Hasyi melihat bagian dalam rumah yang berjendela kaca gelap dengan lentara hancur dan berserakan di atas lantai.
“Kenapa lagi Hasyi?” Selim acuh tak acuh. Ia melewati salah satu pintu kamar tidur yang sudah patah dan tertutup jaring laba-laba. Sekeliling pintu itu dipenuhi lumut hijau yang menggumpal lebat.
“Meskipun seram setelah kulihat-lihat model rumah tua ini ternyata bagus juga. Model rumah tua ini benar-benar klasik seperti sebuah museum dengan ornamen-ornamen berbentuk bunga menghiasi tembok dan atap rumah tua ini,” nampaknya ketakutan Hasyi pada rumah tua itu sudah mulai memudar perlahan-lahan.
Begitu melihat sahabatnya sudah mulai lepas dari rasa takutnya, Selim pun mengarahkan kedua acungan jempolnya sambil berjalan mundur memasuki rumah kosong tua itu lebih dalam lagi.
Di belakang Selim, mata Hasyi tetap berpetualang ke segala arah. Sampai Hasyi menemukan senter tua yang menancap terbalik di sebuah meja tua yang terbuat dari alumunium.
Hasyi memerlukan bantuan untuk menarik senter yang menancap keras di meja alumunium itu
“Selim, tolong bantuin aku narik senter ini dong! Lumayan kita bisa jalan di dalam rumah ini nggak gelap-gelapan lagi!” Hasyi meminta tolong kepada Selim yang sedang asik mengagumi sebuah lukisan kuno bergambar pemandangan Kota Rumeli Hisari yang sangat indah sebelum keindahan itu dihancurkan oleh perang nuklir.
“Bertahanlah, terus tarik senter itu Hasyi. Aku akan segera membantumu!” Selim bergegas mendekati Hasyi lalu ikut menggenggam senter yang masih menancap kuat di meja alumunium.
Setelah mereka berusaha menarik senter itu selama semenit, akhirnya Hasyi dan Selim berhasil menarik senter itu bersama-sama. Namun karena senter itu menancap terlalu kuat, setelah berhasil menarik senter itu, mereka terpental hingga terjatuh di lantai yang dipenuhi dengan debu.
“Aduh, Hasyi permisi dong kakiku sakit nih kamu timpa!” Selim mengaduh sedikit meringis kesakitan karena sepertinya kakinya sedikit tertusuk sesuatu di lantai rumah yang kotor dan berserakan barang.
Dengan wajah bersungut Selim berusaha menarik kakinya yang sakit karena tertimpa tubuh Hasyi yang berat hingga membuat kaki Selim serasa mau patah.
“’Eh, maaf Selim.”
Mereka kembali bangkit berdiri dengan hampir serentak, kemudian mengusap-usap dan membersihkan seragam sekolah yang kotor terkena debu lantai.
Setelah menarik senter dan kembali bangkit karena terjatuh ke lantai, tiba-tiba meja tua yang menempel di tembok terbuat dari alumunium itu berubah menjadi sebuah pintu besi yang dipenuhi tombol-tombol digital di depannya.
Hasyi menggerutu setelah gagal membuka pintu besi tersebut dengan palu yang ia temukan berserakan di lantai di sekitar patung paling besar yang dipajang di dekat pintu utama.
“Hasyi jangan buka pintu besi itu dengan kasar, pintu itu memiliki kode untuk membukanya,” Selim memberi peringatan.
Jari telunjuk Selim mengarah ke tombol-tombol digital yang ada di depan pintu besi itu. Entah Selim yang yang terlalu jenius atau kode di pintu besi itu terlalu mudah ditebak, Selim berhasil menjawab kode pintu besi itu kurang dari dua menit.
Kode pintu besi itu terlihat memiliki 3 angka dan 4 huruf dengan kombinasi huruf besar dan kecil. Tentu saja Selim tidak menebak kode pintu besi itu begitu saja.
Selim dibantu oleh alat berbentuk seperti kompas yang ia rakit sendiri dan selalu disimpan dalam tasnya. Alat itu bisa menghitung dan memperkirakan jumlah angka dan huruf yang ada di pintu besi.
Setelah terbuka, pintu besi itu memperlihatkan lorong tangga yang gelap. Lorong yang akan mengantarkan mereka menuju ruang bawah tanah.
Awalnya Hasyi ragu untuk memasuki pintu besi itu bersama Selim. Hasyi memiliki trauma dengan lorong tangga karena pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan pria siluman api yang mendadak muncul di teras atas rumahnya.
“Lihatlah kawanku burung-burung beterbangan di atas sarang, lebah madu menantikan keajaiban, mencoba menembus takdir dengan sayap mereka, sedangkan yang dapat menembus takdir kita, hanyalah mimpi kita sendiri,” Selim menyanyikan beberapa lirik pertama lagu yang ia buat bersama Hasyi dengan suaranya yang pas-pasan. Ia berusaha membuat Hasyi tidak terlalu takut saat memasuki pintu besi itu.
Dengan tangan yang masih gemetar, Hasyi mulai menggandeng tangan Selim yang sudah melangkah turun satu anak tangga saat mereka mulai memasuki pintu besi itu.
“Di dunia yang hanya ada kita berdua di dalamnya, marilah kita berjalan menuju surga, meskipun jalan menuju surga dipenuhi kerikil dan paku.” Hasyi menimpali suara nyanyian Selim dengan suara yang agak lebih keras. Ia menggigil karena berusaha menahan ketakutannya.
“Masa depan yang telah terpampang di depan mata masih terlalu kabur dan terasa tidak nyata untuk kami lihat, karena kami masih hidup di zaman ini. Di dunia yang penuh dengan monster hanya kebebasan yang kami inginkan. Hari ini, besok, bahkan kemarin akan sama saja. Jadi untuk apa kita menangisi hidup? Hanya dirimu seorang yang selalu kupandangi. Jika bersama, kita bisa melangkahi dunia kegelapan ini.”
Langkah kaki mereka pada lorong tangga pintu besi itu berakhir begitu menuntaskan lirik lagu yang mereka buat dan nyanyikan bersama. Hingga mereka mencapai lantai besi ruang bawah tanah.
Ruang bawah tanah itu terbuat dari kapsul tabung pengap bekas pesawat luar angkasa. Manusia zaman dulu menggunakannya untuk mencari planet yang lebih layak huni daripada bumi setelah hancur akibat perang nuklir, sebelum akhirnya keseimbangan alam di bumi membaik dan membuat manusia menghentikan proyek mencari planet lain.
“Lihat kan Hasyi jika kita selalu bersama kita pasti bisa melewati segala rintangan,” ujar Selim kepada Hasyi yang sama sekali tidak mendengarkanya. Begitu Hasyi menginjakkan kakinya di ruang bawah tanah, Hasyi terlalu sibuk mengagumi benda-benda kuno yang ada di ruangan itu.
Ruang bawah tanah itu dipenuhi rak buku besi layaknya perpustakaan. Di ruang bawah tanah itu juga masih terdapat banyak lukisan dan benda kuno lainnya seperti bagian rumah yang telah mereka lewati di atas lorong tangga ini.
Tapi kebanyakan benda di ruang bawah tanah itu adalah sisa-sisa senjata dari zaman perang nuklir yang hampir semuanya tidak bisa dipakai lagi. Salah satunya adalah pelontar granat dengan kekuatan daya ledak yang masuk dalam kategori mematikan dengan jarak ledak 10 sampai 15 meter.
Namun, hanya ada satu barang di ruang bawah tanah itu yang mampu membuat Hasyi dan Selim tak bisa memalingkan perhatian.
“Kattenkrad…!” teriak Hasyi dan Selim serentak. Mereka kegirangan menatap kattenkrad itu.
“Dulu kendaraan ini cukup banyak diproduksi secara massal, tapi kenapa sekarang kendaraan ini sulit ditemukan ya?” seru Hasyi sambil membersihkan debu yang ada di kattenkrad itu dengan telapak tangannya. Selim pun ikut membersihkan debu di kattenkrad itu dengan tiupan mulutnya.
Kattenkrad adalah kendaraan perang yang biasa digunakan oleh tentara Kerajaan Miggleland pada zaman perang nuklir. Kettenkrad merupakan kendaraan hasil kawin silang antara sepeda motor dan panser yang mampu melaju di berbagai medan.
Bagian kaki-kaki kattenkrad ini mirip tank dengan bodi lebih ramping dan kecil. Meski demikian, kattenkrad menjadi kendaraan perang yang mampu dipacu dengan kecepatan 80 km per jam. Di masanya, angka tersebut tergolong cepat.
Kattenkrad sanggup dipakai di berbagai medan, mulai dari permukaan tanah berlumpur, pasir serta bebatuan, bahkan beberapa yang sudah dimodifikasi bisa berjalan di atas salju tanpa hambatan sedikipun.
Dengan ketangguhannya tersebut, kendaraan ini terbiasa digunakan untuk mengangkut para tentara serta menyuplai beberapa perlengkapan ke berbagai daerah terpencil.
Setelah cukup lama terpukau dengan kattenkrad itu, Hasyi dan Selim mulai melihat-lihat benda kuno lain di ruang bawah tanah itu, sambil menyinari bagian lain dari ruang bawah tanah yang gelap gulita dengan senter.
Hasyi dan Selim menemukan bebagai macam sisa makanan sintetis di dalam kaleng dan senjata api yang sudah tak bisa digunakan lagi. Senjata-senjata api itu berserakan di lantai ruang bawah tanah. Salah satu senjata api itu adalah senapan FN FAL yang mampu melesatkan 700 butir peluru hanya dalam waktu semenit.
Mereka juga menemukan pistol kuno yang dapat menembakkan aliran listrik. Saat ditembakkan, seakan pistol itu dapat menembakkan petir. Di rak buku itu juga terdapat satu set peluru.
“Keren akhirnya aku dapat menemukan pistol langka dan ini satu-satunya yang masih berfungsi!” pekik Selim bahagia seraya mengutil pistol itu. Selim kegirangan hingga ia menarik-narik kerah belakang seragam Hasyi sambil menunjukkan pistol yang bisa menembakkan aliran listrik itu di depan wajah Hasyi.
Hasyi pun terpaksa membalikkan badannya ke arah Selim. Selim terus menarik-narik kerah bajunya karena sangat antusias ketika menemukan pistol penembak petir itu.
“Lalu ingin kau apakan pistol itu?” Kaki Hasyi agak gemetar menatap Selim datar. ”Sebaiknya pistol itu jangan kau bawa pulang. Pistol itu bebahaya!”
“Hasyi, serahkan semua coklat yang ada di kantung tasmu,” Selim pura-pura menggertak sambil menodongkan pistol yang ia temukan ke kepala Hasyi.
Hasyi langsung menepis Selim. ”Bukankah nenek moyang kita berperang salah-satunya untuk memperebutkan makanan yang jumlahnya kian menipis karena kerusakan dan penuaan bumi?”
Selim yang dulu sangat membenci kekerasan mulai terobsesi dengan perang ketika menemukan pistol itu. Seakan ia kini rela membunuh Hasyi, sahabat terbaiknya, hanya demi mendapatkan batangan coklat.
“Oh jadi begitu ya, seharusnya aku juga membawa senjata. Karena senjata membuat kekuasaan manusia lebih kuat. Manusia yang lemah selalu diinjak manusia yang lain kuat, karena itu manusia harus terus bersaing mengembangkan senjata. Bahkan aku seharusnya tidak mengharapkan belas kasihan dari sahabat baikku sendiri dalam peperangan,” Hasyi berbicara setengah melamun.
Selim hanya mengganguk dengan posisi tetap menodong pistolnya sambil berusaha merampas tas milik Hasyi. Selim bahkan benar-benar hampir membunuh Hasyi dengan menembakkan peluru ke kepala Hasyi.
Hasyi tahu Selim tak becanda karena ia bukan orang yang mudah diajak becanda. Selim agaknya sedang mendalami filosofi perang.
Hasyi mengalah dan memberikan coklatnya pada Selim yang langsung menghabiskannya. Hasyi gusar karena tidak kebagian coklat itu.
Hasyi berusaha merebut kembali coklat itu, namun Selim sudah telanjur menghabiskannya. Hasyi pun memukuli perut Selim. Namun Selim hanya tertawa kekenyangan.
Selim menanggapi nasihat Hasyi tentang pistol itu sambil tersenyum nakal, tanpa sedikitpun memedulikan Hasyi. Selim tetap memasukkan pistol itu ke dalam kantung celana sekolahnya.
Di atas rak besi tempat pistol penembak petir itu disimpan, terlihat sebuah buku lusuh bersampul coklat yang tersimpan rapi dalam kotak kaca. Buku itu lebih menarik perhatian Hasyi.
“Lihat Selim! Buku bersampul coklat itu dibedakan dari buku-buku lainnya dengan disimpan secara khusus di dalam kaca. Buku itu pasti sangat penting.” Hasyi benar-benar tertarik dengan buku tua bersampul coklat itu.
Saking tak sabar membaca buku tua itu, Hasyi memecahkan kotak kaca yang menyimpan dan mengunci buku itu dengan paksa.
Setelah membuka buku lusuh bersampul coklat itu, Hasyi sedikit bersin karena halaman buku tua itu dipenuhi dengan debu yang mengepul setiap kali Hasyi mengganti halamannya.
Hasyi terkesiap begitu ia sudah membaca setengah buku bersampul coklat itu selama hampir 25 menit. Di dalam buku itu terdapat informasi tentang sejarah Kerajaan Miggleland yang belum pernah Hasyim pelajari di sekolahnya.
“Ini mustahil! Apakah benar nenek moyang kita tidak memakan mayat anggota keluarga mereka yang sudah meninggal? Tapi mereka mengubur mayat anggota keluarga mereka di dalam tanah?" Hasyi mengusap-usap matanya mencoba memastikan jika dirinya tidak sedang bermimpi.
Posting Komentar