Aku dan Selim duduk di bangku panjang yang ada di koridor sekolah. Kami berdua berusaha merasakan getaran-getaran kami pada masa lalu. Kami memiliki keinginan untuk menyusuri jejak masa kecil kami.

“Selim rasanya baru kemarin kita berpisah saat kelulusan kelas 6 SD,” kataku merangkul pundaknya.

“Sejujurnya, Hasyi, cuma kamu yang aku rindukan sejak perpisahan waktu SD. Kamu orang yang polos dan lugu seperti anak kecil dan selalu berpikir positif sepanjang waktu. Kamu selalu percaya jika hidup ini akan selalu bahagia seperti di dalam dongeng. Aku sama sekali nggak rindu sama temen-temen SD kita yang jahat-jahat,” jawab Selim menggerakkan kepalanya perlahan-lahan ke arah wajahku.

Dari dulu Selim sudah sangat sering diganggu oleh teman-temannya sama seperti aku. Bahkan ada bekas luka yang cukup panjang di dahi Selim. Luka itu disebabkan karena ia pernah didorong sehingga terjatuh dari atas tangga oleh teman sekolah yang membullynya.

“Iya Selim, aku juga merasakan hal yang sama. Cuma kamu yang aku rindukan dari SD, tapi memang  manusia seharusnya selalu mengalami akhir hidup yang bahagia. Sayangnya, lihatlah orang yang bunuh diri, mereka mengakhiri hidup sebelum hidup mereka berakhir dengan bahagia,” jawabku mengangguk dengan ekspresi datar setelah itu aku memiringkan kepala.

”Jangan salah paham, aku juga menyukai dongeng sepertimu Hasyi. Hanya saja aku tidak memahami beberapa dongeng yang mustahil ada di dunia nyata. Sangat banyak dongeng yang menceritakan putri yang mati dapat hidup lagi karena dicium sang pangeran. Jika itu memang benar rasanya aku ingin sekali saja mencium gadis remaja seusiaku di sekolah ini yang sangat kucintai, yang sudah meninggal karena bunuh diri untuk menghidupkannya kembali dengan menciumnya.

Maafkan aku, aku memang genit dan aku tahu kau tak menyukai pikiranku yang genit ini, tapi apakah dengan mencium anak perempuan yang mati itu akan dapat membuatnya hidup kembali dan mau berpacaran denganku? Seperti putri yang hidup kembali setelah mengalami kematian dan menikahi sang pangeran?” Selim menelan ludah menungguku mengeluarkan suara.

“Iya, aku tidak tahu mengapa semua orang selalu mengucilkan kita dan tak menggangap keberadaan kita. Jika kita melakukan kesalahan mereka selalu bilang kita ini malas atau bodoh atau gila. Tapi kalau kita melakukan sesuatu dengan benar mereka terkagum-kagum seakan kita melakukan sesuatu yang mustahil. Bagi mereka kita ini adalah orang paling terbelakang di muka bumi, ” ujarku tiba-tiba mengganti topik pembicaraan dengan nada agak marah dan berapi-api.

Dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca Selim menanggapi pernyataanku.  “Wajar saja, di kerajaan ini kan anak berkebutuhan khusus, khususnya anak autis dan sindrom asperger seperti kita dianggap anak yang dirasuki roh-roh jahat dan keberadaan kita dianggap membawa sial.

Padahal sudah banyak psikolog dan dokter spesialis anak yang mengatakan kelainan kita ini adalah faktor genetik dan nggak ada hubungannya sama hal-hal mistis. Tapi semua orang tetap lebih membenarkan kepercayaan tahayul mereka,” ungkap Selim melampiaskan seluruh isi hatinya dengan memukul tembok koridor sekolah.

Aku tentu setuju dengan kata-kata Selim.  “Sebenarnya aku tidak paham mengapa tingkahku dianggap aneh dan berbeda dengan anak-anak lain. Padahal aku tidak merasa bertingkah aneh sedikitpun.

Sekeras apapun aku berusaha bertingkah normal seperti anak-anak lain hingga membuat buku catatan yang isinya adalah catatan pengamatanku pada orang-orang di sekitarku yang “katanya” berperilaku normal untuk mempelajari kebiasaan mereka sehari-hari yang normal dan benar, semua orang tetap saja merasa aku bertingkah aneh,” jawabku.

Orang autis biasa dicap aneh pasti karena orang tidak memahami kondisi tersebut. Memang anak-anak autis sepertiku dan Selim butuh usaha berlipat kali lebih keras daripada orang lain untuk diakui semua orang dan tidak diremehkan.

Apakah semua orang di dunia ini sudah buta setelah ratusan hingga mungkin ribuan tahun banyak anak autis yang tak terhitung jumlahnya telah berjasa pada perkembangan peradaban manusia? Mengapa orang-orang tetap menganggap autisme sebagai gelar kebodohan?

Memang masih ada guru yang baik pada kami berdua di sekolah ini. Tapi tak jarang kami menemukan guru yang suka sekali mempermalukan kami di depan murid-murid lain dan menjadikan kami bahan lawakan karena perilaku autisme kami yang mereka anggap lucu.

Padahal menurutku dan Selim sangat tak lucu menjadikan orang lain bahan tertawaan. Guru-guru itu pasti tidak memikirkan jika seandainya mereka memiliki anak berkebutuhan khusus seperti kami.

Banyak guru yang meremehkan kami berdua dan mengatakan jika kami ini sangat bodoh dan tak akan memiliki masa depan cerah hanya karena kami menyandang autisme. Aku pun menyeringai sambil menggelengkan kepalaku perlahan-lahan.

”Tak masalah Selim, meskipun banyak orang yang membenci kita setidaknya kita saling memiliki. Aku merasa beruntung memiliki kesempatan dua kali untuk bersekolah di satu sekolah dengan orang yang senasib denganku,” jawabku kembali menjentik-jentikan jariku tanpa sadar.

Biasanya aku menjentikan jariku saat sedang gelisah tapi kini aku menjentik-jentikan jariku karena merasa terlalu antusias saat berbicara dengan Selim.

“Kau benar kita berdua saling memiliki. Tapi apa kau ingat Hasyi saat dulu teman sekelas kita ada yang ulang tahun hanya kita berdua yang tidak diundang?” ujar Selim menundukkan kepalanya dengan nada sedikit menyindir kata-kataku yang terlalu optimistis.

“Kau tak perlu menyimpan dendam Selim. Aku juga masih ingat dulu saat kau ulang tahun tak ada seorang pun teman sekelas kita yang menghadiri pesta ulang tahunmu. Tapi kau tidak perlu sedih Selim. Apa kau ingat aku tetap mau menghadiri pesta ulang tahunmu. Aku janji Selim aku  akan selalu hadir untukmu.” Aku melontarkan kata-kata sambil mengelus-elus punggung tangan Selim dan lalu memegangi dadaku sendiri yang hampir sesak terbakar emosi.

Akhirnya Selim pun hanya termenung dan membisu. Tampaknya dia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi padaku.

“Aku benar-benar sangat ingin berterima kasih dengan orang tuamu. Saat ibuku dulu mati-matian berusaha menyembuhkan autisku dengan hal-hal mistis hingga ibuku pernah membakar jari kelingkingku, orang tuamu yang tahu jika autis yang kualami tak ada hubungannya dengan hal-hal mistis, orang tuamulah yang menyarankan ibuku untuk membawaku ke psikolog,” ujarku melamun memandangi langit. Kemudian aku memperlihatkan bekas luka bakar di jari kelingkingku.

Selim tersenyum kepadaku. “Sebenarnya mungkin asperger yang kita miliki adalah anugerah. Banyak tokoh besar di dunia ini yang tak terhitung jumlahnya juga memiliki sindrom asperger seperti kita.”
 
“Kau benar Selim. Di dunia ini orang-orang asperger seperti kita banyak yang sukses karena orang asperger seperti kita memiliki kemampuan berkonsentrasi yang lebih tinggi dalam hal mengejar cita-cita kita daripada orang awam pada umumnya. Kita mungkin hebat dalam satu hal tapi belum tentu hebat dalam hal lainnya.

Tapi bukankah sebagai manusia kita harus fokus mengembangkan satu bakat yang dimilikinya saja. Kita tidak harus hebat dalam segala hal, kita hanya harus fokus pada satu bakat yang kita miliki,” aku memegangi dagu sambil melihat anak-anak lain yang sedang bermain bola di lapangan sekolah menunggu waktu masuk kelas.

Aku lantas mengingat beberapa buku soal tokoh-tokoh austis yang berpengaruh di dunia. Ada anak autis yang tumbuh menjadi seorang penulis buku berpengaruh besar, seperti Lewis Carrol yang menulis cerita dongeng, Alice in Wonderland, hingga seorang penemu ternama seperti Nikola Tesla dan Thomas Alva Edison yang sering diperdebatkan sebagai penemu lampu pertama kali. Yang jelas baik Tesla maupun Edison sama-sama penyandang autisme.

“Iya, banyak orang yang berusaha hebat di segala hal hanya agar dia dapat membuat kagum orang-orang di sekitarnya, atau mengejar impian yang bukan impiannya sendiri karena paksaan orang tua. Sehingga minat dan bakatnya sendiri menjadi tersingkirkan,” jawab Selim menganggukan kepalanya dengan cepat.

Aku pun memikirkan kata-kata yang akan kusampaikan kepada Selim selanjutnya sambil menarik napas dalam dan menelan ludah.

“Seperti kau Selim. Kau bisa tahan mempelajari matematika selama berjam-jam dan nilaimu selalu bagus di pelajaran matematika. Bahkan seingatku dulu waktu SD kau sering memenangkan olimpiade matematika mulai dari tingkat distrik hingga tingkat kota dan provinsi.

Aku yakin saat ini kau sudah memiliki lebih banyak prestasi sejak terakhir kali bertemu denganmu. Bagiku itu sangat mustahil untuk kulakukan. Bahkan kurasa orang lain belum tentu bisa sepandai dirimu,” cetusku memuji-muji Selim.

Aku memang sangat payah dalam matematika, rasanya aku mau pingsan saat bertemu angka dan rumus-rumus.

Selim memiliki impian menjadi seorang Ilmuwan di bidang tanatologi, ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang memengaruhi perubahan tersebut. Jurusan bidang ilmu itu termasuk paling bergengsi di kerajaan ini.

Selim terlihat selalu membawa berbagai macam alat ukur yang tidak kuketahui fungsinya. Tak jarang ia selalu memainkan kubus rubik berwarna ke manapun ia pergi. Aku sendiri tak tahu apa istimewanya rubik kesayangannya itu.

Tapi sesulit apapun teka-teki yang disajikan kubus rubik itu, ia selalu bisa menyelesaikan rubik itu kurang dari satu menit. Orang yang jago matematika memang identik lihai memainkan rubik.

Kemampuannya memainkan rubik itu setara dengan kemampuanku memainkan puzzle yang ukurannya sebesar apapun.

Berbeda denganku, Selim justru sangat kesulitan menyusun puzzle dibandingkan kemampuannya menyelesaikan rubik. Ia nampaknya sangat lemah dalam hal memperhatikan dan menyusun gambar. Selain itu dia juga agak lambat memahami bacaan . Ia jauh lebih mudah memahami angka dibandingkan tulisan atau gambar.

Meskipun begitu, Selim tidak suka mempelajari matematika dari buku dan berbagai macam teori. Untuk orang secerdas itu, Selim tidak terlalu suka membaca buku walau dia terlihat selalu membacanya. Dia lebih suka mempelajari matematika dalam penerapannya pada kehidupan sehari-hari, seperti cara menghitung kemungkinan waktu yang akan habis ketika ia menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah.

Sebagian anak dengan gangguan autisme melakukan hal yang lebih baik pada tes matematika, walaupun pada kisaran kemampuan kecerdasan yang sama, ada pola unik dari otak anak autis yang mendasari keunggulan dalam kemampuan pemecahan masalah.

Keunggulan dalam keterampilan matematika ini diakibatkan oleh pola aktivitas di daerah otak yang biasa digunakan untuk mengenali wajah dan objek visual.

“Ah biasa saja, aku justru iri denganmu. Kau adalah orang yang sangat lihai dan percaya diri saat berada di atas panggung ketika mendongeng. Berbeda denganku. Aku selalu merasa malu dan mati gaya saat berada di atas panggung di hadapan banyak orang.

Belum lagi kau adalah pendongeng terhebat yang pernah kutemui. Biasanya aku selalu bosan saat mendengarkan dongeng dibawakan orang lain, tetapi tidak dengan dongeng yang kau bawakan. Entah bagaimana kau punya cara tersendiri membuat dongeng yang kau ceritakan menjadi sangat menarik dan hidup,” kini gantian Selim memuji-mujiku, membalas pujianku yang tadi kuutarakan padanya.

Aku hanya tersenyum mendengar pujian Selim. Aku memang sering memenangkan lomba mendongeng. Bahkan aku sering diundang di beberapa sekolah SD dan taman kanak-kanak (TK) untuk mendongeng di suatu acara.

“Selim ngomong-ngomong kamu di sekolah ikut ekskul apa?” tanyaku melebarkan mata.

“Aku nggak ikut ekskul apapun, aku tak suka berkumpul dengan banyak orang,” jawab Selim sambil menjulurkan lidahnya ke samping tanpa sadar.

Agaknya aku tak perlu menanyakan hal itu karena memang sebenarnya aku tak jauh berbeda dengan Selim.

