Putri Hasya mengucapkan kalimat yang terasa amat kasar di telinga Hasyi. Sikapnya sangat menyebalkan hingga Hasyi ingin membantahnya. Namun Hasyi berusaha tidak membantah agar tidak kehilangan pekerjaannya.

“Baik Putri...” jawab Hasyi dengan membungkuk gemetar.

Sebenarnya Putri Hasya gadis yang lembut. Namun karena ia tumbuh tanpa sosok seorang ibu, ia menjadi pribadi yang terkadang lebih keras di balik sikap sopannya di saat formal. Ia ingin pelayannya bekerja dengan sempurna, bahkan ia tak terima dengan pelayannya yang melakukan kesalahan sekecil apapun.

Putri Hasya persis seperti harimau yang selalu mengaum dan menunjukkan amarahnya pada semua mangsanya. Amarah untuk segera melahap sang mangsa.

“Bisakah kau berbicara dengan lebih keras dan tegas? Suaramu terlalu lemas terdengar seperti orang yang bosan hidup. Angkat tanganmu sampai ke alis dan jawab aku dengan semangat,” seru Putri Hasya.

Hasyi pun berdiri tegak dan mengeraskan suaranya sepuluh kali lipat dengan penuh semangat dan ketegasan. Ia masih berdiri di depan mulut pintu kamar. Putri Hasya sedang memakan daging manusia dengan lahapnya.

Hasyi seperti melihat ibunya sendiri yang sedang makan saat ibunya kehilangan kendali karena lapar setengah mati. Ia terpaku memandang Putri Hasya seakan ia sedang memaksakan kontak mata dengan tatapan rindu. Padahal rasanya ia belum lama bertemu dengan Putri Hasya.

Tentu saja Putri Hasya tidak terima dengan siapapun yang mengawasinya. Apalagi yang mengawasinya adalah seorang pelayan pribadinya. Bagi dia itu sangat lancang.

“Hasyi apakah kau tidak keberatan memalingkan pandanganmu ke arah lain? Aku tidak suka ada pelayan yang menaruh perhatian lebih. Itu sebabnya aku tidak mau memiliki banyak pelayan pribadi. Jadi apa gunanya punya satu pelayan pribadi yang perhatiannya lebih parah daripada sepuluh pelayan pribadi yang pernah bekerja padaku sebelumnya?! ” ketus Putri Hasya dengan pupil hijaunya yang menyala.

Putri Hasya tetap menatap balik mata Hasyi yang masih terpaku dengan tatapan agak jijik pada daging manusia yang dimakan Putri Hasya di atas meja pianonya.

“Saya pikir seorang pelayan yang baik adalah pelayan yang selalu memperhatikan dan mengikuti majikannya ke manapun majikannya pergi. Saya hanya ingin bekerja sebaik yang saya bisa,” tanpa perasaan menyesal atau sungkan sedikitpun, Hasyi membalas pertanyaan Putri Hasya dengan santai dan polosnya, seperti orang dungu sambil sesekali berbicara pada Putri Hasya tanpa menatap matanya secara langsung.

Hasyi memalingkan pandangannya ke atas ke bawah, ke atap kamar. Plongak-plongok seperti orang yang sedang kebingungan.

“Baiklah, tolong balikkan badanmu menghadap ke arah luar pintu kamarku!” seru Putri Hasya.

“Seperti ini?” dengan wajah penurutnya yang polos dan tanpa rasa curiga sedikitpun, Hasyi berdiri tegak menatap tembok yang berada di pinggir lorong depan kamar Putri Hasya.

“Ok terus begitu ya!” Putri Hasya tiba-tiba mulai merangkak di atas lantai kamarnya. Kedua iris bola mata hijaunya menyala semakin terang. Ia mengaum dengan agak keras sambil merangkak perlahan-lahan ke arah Hasyi.

Suara auman Putri Hasya yang terdengar cukup keras sama sekali tak membuat Hasyi bergetar. Seperti biasa saat sedang melamun terkadang Hasyi tidak peka dengan suara-suara di sekelilingnya karena pikirannya terus dipenuhi dengan khayalan-khayalanya sendiri.

“Oke setelah ini saya harus apa? Saya boleh berbalik sekarang” tanya Hasyi dengan wajahnya yang mulai menghitam saat ia mulai merasa hal buruk akan terjadi padanya.

