“Ingatlah Hasya, kita memiliki darah yang sama, kau adalah bagian dari diriku. Jika kau merasakan sakit, maka aku akan merasakan yang lebih sakit daripada yang kau rasakan.”

(Hasyi Ozgur Bhirawa Sanca IX)


Hasyi sudah lama tidak mengukur berat ataupun tinggi badannya. Hasyi mencoba mengendalikan napasnya dengan darah panas menyelimuti tubuhnya yang berkeringat dingin.

Hidungnya yang agak mancung seperti berkilau saat bola matanya terbelalak. Ia seakan sedang bercermin. Ada sosok imut dan lugu yang menatapnya. Tubuhnya tidak gemuk, tidak kurus, dengan tinggi dan berat badan yang hampir sama persis dengannya.

Kulitnya sama-sama putih bersih serta rambut coklat yang terlihat natural. Meskipun rambut coklat Hasyim agak kemerahan karena terbakar api dari darah silumannya.

Sementara sosok di hadapannya, Putri Hasya, memiliki rambut coklat berkombinasi belang putih dan abu-abu. Hasya adalah cindaku siluman harimau putih yang merupakan jenis siluman yang sama dengan ibu Hasyi. Jika dilihat sekilas, wajah putri Hasya dan ibunya memang terlihat mirip.  

Wajah Hasyi dan Hasya juga benar-benar mirip, hanya saja yang satu wajah versi laki-laki dan yang satunya adalah versi perempuan. Keduanya bagaikan dua potongan cermin yang terpisah dan kini disatukan oleh sebuah mimpi.

Putri Hasya juga memiliki telinga elf yang runcing ke atas seperti yang dimiliki ibu Hasyi sebagai seorang siluman cindaku putih. Ia memiliki tekstur wajah lonjong dengan air muka yang menawan.

Hidungnya mancung, garis wajahnya tirus dengan tatapan karismatik yang menyejukkan hati. Kukunya indah berkilau karena setiap hari selalu melakukan suam kuku setelah berenang. Alisnya indah alami dengan batas tipis antara alis dan rambut di keningnya memberikan kesan yang mempesona.

Hasya adalah putri yang tegas, berwibawa, tak suka basa-basi, dan selalu ingin fokus membicarakan masalah utama. Ia juga sangat cerdas dan pandai bersiasat. Terkadang ia cenderung kasar, berbeda dengan teman akrab Hasyi, Anita Isadora, yang meskipun tegas dengan pendirian dan keinginannya, tetapi tidak mudah marah karena pintar mengendalikan emosi.

Putri Hasya terkenal pemarah hingga tidak memedulikan perasaan orang lain yang terkena dampak amarahnya. Ia mudah tersinggung, persis seperti ibu Hasyi.

Namun di balik itu semua, Hasya tetaplah seorang gadis remaja rendah hati. Untuk seorang putri kerajaan besar, ia sama sekali tak terlihat haus kekuasaan dan gila hormat. Ia pun bukan tipe seorang bangsawan yang angkuh.

Perpisahan selalu menyesakkan dada. Seumur hidup, keduanya merasa kesepian sebelum bertemu satu-sama lain seperti pada malam ini. Jiwa mereka seakan semakin bertaut erat menghalangi pengaruh waktu.

Dulu Hasyi selalu merasa pernah berjanji pada seseorang, jika dirinya selamanya tidak akan berpisah dengan orang itu. Ketika menatap wajah Hasya, semua ingatan tentang janji-janjinya menjadi semakin jernih. Ah entahlah, apakah itu hanya perasaan Hasyi saja, ia tak tahu.

Tapi Hasyi masih terus saja merasa semakin terikat dengan janji-janji itu. Tak peduli meskipun hanya sekejap, mereka saling bertatapan. Jika siang dan malam terus berganti dengan kesedihan dan kesepian, mereka seperti memiliki perasaan saling mengerti. Seperti sandaran hati yang begitu hangat. Begitu lekat.

Pelayan senior berusaha menegur Hasyi yang sedang melamun dan bertukar pandang lewat sebelah mata coklatnya yang ditutupi lensa kacamata monoclenya, saat menghadap Putri Hasya. Hasyi agaknya masih takjub dengan keberadaan Putri Hasya yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.

