“Hai Nak, kau ingin melamar menjadi pelayanku kan? Cepat ya! Orang yang mengantre di belakangmu juga ingin melamar menjadi pelayanku!” tegur Raja Ghaozon menatap dingin Hasyi yang sedang melamun saat dalam antrean.
Hasyi terlihat canggung menyandang tali ranselnya dengan tangan yang bergemetar dan berkeringat.
Raja Ghaozon terkenal dengan kekuatan misteriusnya hingga ia dijuluki seribu wajah. Ia mampu menyeleksi sendiri ribuan calon pelayannya dalam waktu sehari, seakan ia memiliki ribuan wajah untuk menyeleksi setiap calon pelayannya.
Ia sendirilah yang bisa memutuskan apakah calon pelayan itu layak ataupun tidak. Raja tidak pernah mengutus siapapun untuk mewakilinya guna menyeleksi calon pelayannya sendiri.
Raja sempat agak bingung. Ia seperti sudah terbiasa melihat gerakan tubuh Hasyi yang kaku dan terkesan canggung. Raja merasa pernah melihat Hasyi dalam hidupnya. Terutama bentuk kepala Hasyi yang tak terlupakan.
Apalagi saat raja melihat dua telinga kelinci yang menonjol di wajah Hasyi. Raja semakin penasaran karena ia tahu jika dulu ia pernah memberikan telinga kelinci pada anak laki-lakinya. Tak ada seorangpun di kerajaan ini yang memiliki telinga kelinci seperti yang dimiliki Hasyi.
Meskipun calon pelayan lain yang mengantre di belakang kesal dengan ulah Hasyi yang melamun sehingga membuat kian lama mengantre, tak ada satu pun calon pelayan yang mengantre di belakang Hasyi berani menyahut raja. Ataupun menegur Hasyi karena mereka benar-benar segan dengan raja. Mereka semua menunduk dengan berdiri tegak disertai keringat dingin.
Raja Ghaozon adalah siluman api yang memiliki rambut dan bulu mata tebal kemerahan yang mengeluarkan uap panas, persis seperti kondisi tubuh Hasyim saat ini yang sudah membangkitkan darah siluman apinya.
Raja bertubuh agak gemuk, berkulit pucat, dengan tinggi sedang. Dahinya lebar seakan mendominasi mata dan mulutnya yang kecil. Hidungnya mancung dengan leher pendek dan padat. Raja memelihara janggut kemerahan yang bundar. Suaranya berat dan lantang, membuatnya terdengar berwibawa.
Raja Ghaozon mengenakan sebuah sorban dan jubah kebesaran yang berwarna hitam dan dihiasi manik-manik batu permata indah berwarna-warni, yang ditempelkan di kancing dan di atas sorbannya.
“Maaf, atas kecerobohan saya Yang Mulia. Nama saya Hasyi. Saya baru lulus dari SMA, saya mungkin bukan anak paling jenius di SMA, saya tapi saya berani menjamin, saya memiliki rasa percaya diri dan tekad yang cukup kuat untuk melamar menjadi pelayan di istana ini.
Saya ingin melamar menjadi pelayan di istana ini karena saya tak memiliki cukup uang untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saya memang tidak memiliki pengalaman menjadi seorang pelayan istana, namun saya sangat ingin belajar menafkahi hidup saya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain.”
Hasyi berusaha membungkuk dengan sopan di depan raja dengan kata-kata polos apa adanya. Ia melepas tiga lapis blangkon coklatnya hingga rambut coklat kemerahannya yang dipotong pendek terlihat di depan raja.
Raja Ghaozon melebarkan matanya begitu Hasyi memperkenalkan dirinya. Napasnya menjadi agak berat. Tubuhnya bergetar karena terkejut mendengar nama Hasyi, seakan nama itu sangat keramat baginya.
Spontan Raja Ghaozon kembali menanyakan nama lengkap Hasyi untuk memastikannya. “Nak, bisakah kau menyebutkan namamu lebih lengkap lagi?” Raja ingin meyakinkan bahwa nama Hasyi lebih panjang daripada yang baru saja disebutkan.
Dengan lugu dan tanpa perasaan curiga sedikitpun, Hasyi langsung membalas pertanyaan raja dengan menyebut namanya yang lebih lengkap. ”Nama lengkap saya Hasyi Ozgur, Yang Mulia, maaf saya tadi lupa menyebutkan nama lengkap saya.”
Wajah raja terlihat semakin pucat. Ia merinding begitu Hasyi melengkapi nama panjangnya. Nama itu jelas sudah dikenal raja sebagai nama yang selalu menemani mimpi buruknya selama ini.
“Apa boleh aku tahu nama ibumu, Nak? Kali ini yang lengkap ya! Dan bagaimana kondisi ibumu? Mengapa kau harus mencari pekerjaan sendiri?” raja kembali bertanya.
Apa gunanya seorang raja menanyakan nama dan keadaan ibu calon pelayannya? Bukankah itu sama-sekali tidak ada hubunganya dengan proses ataupun tes lamaran Hasyi sebagai calon pelayan istana? Sungguh pertanyaan yang tak masuk akal, batin Hasyi.