Putri Hasya terdengar seperti sedang kelaparan.

“Sabarlah! Tetaplah di posisimu saat ini! Kau boleh pindah jika aku mengizinkannya!” Putri Hasya langsung mengeluarkan semua taring siluman harimau mengerikan di mulutnya.

Pipi Putri Hasya kian ditumbuhi bulu berwarna putih pudar dan belang abu-abu persis seperti penampilan luar harimau putih.

Hasyi memiliki telinga kelinci yang bisa mendeteksi predator di sekitarnya. Entah mengapa telinga kelincinya selalu bisa terangkat atau terasa gatal saat ada predator di sekitarnya yang ingin menyerangnya. Ia merasa ragu dan tidak nyaman terus disuruh berdiri membelakangi tubuh Putri Hasya.

Hasyi akhirnya menengok ke belakang. Alangkah terkejutnya dia, Putri Hasya tiba-tiba melompat dengan posisi setengah merangkak ke arah telinga kelincinya, persis seperti harimau sungguhan di alam liar yang ingin memakan kelinci hanya untuk cemilannya.

Seperti Ibu Hasyi, wali kelasnya, bahkan Anita, siluman perempuan seperti Putri Hasya memang cenderung lebih agresif dan rakus dalam hal makanan daripada siluman laki-laki. Tak ada yang bisa menjelaskannya. Itu adalah hal yang alami.

Putri Hasya sangat pemarah karena perasaan rindu yang entah darimana asalnya. Ia melampiaskan semua amarahnya pada Hasyi. Seakan Hasyi bertanggung jawab atas amarah dan perasaan kesepiannya selama ini.

Putri Hasya mencoba melepas semua beban kerinduannya yang tidak diketahui asalnya, yang sepertinya ia tunjukkan pada Hasyi dengan mengajak Hasyi bersenang-senang bersamanya.  Meskipun Hasyi sepertinya tidak akan menikmati kesenangan Putri Hasya. Bagaimana mungkin mereka dapat saling merindukan padahal baru berkenalan kemarin malam.

“Ke-kelinci!” desah Putri Hasya sambil menjilati bibirnya mengirup aroma tubuh Hasyi yang tercium sedap seperti bau sate yang baru saja matang karena tubuh Hasyim agak terbakar oleh darah siluman apinya yang telah dibangkitkan.

Kemudian Putri Hasya mengeluarkan kuku harimau putih tajam dari kedua tangan dan kakinya sambil mengaum bahagia mencekik leher Hasyi dan membuat leher Hasyi sedikit terluka dan kesulitan bernapas. Kemudian dengan satu tangannya, Putri Hasya langsung melempar tubuh Hasyi semudah melempar bola hingga Hasyi terhempas dan terbentur ke atas atap kamar.

Putri Hasya pun mulai menghukum Hasyi karena membuatnya merasa tersinggung.

“AARGH leherku tercekik! Ampun!” Hasyi mulai menangis dan berusaha meminta pertolongan dari pasukan Janissary yang berjaga jauh di depan lorong kamar Putri Hasya.

Tapi Putri Hasya langsung menutup mulut Hasyi dengan cakar harimaunya. Putri Hasya terus berusaha menyerang Hasyi sambil tertawa terbahak-bahak dengan taring yang dipenuhi darah.

Kali ini Putri Hasya menggigit pundak Hasyi dengan seluruh tenaga taring siluman harimau di mulutnya hingga daging pundak Hasyi sobek dan mengeluarkan banyak darah. Potongan sobekan daging pundak yang panas dan mengeluarkan asap itu langsung disantap oleh Putri Hasya tanpa merasakan panas di mulutnya, seperti menyantap ayam goreng yang baru matang dan dipenuhi asap.

Hasyi masih mengerang dan terengah-engah. Ia berteriak histeris sambil meneteskan air mata.

“Jangan cengeng kau itu laki-laki kan? Lima detik lagi bagian pundakmu yang kumakan barusan juga akan sembuh. Kau sangat lemah dan membosankan. Aku bosan tahu, makan daging orang yang sudah mati. Sesekali aku mau makan sedikit potongan daging orang yang masih hidup. Tak ada yang lebih enak daripada potongan daging siluman api yang masih hidup. Rasanya seperti daging panas yang baru matang dari oven.”

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama