Anak laki-laki itu memberikanku sebuah apel dan dia mengatakan setiap kali aku menginginkan sesuatu, gigitlah apel itu. Setiap satu gigitan aku akan mendapatkan satu permintaan.
Aku pun menggigit apel itu dengan gigitan kecil agar mendapatkan semakin banyak keinginan. Tapi aku menyadari semakin banyak keinginan yang akan kuminta, kebahagiaan yang ia miliki semakin berkurang.
Aku ingat jika di suatu tempat di dunia bawah, underworld, ada sebuah apel yang menggantung di atas pohon. Semua penghuni dunia bawah yang hidup sengsara dilarang memakan apel itu. Kemudian ada seorang anak laki-laki yang mencurinya dan berhasil keluar dari dunia bawah itu ke dunia yang lebih indah berkat keajaiban apel itu.
Aku belum sempat mengetahui namanya. Aku pun langsung memanggilnya sebagai keluarga karena di kamp pengungsian yang kumuh itu jarang sekali ada orang yang mau menjengukku.
Aku ragu-ragu meletakkan telapak tangan kananku di depan pantulan telapak tangan anak laki-laki yang berada di balik cermin itu. Namun ia memaksaku karena ia bilang ia selalu merasa nyaman dan tenang saat menyentuh tanganku yang lembut. Aku sangat ketakutan ketika bertemu dengannya di tempat yang tidak masuk akal, yaitu di balik cermin.
Aku tidak tahu dia mahluk apa, tapi dia terus menunggu dan memaksaku menghampirinya. Aku langsung menuruti permintaannya karena kalau tidak, aku yakin dia tak akan mau pergi dari cermin itu dan terus menghantuiku dengan perasaan bersalah sambil menggerakkan sebelah tangannya yang seperti ingin menyentuh tangan kananku. Di balik kaca dia pun memberikan sebuah keajaiban padaku.
Sewaktu kecil tepatnya sebelum orang tuaku tewas, orang tuaku mengatakan jika aku bisa menjadi apapun yang kuinginkan asalkan memiliki keinginan yang kuat. Aku pernah bermimpi menjadi seorang putri yang memiliki sebuah kekuatan luar biasa dan hidup dipenuhi kebahagiaan karena seringkali membaca buku dongeng yang entah darimana kudapatkan.
Akhirnya aku sadar dialah yang sering memberikanku buku dongeng di bawah bantalku ketika aku tertidur. Entah mengapa impianku yang lama itu kembali dan kini telah ia wujudkan.
Dia tertawa di balik cermin. Suara tawanya yang lembut terdengar sangat tulus dan penyayang. Suara itu justru membuatku menangis.
Dengan ragu aku pun bertanya kembali padanya, ”Maukah kau menemaniku selamanya?”
Aku masih merasakan kelembutan tangannya di balik sisi lain cermin itu. Namun dia malah menjawab, “Aku tak akan berhenti mengabulkan semua impianmu.”
Aku tidak mengatakan apapun, tapi setiap kali aku melamun dan memimpikan sesuatu, impianku selalu terwujud seperti berada di dalam surga. Kakiku yang lumpuh langsung bisa berjalan kembali. Perang dunia panjang yang telah lama kurasakan seketika juga berakhir.
Di dalam kamar kamp pengungsian yang sepi itu, sejenak kami berdua tertawa bahagia bersama di sisi cermin kami masing-masing.
Di dunia ini tak ada orang yang sempurna dan aku yakin termasuk dia. Namun dia adalah orang yang mau tampil apa adanya dan berani tampil berbeda dengan orang lain di depanku. Terkadang ia menghiburku dengan bertingkah konyol.
Sewaktu kecil aku pernah bermimpi menjadi seorang putri yang memiliki sebuah kekuatan luar biasa, entah mengapa impianku yang lama itu kembali dan kini telah menjadi kenyataan oleh sihirnya.
Saat mataku berkedip, sesaat dia menggandengku memasuki dunia cerminnya, tiba-tiba aku terbang di atas pelangi langit malam dengan debu emas ajaib di sekujur tubuhku, membantu untuk terbang. Bersama gandengan tangannya dia memintaku menari dengan sepatu roda di atas pelangi malam.
Aku merasa tubuhku ringan tanpa beban kehidupan dan dipenuhi kekuatan. Ia membuatku lupa dengan kakiku yang lumpuh. Ia bukan malaikat tapi jiwanya abadi di dalam jiwaku. Ia mengajakku ke negeri ajaib dan membuat masa kanak-kanakku yang awalnya menyedihkan setelah kematian orang tuaku, menjelma bahagia tanpa takut kebahagiaanku akan berakhir ketika aku tumbuh dewasa.
“Sekarang mimpiku telah dikabulkan oleh kebahagiaanmu yang telah kau korbankan, bahkan kau telah menghidupkan kedua orang tuaku yang meninggal dan menjadikan mereka raja dan ratu dengan aku sebagai putri mereka yang terlahir kembali.
Namun sepertinya sekarang aku akan kehilangan sesuatu yang lebih berharga daripada semua kebahagiaan yang kudapatkan hari ini. Tolong jangan tinggalkan aku! Aku ingin terus menari bahagia di atas pelangi malam di dalam dunia ajaibmu di mana kebahagiaanku tak terikat waktu.”
Aku menangis tersedu-sedu mencoba menyentuh tubuhnya yang tidak nyata di balik cermin. Pantulan wajahnya di cermin itu mulai memudar.
Anak laki-laki itu seperti roh anak-anak abadi yang selalu kembali ke dunia ajaibnya, dunia yang ada di balik cermin itu, dengan debu emas ajaib yang dapat membuatnya terbang. Ia tak pernah terlalu dewasa untuk bahagia, setelah tugasnya membahagiakan anak-anak yang kurang bahagia usai.
Dengan kata-kata lembut, ia terus memasang senyuman palsunya dengan sedikit air mata menetes di pipinya. Meskipun hanya sekali bertemu dengannya, aku ingin sekali hidup bersamanya, selamanya. Jiwanya terasa lebih dekat dengan jiwaku bahkan dibandingkan orangtuaku yang telah meninggal karena perang, meskipun aku belum terlalu yakin jika kami ditakdirkan bersama.
Bisakah dia mendengar detak jantungku? Aku selalu berusaha menutup mata menantikan kehadirannya di mimpiku.
Aku mencoba menyakinkan diriku jika mimpiku telah menjadi kenyataan. Dia mengatakan tak akan ada kegelapan lagi di dalam diriku, jika aku percaya diriku tak terhentikan.
“Aku adalah orang yang sama kesepiannya dengan dirimu karena hanya kaulah yang selalu ada di dekatku di dalam cermin ini. Aku selalu merasa kesepian karena aku terperangkap di dalamnya dan tak pernah bisa keluar meraih kebebasan yang selalu kuimpikan, tapi senyumanmu selalu membuatku tak pernah merasa kesepian lagi dan memberiku semangat untuk tetap hidup.
Satu-satunya yang dapat membebaskanku dari belenggu cermin ini hanyalah kasih sayang tulus seorang keluarga seperti dirimu,” anak laki-laki itu menunjukkan tangan dan kakinya yang diikat rantai emas panjang di dalam cermin itu, meskipun pakaiannya terlihat seperti orang kaya.
Entah berapa tahun waktu yang kuhabiskan. Aku terus menantikan kehadirannya kembali di depan cermin itu. Dia mengatakan, ia telah menanggung penderitaaan yang akan kurasakan di sepanjang hidupku, sekaligus memberikan seluruh kebahagiaan hidupnya padaku dengan sihirnya, hingga ia merasakan semua takdir buruk yang seharusnya menjadi takdirku.
Apakah dengan berakhirnya perang dunia di hidupku, kehidupan anak laki-laki misterius itu di balik cermin akan dipenuhi perang dunia? Apakah dengan aku menjadi putri di hidupku ini, dia sudah tidak lagi menjadi seorang pangeran di kehidupannya?
Lalu, apakah dengan kesembuhan kakiku yang lumpuh di kehidupanku, kehidupan anak laki-laki itu akan mengalami semacam kelumpuhan, kelainan, penderitaaan, atau kepedihan? Dia tak pernah menjelaskan mengapa dia rela memberikan kebahagiaan hidupnya padaku.
Namun kini laki-laki yang mengaku keluargaku itu muncul kembali di dalam hidupku sebagai pelayan pribadiku. Ia telah mengabulkan permintaan terakhirku untuk tetap hidup bersamanya.
Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kata-kataku jika aku menyayanginnya. Aku akan menepati janjiku untuk mengubur sisa apel yang ia berikan ketika ia menemuiku untuk yang kedua kalinya karena dia bilang jika aku sebagai bagian dari darah dagingnya tidak mengubur sisa apel itu, maka dia tak akan pernah bebas dari cermin yang mengurungnya.
Beberapa saat setelah kakiku sembuh aku masih tinggal di kamp pengungsian itu. Aku menyadari ternyata aku masih belum menjadi seorang putri seperti yang aku pikirkan sebelumnya.
Aku menanti cukup lama sampai di luar orang-orang yang tersisa di kamp pengungsian memanggilku keluar untuk menerbangkan sebuah lampion sebagai ungkapan syukur atas berakhirnya perang dunia yang panjang dan sebagai harapan agar perang dunia yang sama tidak terjadi kembali. Di dalam lampion itu banyak orang yang menuliskan harapan di secarik kertas.
Aku mulai menerbangkan lampion itu ketika semua orang pergi meninggalkanku. Aku memang sengaja menunggu menerbangkan lampion di saat-saat terakhir agar bisa berpikir dengan tenang.
Kali ini aku menulis permohonan bukan untuk diriku sendiri. Tapi untuknya, anak laki-laki di balik cermin itu, yang telah memberikan seluruh kebahagiaannya demi keinginanku.
Sebelum lampion itu terbang aku menulis, ”Aku ingin hidup bahagia bersamamu selamanya.”
Setelah lampion itu terbang, anak laki-laki itu seakan tersenyum dari dalam cahaya lampion.
Posting Komentar