungsi nyata, selain menampung ingatan di kepalanya, nampaknya Hasyi diharuskan memiliki kemampuan untuk mengemudikan cyborgnya. Hasyi terlihat seperti seorang pilot yang berusaha mengendalikan tubuhnya sendiri saat hidupnya dalam bahaya.

“Kau kenapa? Tanpa sebab tiba-tiba menusuk kakiku?!” bentak remaja itu menahan rintihan kesakitannya. Ia mendesah setengah ketakutan menatap Hasyi yang tanpa sebab menebas kakinya hingga mengeluarkan banyak darah yang berceceran di atas aspal.

“Kumohon tolong menjauhlah dariku! Aku minta maaf, tapi jika kau terus di sini, aku bisa melukaimu lebih parah lagi!” Hasyi menangis bersimpuh memohon di depan kaki remaja itu untuk menjauhi dirinya yang sedang tak bisa mengendalikan diri. Ia masih menggengam gergaji mesinnya yang dipenuhi darah.

Dengan telinga kelinci dan mata gergaji mesin di tangannya yang berlumuran darah, Hasyi terlihat seperti kelinci pembunuh yang sudah kehilangan akal sehat.

Awalnya remaja itu mencoba melawan Hasyi dengan kekuatan Asura-nya. Tapi sayangnya ia itu tidak bisa berkonsentrasi menggunakan kekuatan Asura karena pikirannya tercampur dengan rasa sakit akibat luka yang disebabkan oleh gergaji mesin Hasyi.

Kekuatan Asura remaja itu selalu menghilang setiap kali terkena sayatan gergaji mesin milik Hasyi. Seolah gergaji itu memiliki daya tersendiri untuk menyerap tenaga.

Luka di kaki remaja itu memang langsung sembuh hanya dalam beberapa detik karena darah silumannya. Namun itu sama sekali tidak membuatnya lupa dengan apa yang telah dilakukan Hasyi.

“Enyalah kau!” dengan kaki yang bergemetar hebat karena merasa sedang berhadapan dengan orang yang tidak waras, remaja itu mengangkat batu-batu pecahan aspal jalan komplek dan mengarahkanya ke arah dahi Hasyi tanpa menyentuhnya.

"Whusss...Blethak!" Dahi Hasyi dipenuhi dengan luka dan darah.

Tapi tak lama setelah itu, Hasyi dan remaja itu terkulai lemas bersebelahan tanpa tenaga sedikitpun di atas aspal jalan komplek yang sangat sepi. Sekujur tubuh mereka yang dipenuhi darah mulai memutih karena ditimpa hujan salju.

***

“Ah setiap hari sekolah kita terasa semakin membosankan.” Gerutu Hasyi dengan wajah bersungut-sungut sambil melempari kerikil ke tanah.

Hasyi sedang duduk di atas tutup besi tempat sampah di saat teman-teman sekolahnya yang lain jajan di kantin di jam istirahat. Ia tak peduli jika seandainya dirinya jatuh ke tempat sampah itu.

Padahal ibunya akan marah besar karena melihat seragam sekolah Hasyi kotor dan bau sampah. Seperti biasa, ibu Hasyi akan menggigit lehernya sebagai hukuman kenakalannya.

“Ini kan memang rutinitas sekolah. Hasyi, memang kamu punya ide melakukan sesuatu yang dapat membuat kita sekarang tidak merasa bosan?” tanya Selim dengan menaikkan alisnya karena ia tampak kesal.

Selim menarik-narik kedua tangan Hasyi mencoba mengajaknya turun dari tempat sampah besi yang tinggi dan lebar di samping salah satu warung di kantin sekolah.

“Selim aku punya ide, kita ke tempat yang seru yuk,” bisik Hasyi ke telinga Selim.

Hasyi mengajaknya ke rumah kosong tua yang ada di belakang sekolah. Dengan mengendap-endap, Selim mengikuti Hasyi sambil tetap memainkan rubik di tangannya.