Hasyi selama ini adalah orang yang gemar membaca berita di mana saja karena ia selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ia sudah sangat sering melihat wajah Putri Hasya yang merupakan salah satu orang nomor satu di kerajaan ini. Putri yang selalu diagung-agungkan Raja Ghaozon. Namun saat menatapnya secara langsung rasanya berbeda.

Hasyi merasa jika wajah Putri Hasya sangat mirip dengan wajahnya. Bahkan jika kemarin Hasyi tidak memotong pendek rambut coklatnya, mungkin pelayan senior yang ada di belakangnya tak akan menyadari jika Hasyi dan Hasya adalah dua orang yang berbeda.

Namun dengan cepat Hasyi melupakan perasaannya jika ia mirip Putri Hasya. Ia tak bisa menggambarkan secara pasti perasaannya saat bertatapan langsung dengan Putri Hasya. Ia merasa seakan sudah mengenalnya sejak lahir.  Ia merasa seperti sudah memiliki ikatan kuat.

Apakah ini alasan Raja Ghaozon menjadikannya pelayan pribadi Putri Hasya? Jika benar, betapa sakti dan hebatnya kemampuan Sang Raja yang selama ini memang menyeleksi sendiri para pelayannya.

Begitupun mungkin yang dirasakan Putri Hasya saat menatap Hasyi. Seakan tak ada kekuatan di dunia ini yang dapat memisahkan karena jiwa mereka seperti sudah terikat.

Mereka mencoba saling mengingat-ingat wajah satu-sama lain. Pernahkah mereka bertemu di dunia ini sebelumnya? Ataukah mereka sudah bertemu bahkan sebelum alam semesta diciptakan? Wajah Hasyi merupakan cerminan wajah Hasya versi laki-laki. Begitupun sebaliknya, wajah Hasya adalah cerminan wajah Hasyim versi perempuan.

“Maaf mengganggu Tuan Putri, mungkin Anda ingin berkenalan dengan pelayan pribadi Anda yang baru ini? Saya dengar dari Sang Raja, Anda merasa sangat pusing, jenuh, dan tidak nyaman saat terlalu diperhatikan dan dikelilingi banyak pelayan pribadi. Anda hanya menginginkan seorang pelayan pribadi yang cukup untuk melayani Anda seorang  diri.”

Sambil memberi hormat dengan membungkukkan badan, pelayan senior itu mengakhiri tatapan mereka dengan bunyi semacam jam yang ia bawa di tangannya.

“Saya juga minta maaf membuatmu kelelahan mencari-cari keberadaan saya di istana ini. Anda sudah tua, Anda pasti letih sampai berdiri di tepi kolam renang malam-malam begini. Saya memang selalu duduk di tepi kolam renang ini sebelum tidur. Memang kolam di istana keempat ini tidak sebesar kolam yang ada di istana lapisan ketiga, namun air di kolam ini selalu bisa memberikan ketenangan pada hati saya,” Putri Hasya membalas pelayan senior dengan sopan dan rendah hati, mencerminkan perilaku beretika seorang putri raja.

“Eheem...Hasyi kau lupa memberi hormat pada Putri Hasya,” pelayan senior itu berbisik ke telinga Hasyi saat Hasyi masih menatap Putri Hasya dengan mata coklat berkilaunya.

”Sekarang kau harus mengucapkan sumpah setia pada Putri Hasya! Seperti yang sudah kuajari di Istana Janissary kemarin!” pelayan senior itu menepuk pundak Hasyi mencoba mengingatkannya.

“Baik, Tuan...” karena terlalu fokus menatap wajah Putri Hasya, Hasyi sampai melupakan nama pelayan senior yang sudah melatihnya selama sepekan. Tadinya ia ingin memanggil nama pelayan senior itu dengan nama depannya, tapi akhirnya karena lupa Hasyi memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan tuan.

Hasyi berdiri tegak menghadap Putri Hasya sambil menekan pelan dadanya dengan kepalan tangan kanan sambil mengucapkan kalimat sumpahnya. “Saya Hasyi Ozgur bersumpah! Tidak akan mengabdi pada siapapun selain kepada Anda dan pada kerajaan ini. Saya juga bersumpah nyawa saya tidak lebih berharga daripada kepuasan hati Anda!”

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama