"Zona nyaman dan ketakutan pada kesalahan membuat manusia tak bisa berkembang. Kesalahan mengajarkan manusia mengetahui batas-batas kemampuan. Jika tak pernah salah, kau tak akan tahu bahwa kau tak sempurna. Jika tahu kalau kau belum hebat, maka kau akan punya semangat untuk belajar dan belajar lagi. Kau harus mensyukuri kesalahan yang kau buat, mempelajari, lalu melampauinya."
(Hasyi Ozgur Bhirawa Sanca IX)
Hasyi merebahkan diri di kamar baru di dalam rumah ayah tirinya. Ia tidur bertiga sekamar dengan saudara tirinya yang lain.
Namun Hasyi tidak bisa tidur semalaman, selain karena belum terbiasa dengan suasana di kamar ini, ia juga terlalu antusias dan tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan ia pelajari untuk menjadi seorang pelayan istana besok. Ia benar-benar gelisah karena takut melakukan kesalahan. Hasyi berniat merencanakan hari esok berjalan sesempurna yang ia bisa.
Semalaman Hasyi mondar-mandir di kamar barunya hingga membuat ayah tiri dan saudara tirinya agak khawatir dengan perilaku Hasyi. Apalagi begadang dapat mengganggu kesehatan.
Ayah tiri Hasyi memiliki seorang anak perempuan bernama Alara dan kakaknya seorang anak laki-laki bernama Erdhem. Keduanya beberapa tahun lebih tua daripada usia Hasyi. Mereka berdua adalah siluman laba-laba sama seperti ayahnya. Entah siluman laba-laba jenis apa. Tapi yang jelas mereka memiliki kulit albino dan rambut putih yang lebih putih daripada salju yang turun di luar saat ini.
“Tidurlah Hasyi! Tenanglah besok pasti kau bisa belajar menjadi pelayan istana dengan baik. Jadi tenanglah jika kau terus terjaga semalaman seperti ini, kau malah akan sakit dan besok kau malah tidak akan bisa belajar menjadi pelayan di rumah kaca itu.”
Alara menegur Hasyi yang sedang berbaring di atas kasur yang ia bawa dari rumah lamanya. Meskipun Hasyi hanya anak tiri di keluarga itu, ayah dan saudara tiri Hasyi tetap memperlakukannya dengan baik seperti layaknya saudara kandung.
Kedua saudara tiri Hasyi biasa tidur di atas jaring siluman laba-laba yang dibuat dari tubuh mereka sendiri. Mereka meminta Hasyi untuk tetap tidur di kasur yang ia bawa dari rumah lamanya karena ayah dan saudara tiri Hasyi sudah tahu jika Hasyi pasti belum terbiasa tidur di atas jaring siluman laba-laba.
***
Hasyi turun dari tangga yang langsung sampai di ruang makan di lantai bawah. Ia sarapan bersama kedua saudara tirinya. Alara mencoba membuat Hasyi terkejut dengan menunjukkan wajah siluman laba-labanya. Urat-urat menyeramkam terlihat di sekujur pipinya.
“Selamat pagi, De-dek Hasyi. Hari ini kau terlihat sangat tampan, kau sudah siap bekerja di hari pertamamu?” teriak Alara yang mengagetkan Hasyi saat turun dari tangga menuju meja ruang makan.
Hasyi hanya memandangi kakak perempuan tirinya dengan wajah datar seperti orang yang kebingungan. Sepertinya usaha Alara untuk membuat Hasyi bersemangat di hari baru sia-sia.
Padahal Alara telah melepas kepala dari lehernya untuk menambah sensasi ketakutan Hasyi. Sebagian besar siluman memang bisa mati jika dipenggal hingga kepalanya terpisah dari tubuhnya. Namun ada juga sebagian jenis siluman yang bisa melepas-pasangkan atau memisahkan kepala dari tubuh mereka sesuka hati.
Bunyi ringkikan jangkrik terdengar melintas di antara mereka yang mengisyaratkan candaan Alara membosankan. Perasaan Hasyi masih hampa setelah kematian ibunya dan semua pengalaman buruknya beberapa hari belakangan. Ia masih trauma.
“Kenapa kau menatap kakak seperti orang aneh? Kau tak punya selera humor ya? Aku malu tahu! Biasanya kau selalu bisa dikagetkan oleh ibumu seperti ini,” Alara malu dan kecewa karena Hasyi terlihat tidak bereaksi ataupun mempedulikannya.
Hasyi menganggap Alara sedang tidak sehat. Sambil berjinjit Hasyi mencoba meraih dahi saudara tirinya yang memiliki tubuh sedikit lebih tinggi daripada Hasyi. Bahkan Alara juga sedikit lebih tinggi daripada kakak laki-lakinya, Erdhem.
“Kau sudah tidak waras ya, Alara? Memang kau pikir dia anak kecil yang bisa dipaksa tidur oleh orang tuanya dengan ditakut-takuti seperti itu?” cetus Erdhem menyahut celetukan Alara dengan dingin.
Erdhem memang seorang kakak laki-laki yang sangat sinis pada adiknya. Sikapnya sama dinginnya dengan warna putih salju yang ada di rambutnya.
“Aku hanya bosan menjadi anak bungsu. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya memiliki seorang adik. Maaf ya Hasyi kalau tadi aku mengagetkanmu, aku hanya ingin kau merasa lebih dekat denganku. Kau semalam begadang mungkin kau agak kurang enak badan, mau aku suapi?” ujar Alara dengan raut wajah agak menyesal.
Alara memang sangat jahil. Pipinya seringkali panas hingga memerah karena selalu ditampar Erdhem setelah melakukan perbuatan jahilnya. Ia kerap memasukkan beberapa racun berbahaya ke dalam minuman Erdhem hanya untuk sekadar melihat Erdhem berhenti bernapas beberapa saat dan menertawakannya terbahak-bahak. Itu sangat tidak lucu. Erdhem bisa saja mati jika kadar racunnya terlalu parah.
Erdhem menggelengkan kepala saat melihat Alara. Ia menghisap batang rokoknya dengan wajah datar dan sinis. Erdhem selalu menghisap rokok di rumahnya saat ayahnya tidak melihatnya atau saat ayahnya sedang bekerja.
“Gak apa apa Kak Alara, Kakak itu kakak yang baik kok. Aku bisa makan sendiri,” Hasyi menunduk sedikit dan menatap mata kakak tirinya yang seputih salju dengan memberikan senyuman kecil.
Hasyi berusaha menjadi lebih pendiam dengan tidak mendominasi saat berbicara di depan kedua saudara tirinya. Hasyi tahu sindrom asperger yang diidapnya membuatnya kurang memahami etika saat berbicara dengan orang lain.
Ibunya selalu meminta Hasyi tidak mendominasi pembicaraan dengan orang lain agar ia bisa dianggap lebih sopan dan lebih disukai banyak orang.
“Hati-hatilah di jalan Hasyi,” sahut Erdhem singkat dengan senyum yang dipaksakan. Ada nada penuh keangkuhan saat ia menghisap rokok di mulutnya.
Hasyi juga berusaha tetap tersenyum tulus meskipun hatinya masih terasa kelam. Ia belum bisa berlapang dada atas kematian ibunya.
***
Bangunan dengan tembok lapis kaca berkombinasi teralis di wilayah Istana Janissary ini dipakai sebagai tempat melatih dan mempersiapkan calon pelayan sebelum mulai bekerja di istana raja. Bangunan ini sekaligus disediakan raja untuk tempat tinggal pelayan istana yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.
Setiap bulan, ada puluhan hingga ratusan calon pelayan baru dilatih oleh pelayan yang lebih senior atau bahkan yang sudah pensiun di istana ini.
Awalnya seorang pelayan senior yang melatih Hasyi agak meremehkan keinginan Hasyi menjadi pelayan istana. Apalagi Hasyi sering memecahkan piring dan gelas kaca setiap kali memegangnya ketika berlatih.
Bertata-krama dengan cukup sopan kepada para bangsawan saja Hasyi masih sangat kesulitan. Asperger yang diidapnya membuat Hasyi masih agak kesulitan melakukan kontak mata. Ia agak terbata-bata ketika berbicara dengan orang lain karena kegelisahan dan kegugupan yang selalu menyelimutinya.
Namun karena melihat Hasyi sangat tekun, tak banyak mengeluh dengan kesulitan yang dihadapinya, dan terlihat begitu antusias dalam berlatih menjadi pelayan istana, pelayan senior dengan rambut yang disisir ke belakang itupun berusaha melatih Hasyi dengan penuh kesabaran. Ia juga melihat Hasyi adalah anak yang sangat penurut dan sifat penurutnya itu adalah modal utama untuk menjadi seorang pelayan istana.
Posting Komentar