Hasyi berusaha tetap menjawab dengan sopan dan tidak menghindari kontak mata saat berbicara dengan raja. Entah mengapa agak aneh raja menanyakan kondisi ibunya. ”Tentu boleh, Yang Mulia. Nama ibu saya Halimah, Yang Mulia. Tapi ibu saya sudah meninggal beberapa bulan lalu, Yang Mulia.”
Hasyi tetap menjawab dengan tersenyum tipis karena segan dengan raja. Begitu mendengar jawaban Hasyi tentang keadaan ibunya yang sudah meninggal dunia, raja menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat menghitam. Seperti ada duka yang mendalam di sana.
Raja Ghaozon mengusap-usap kedua matanya saat memandangi wajah Hasyi yang terlihat tak asing.
“Sebentar-sebentar, kau sudah lulus SMA kan? Itu artinya kau sudah punya kartu tanda penduduk. Apa aku bisa melihatnya?” Raja menggaruk janggut bundarnya yang kini terasa gatal. Sepertinya raja ingin mengetahui identitas Hasyi yang lebih lengkap untuk lebih memastikan sosok Hasyi.
“Iya, saya baru membuat kartu tanda penduduk itu pekan lalu ketika saya baru berulang tahun yang ke-17.” Hasyi lalu memperlihatkan dan menyodorkan kartu tanda penduduknya kepada raja. Pelan-pelan raja mengambil kartu itu dari tangan Hasyi.
Hasyi merasa canggung, tangan raja tampak semakin bergetar hebat. Mata raja benar-benar terpaku pada kartu tanda penduduk yang baru saja diperlihatkan Hasyi. Selama dua menit, raja tertegun menatap kaku kartu tanda penduduk Hasyi tanpa memalingkan pandangannya sedikitpun.
Begitu melihat Hasyi tidak berbohong dengan nama yang tertera seusai kartu tanda penduduk, termasuk tanggal, bulan, dan tahun lahir Hasyi, Raja Ghaozon semakin merinding.
Raja bergegas bangkit dan keluar dari tenda merah tempat menyeleksi calon pelayannya. Terlihat ia agak kesulitan bergerak karena tubuh gempalnya yang berat. Raja menjabat tangan Hasyi.
”Selamat Nak! Sepertinya raut wajahmu berhasil membuatku merasa kasihan,” Sang Raja terlihat kikuk sambil menggigit bibirnya hingga berkurang wibawanya. ”Khusus kau, kau kuterima menjadi pelayanku tanpa tes!
Sekarang pulanglah! Mulai besok kau harus datang ke rumah kaca yang ada di sekitar wilayah istana Janissary. Di sana kau akan dilatih menjadi pelayan yang cukup layak untuk melayaniku di istana ini!” Raja tersenyum pada Hasyi, berusaha tetap terlihat berwibawa, meskipun masih tampak gelisah saat berhadapan dengan Hasyi.
Raja lalu meraih secarik kertas yang baru dicetak, terlihat seperti surat resmi dengan cap darah di atasnya, menandatanginya, dan menyuruh Hasyi menulis namanya di kertas itu. Raja mewanti-wanti kertas itu jangan sampai hilang karena itu adalah bukti jika ia sudah diterima menjadi pelayan istana.
“Terima kasih, Yang Mulia! Saya janji akan menggunakan waktu di rumah kaca itu sebaik mungkin untuk belajar menjadi pelayan sebaik yang saya bisa,” Hasyi membungkuk sambil mencium tangan raja.
Hasyi merasa begitu bersemangat setelah diterima menjadi pelayan raja hingga hampir saja ingin kembali pulang tanpa berpamitan dan memberi hormat terlebih dahulu pada raja.
Bagaimana tidak, di saat banyak orang lulusan SMA ditolak berkali-kali karena berbagai alasan saat melamar pekerjaan, Hasyi diterima menjadi pelayan istana raja yang memiliki taksiran gaji besar hanya dalam sekali melamar, tanpa merasa melakukan apapun. Hasyi merasa hari ini adalah hari keberuntungannya.
“Aku tahu, aku sangat mengenalnya lebih daripada aku mengenal telapak tanganku sendiri. Tapi mengapa baru sekarang aku bisa berkomunikasi lancar dengannya? Dia juga sudah paham tata krama saat menghadapku sebagai raja, seperti orang normal pada umumnya. Meskipun ia masih harus banyak belajar jika ingin menjadi seorang pelayan yang baik,” gumam Raja Ghaozon.
“Aku tidak menyangka dia masih bisa bertahan hidup hingga selama ini. Dia memang sangat tangguh.”
Raja Ghaozon melamun, sementara tak ada seorang pun calon pelayan lain yang sebelumnya mengantre di belakang Hasyi berani menegur. Padahal semuanya merasa kelelahan berdiri karena sudah berjam-jam mengantre.
Para calon pelayan itu pun saling berpandangan satu-sama lain melihat tingkah Sang Raja yang misterius terhadap Hasyi. Sebagian calon pelayan tersebut hanya mengangkat bahu tanda tak tahu-menahu.
Posting Komentar