“Sama sepertiku, aku juga tidak terlalu suka bergaul. Terutama dengan anak-anak yang seusia denganku. Malahan aku lebih suka bergaul dengan anak kecil yang usianya jauh di bawahku. Padahal usiaku sudah hampir 17 tahun. Itu sebabnya aku suka mendongeng, aku sangat senang jika anak-anak kecil menyukai dongengku. Bahkan saking sukanya aku menghibur anak-anak aku memiliki cita-cita menjadi seorang guru TK. Kembali ke pertanyaanku soal ekskul. Kamu juga nggak ikut ekskul mempelajari kekuatan siluman Asura?” tanyaku lagi.

“Ya.” jawab Selim singkat.

“Bukankah itu ekskul wajib militer kesiswaan?” tanyaku menatap wajah acuhnya dengan tajam.

“Aku selalu melarikan diri dari ekskul itu. Menurutku ekskul mempelajari kekuatan Asura sangat berlawanan dengan apa yang selalu diajarkan orang tuaku. Orang tuaku bilang aku tidak boleh berkelahi dengan teman, apapun alasannya. Ekskul itu mengajarkan murid-murid untuk berkelahi satu sama lain dan guru di ekskul itu juga mengadu murid-muridnya untuk berkelahi seakan sedang mengadu binatang.

Bukankah saat ini kita terkadang bisa tidak makan seminggu karena kesulitan mendapatkan makanan di musim dingin? Bukankah nenek moyang kita selalu tidak puas berkelahi hingga menimbulkan perang nuklir dan membuat bumi sekarang ini menjadi rusak dan memicu pendinginan global yang panjang?  Bukankah nenek moyang kita tak mempedulikan nasib keturunannya?” ujar Selim hampir saja memotong kalimatku.

Setelah itu Selim melepas topi hijaunya dan menggaruk-garuk rambutnya. Sepertinya rambut Selim gatal karena udara di dalam koridor sekolah kami berangsur panas sehingga membuat kepalanya berkeringat, meskipun tak sepanas udara di dalam angkutan tadi.

“Sekali lagi, kau benar-benar persis sepertiku Selim. Tidak tahu mengapa aku juga merasa lebih nyaman saat melarikan diri dari ekskul itu,” kataku tanpa ekspresi sedikit pun.

Anak autis sepertiku dan Selim sebenarnya sangat kesulitan membangkitkan darah siluman Asura, apalagi menguasai kekuatan Asura. Pengguna kekuatan Asura dituntut memiliki tubuh yang lentur dan kemampuan motorik yang baik.

Sedangkan anak autis seperti kami memiliki postur tubuh yang kaku seperti robot dan jauh dari kata lentur. Belum lagi anak autis sepertiku dan Selim mengalami perkembangan motorik yang jauh lebih lambat daripada anak normal.

Aku pun tertawa kecil mendengar penjelasan Selim. Menurutku, caranya berpikir itu cukup lucu. Selim memang selalu bisa memikirkan sesuatu yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.

Menurut pendapatku cukup sederhana, mempelajari kekuatan Asura memang ekskul yang sangat membosankan untuk diikuti. Bagiku segala hal di luar dongeng adalah sesuatu yang sangat membosankan.

Sebenarnya tidak menguasai kekuatan Asura bukanlah hal yang membuat kami dibully. Kami seringkali kami dibully karena perilaku kami yang mereka anggap aneh. Itu sebabnya aku tidak pernah mengikuti ekskul itu.

Jika Selim sama sekali belum pernah mempelajari kekuatan Asura, maka ia pasti juga belum membangkitkan darah silumannya sepertiku.

Kebanyakan anak yang tidak dilahirkan dengan wujud siluman memang tidak membangkitkan darah siluman Asuranya dari ekskul. Ekskul hanya mempertajam kemampuan mereka dalam menggunakan kekuatan ragmir.

Anak-anak biasanya diajarkan langsung oleh orang tuanya  membangkitkan kekuatan ragmirnya karena setiap jenis siluman ragmir memiliki cara yang berbeda-beda dalam membangkitkan darah silumannya.

Namun sayangnya baik orang tuaku maupun orang tua Selim nampaknya terlalu sibuk hingga tak pernah sempat meluangkan waktunya untuk mengajari kami mempelajari kekuatan ragmir dan membangkitkan darah siluman kami.

Belum lagi kami berdua juga tidak begitu tertarik membangkitkan darah siluman karena sepertinya di zaman sekarang tak banyak orang yang peduli jika kami membangkitkan darah siluman kami ataupun tidak. Bahkan hampir tak ada perbedaan yang mencolok antara anak yang sudah membangkitkan darah silumannya atau belum.

Angin lembut mulai merangkak menembus koridor sekolah kami. Menginsyafi kenangan-kenangan kami yang menggema. Tetapi kenangan-kenagan kami dengan mudah dipadamkan oleh suara keras bel sekolah  yang dengan kasar memaksa murid-murid masuk kembali ke kelasnya masing-masing.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama