Hasyi lalu duduk bersimpuh di atas lantai marmer tepi kolam renang yang becek dan membuat celananya basah. Kemudian ia mencium punggung tangan Putri Hasya setelah mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan pelayan senior.
Hasyi mengucapkan sumpah dengan kata-kata yang begitu cepat dan agak tersendat-sendat. Sangat wajar jika ia gugup mengingat ia sedang bertemu dengan orang paling penting di kerajaan ini.
“Baiklah, sumpahmu tadi itu sudah lumayan benar. Bawa dirimu dengan baik dan jagalah perilaku serta etikamu saat bekerja pada Tuan Putri. Berusahalah jangan membuatnya marah. Aku percaya padamu bisa melayaninya sendiri, selamat tinggal Hasyi!” begitu mendapatkan sinyal dari pelayan senior itu Hasyi mengangguk dengan ragu dengan wajah agak tersipu.
Mereka berdiri di atas marmer pinggir kolam renang yang dipenuhi pohon tinggi di sekitarnya. Memang suasananya sangat menyeramkan, tapi Putri Hasya begitu berani duduk di kursi kayu jati di pinggir kolam renang sendirian.
“Tuan Putri, saya tahu mungkin dia masih amatir, tapi saya percaya seiring berjalannya waktu, dia bisa menjadi lebih berpengalaman dalam melayani Anda,” pelayan senior itu membungkuk hormat yang kedua kalinya menandakan ia ingin meminta izin berpamitan dengan Putri Hasya.
“Oh baiklah kau boleh pergi. Lagi pula tak masalah jika dia amatir, saya sebenarnya sama-sekali tak membutuhkan seorang pelayan pribadi. Tapi Sang Raja terus memaksa saya memiliki seorang pelayan pribadi.”
Putri Hasya membalas pelayan senior itu dengan memberikannya izin untuk meninggalkanya. Senyuman tipis tersunggung di wajah imutnya.
Putri Hasya memandang Hasyi dengan pandangan misterius. Antara pandangan penasaran dan tidak peduli tapi iris mata siluman harimau putihnya yang terlihat persis dengan iris mata ibu Hasyi, tampak mengerikan saat menyala di kegelapan malam.
“Sudah terlalu malam, apalagi di tepi kolam renang begini tak banyak pekerjaan yang bisa kau lakukan saat ini. Tapi begini saja, tolong rapikan pakaianku yang kusut ini!” Putri Hasya memerintahkan Hasyi mengerjakan tugas pertamanya.
Hasyi pun langsung mengeluarkan jarum dan benang jahit yang tersisa di kantungnya dan segera membungkuk sambil merapikan pakaian putri Hasya yang kusut terkena angin malam.
Putri Hasya mengenakan şalvar atau celana panjang, gömlek atau pakaian tanpa lengan yang panjang dan tipis sampai menutup mata kaki, dan entari ungu atau jubah luar sepanjang pergelangan kaki dengan ujung terselip. Lapisan bulu yeleknya atau jaket atau rompinya menandakannya sebagai orang kaya dan berpangkat tinggi. Ia mengenakan mahkota berlian di dahinya.
Hasyi melihat sebuah bunga berlapis batu giok lemuria berwarna merah di telinga Putri Hasya. Hasyi merasa seperti mengenal bunga berlapis batu filsuf itu. Bunga itu seperti sesuatu yang tidak terpisahkan dalam hidupnya.
Sejak kecil, Putri Hasya sudah dididik untuk menjadi ratu yang sempurna di masa depan. Ia merupakan putri muda yang energik dan pekerja keras.
Raja Ghaozon sangat bangga memiliki penerus yang sangat cemerlang dan punya masa depan cerah. Hampir seumur hidupnya, Hasya mengabdikan diri untuk berlatih menjadi wanita siluman harimau yang lebih kuat. Secara alamiah ia ingin menjadi harimau putih yang kuat seperti ibunya. Meskipun ia tak mengenal sosok ibunya, Putri Hasya berusaha menjadi lebih kuat karena ia membenci orang lemah. Baginya orang lemah sangat membosankan dan hanya selalu memilih melarikan diri.
Jika pertama kali bertemu, Putri Hasya mungkin terlihat ramah. Tapi orang yang sudah biasa bersamanya akan merasa kurang nyaman berada di dekatnya. Lantaran Putri Hasya merasa kesepian di istana tanpa sosok seorang ibu dan hanya mendapatkan perlakuan tegas dari ayahnya, ia tumbuh menjadi gadis yang pemarah dan agak sulit tersenyum.
Putri Hasya suka mengkritik bahkan membentak orang di sekitarnya karena hal-hal kecil. Ia adalah orang yang sangat peduli dengan hal detail. Ada kesalahan sedikit saja ketika melayaninya, ia akan menyiksa pelayan itu, apalagi jika membuatnya tersinggung. Jika ada kesalahan, ia tak pernah merasa salah dan selalu menyalahkan orang lain.
Namun Putri Hasya tetap merasakan sesuatu yang berbeda ketika berhadapan dengan Hasyi. Seperti rasa pemakluman ketika melihat wajah yang lembut dan lugu.
Di balik sikap tegasnya, Putri Hasya adalah orang yang sangat mudah meneteskan air mata dan terharu dengan penderitaan orang lain. Meskipun ia seringkali tidak peduli melihat pelayan pribadi sebelumnya yang kelelahan menuruti permintaannya yang terlalu berlebihan dan seakan tak ada habisnya. Ia tetap memaksa mereka bekerja hanya untuk melihat pelayannya kelelahan. Dari situ ia bisa bersenang-senang.
Namun jika Putri Hasya puas menyiksa pelayannya ia selalu memberikan hadiah pada pelayannya sebagai tanda terima kasih karena membuatnya terhibur. Biasanya berupa keping emas yang lumayan banyak.
“Untuk pelayan yang masih baru dan katanya amatir hasilnya lumayan.” Putri Hasya memutar tubuhnya sambil memeriksa entari ungunya yang baru saja dirapikan Hasyi, sambil tersenyum ramah. Ia memuji pekerjaan Hasyi di hari pertamanya.
Putri Hasya terdengar lebih ramah daripada pelayan senior yang telah melatih Hasyi sejak pekan lalu. Hasyi belum pernah merasa dipuji setulus itu oleh siapapun, selain ibunya sendiri. Belum pernah jiwa Hasyi merasa begitu dekat dengan orang lain selain ibunya dan kini perasaan itu muncul saat Putri Hasya memujinya.
***
Sebelum aku dilahirkan menjadi putri di dunia dan zaman ini, dulu aku hanyalah seorang gadis yang tinggal di sebuah kamp pengungsian pada masa perang dunia.
Saat itu, aku sudah sangat siap mati kapan saja, menunggu kamp tempat tinggalku dibom oleh pesawat negara musuh. Setiap hari aku selalu menangisi kedua orang tuaku yang tewas menjadi korban perang dunia.
Halaman depan kamp pengungsianku di luar jendela berjeruji terlihat dipenuhi oleh parit galian tanah yang memanjang dan paralel. Terpasang sebuah barikade berupa kawat berduri yang sangat menonjol di depan, untuk melindungi parit pada garis depan yang sangat panjang. Jika aku sakit, aku harus merawat diriku sendiri dengan kotak pertolongan pertama yang ada tepat di samping tempat tidurku.
Aku tinggal sendirian di salah satu kamar yang ada di kamp pengungsian itu dengan kakiku yang lumpuh dan tak bisa pergi jauh dari ranjang. Untuk bergerak, aku membutuhkan bantuan dokter yang biasanya mondar-mandir di kamp pengungsian.
Dokter-dokter itulah yang menjadi orang tua baru bagiku. Tapi saat ini hampir semua dokter dikirim ke medan perang dan tak ada satupun yang bisa mengurus dan menemaniku. Hidupku selalu terasa hampa dan kesepian sampai suatu hari aku memandangi cermin tua berdebu yang ditutupi sebuah kain putih. Sebuah cermin yang berada tepat di samping tempat tidurku.
Saat aku melamun, cermin di sebelah tempat tidurku tiba-tiba bercahaya dan mengeluarkan debu ajaib berwarna emas cerah yang berkilau. Lalu muncul wajah seorang anak laki-laki yang datang dari pantulan cermin itu.
Ia berbisik ke telingaku ketika aku melamun. Ia mengatakan jika dirinya memiliki apel yang dapat mengubah dunia dan mengubah takdirku. Ia tersenyum. Raut wajah dan cahaya di matanya mirip sekali denganku bahkan ia bersumpah akan mempersembahkan jiwanya padaku.
Seakan kami berdua adalah saudara kembar yang belum pernah berpisah sebelumnya. Anak laki-laki itu selalu mengikutiku ke manapun aku pergi. Ia memperkenalkan dirinya sebagai keluargaku yang paling dekat. Ia mengenakan pakaian dan topi berwarna hijau yang sekilas terlihat terbuat dari daun dengan hiasan bulu merah.
Sebuah pedang kayu bersarung kulit terpajang di sakunya. Debu ajaib ada di sekujur tubuhnya yang membantu dirinya terbang.
Awalnya aku meraih senapan mesin yang ada di atas kotak pertolongan pertama dan mengarahkan moncong senapan pada dia. Namun ia mengatakan jika dirinya datang dengan damai. Takdir kami berdua sudah lama pecah dan kini kembali bersatu namun dengan takdir yang mulai terbalik.
Sambil menggerakkan sebelah tangannya, ia menaburkan debu ajaibnya dari sakunya kepadaku dari balik kaca. Membuatku ingin bersin. Di balik kaca dia pun memberikan sebuah keajaiban padaku. Debu ajaib berwarna keemasan itu perlahan berubah menjadi buah apel merah mengkilat.
Ia mengatakan, “Dari napasmu yang lembut itu aku sudah dapat membaca seluruh impian di dalam hatimu. Meskipun kau bukanlah orang yang serakah dan punya banyak keinginan, aku tetap akan memberimu hadiah, maka makanlah apel ini dengan tersenyum.”
Anak laki-laki itu melempar senyuman sambil mengatakan akan membawaku ke tempat yang dijanjikan.
Posting Komentar