Mereka pun berhasil memanjat pagar belakang sekolah tanpa diketahui oleh satpam sekolah dengan cara bertumpu pada tempat sampah besi. Mereka berhasil melewati pagar sekolah yang cukup tinggi di belakang kantin.

Hasyi dan Selim sampai di rumah kosong tua yang ada di belakang sekolah. Mereka harus ke sana dengan mengendap-endap karena guru-guru di sekolah melarang semua muridnya untuk mendekati rumah tua yang ada di belakang sekolah karena rumah itu menyimpan berbagai aura mistis.

Guru-guru di sekolah Hasyi dan Selim berpesan, siapapun yang berani mendekati rumah kosong tua itu akan mendapatkan kutukan berupa nasib sial seumur hidup.

Sebenarnya, tanpa ancaman kutukan dari guru-guru di sekolah, rumah kosong tua itu sudah menyajikan aura mistis yang bisa membuat siapapun begidik ngeri saat memandangnya. Tapi tidak buat Hasyi dan Selim.

Hasyi dan Selim mencoba membuka pintu rumah kosong tua itu. Ternyata engsel besi pintu kayunya sudah getas ke samping dan tidak dikunci.

Saat mereka masuk, ada kabut merah yang sangat pekat dan menyesakkan dada menyelimuti hingga atap rumah tua tersebut. Setelah mereka menutup pintu rumah itu, seakan ada suara tawa keras mengerikan yang masuk ke telinga Hasyi.

“Selim kamu yakin kita tetap masuk ke rumah ini? ” tanya Hasyi menelan ludah sambil menjentik-jentikan jarinya karena gelisah.

Wajah Hasyi menghitam berusaha menahan ketakutannya saat melihat patung-patung mengerikan ada di seluruh sudut ruangan rumah tua itu.

“Aku yakin seratus persen kok, kamu yang takut kan, padahal kamu yang ngajak aku ke sini. DASAR PENAKUT!” ledek Selim sambil menjulurkan lidahnya.

Tapi bukan itu yang membuat Hasyi semakin takut pada rumah ini. Hasyi begidik ngeri begitu mendengar suara katak berirama di seluruh ruangan rumah tua ini.

Tiba-tiba, puluhan monster katak seukuran kucing mulai mendekat dan membuat Hasyi menjerit. Namun dengan sigap Selim mengusir semua katak itu menggunakan lampu suar api yang ia sembunyikan di dalam tas sekolahnya. Semua katak berhamburan keluar hingga memecahkan kaca jendela.

Selim mendekati Hasyi yang gemetaran dan melihat semua sudut rumah tua itu yang masih becek karena sisa genangan air hujan. Ia ingin memastikan sudah tak ada katak di genangan air itu.

Hasyi melirik sepatunya waswas. Agaknya ia masih takut akan ada katak yang menempel di sepatunya. Selim dengan wajah datar menjulurkan lidahnya ke arah Hasyi yang sedang setengah mati menahan ketakutannya.
 
“Kalo bangunan rumah ini memang berbahaya dan bisa membawa kutukan, kenapa nggak dari dulu dirobohin ya?” tanya Hasyi seraya mengambil air dari botol minum kecil yang ia simpan di dalam blangkonnya. Ia kemudian membasahi telapak tangan untuk meredakan ketakutannya.

“Agak aneh juga kau takut pada hantu Hasyi. Kita ini kan keturunan siluman. Siluman itu juga rada mirip hantu, kenyataannya kita berdua ini juga hantu, jadi untuk apa kau takut?” sindir Selim.

“Selim, kau malah membuatku takut,” jawab Hasyi pada Selim yang sedang bergaya seperti ilmuwan jahat dengan menakut-nakuti Hasyi. Seolah-olah ia hendak menjadikan Hasyi kelinci percobaan.

“Selimgrad Humsin!” jerit Hasyi masih dengan nada ketakutan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama