Di dalam lapisan daging pundak Hasyi yang sudah robek, Putri Hasya melihat kabel-kabel, baterai mini, sedikit kawat dan per,  serta berbagai baut. Layaknya potongan pundak mesin robot.

Hingga bagian pundak Hasyi yang telah robek sembuh dan tumbuh kembali karena kekuatan darah siluman apinya. Dagingnya yang telah sembuh menutupi semua komponen mesin di dalam pundaknya.

“Di dalam badanmu mesin semua! Ih, itu terlihat mengerikan! Kau ini manusia sungguhan atau robot yang dibuat untuk memata-mataiku! Apakah kau robot siluman yang akan memakan otak di kepalaku?” Putri Hasya mundur dan segera melompat ke belakang.

Masih dengan posisi merangkak kemudian Putri Hasya mengarahkan cakar harimaunya ke arah Hasyi yang masih terbaring lemas di atas lantai kamar.

“Kalau aku ini robot, aku tidak akan punya daging siluman api yang bisa Putri makan!" Hasyi menggerutu. Ia berusaha bangkit kembali dengan badan setengah merangkak memegangi pundaknya yang masih agak terasa sakit dengan kakinya yang gemetar.

“Baiklah, aku memberikanmu waktu istirahat dua jam. Kau boleh keluar kamarku sekarang!” Putri Hasya berkacak pinggang sambil menunjuk pintu keluar kamarnya.

Terdapat sebuah sofa merah panjang di lorong depan kamar Putri Hasya. Pantat Hasyi selalu menempel di sana di waktu istirahat.

Hasyi biasa meminum air botol yang selalu ia simpan dalam blankonnya atau memakan sebuah wortel yang ia bawa di ranselnya sebagai bekal makan siang. Sesekali ia membaca buku novel dongeng klasik atau menulis sebuah puisi di buku hariannya.

“Hasyi, ayo masuklah ke kamarku!” teriak Putri Hasya.

Kali ini wajah Putri Hasya terlihat lebih tenang dan matanya lebih teduh. Ia menatap Hasyi seakan Hasyi adalah sandaran dan sumber kebahagiaannya. ”Ayo jangan takut! Aku tak akan menyerangmu lagi.”

Dengan penuh keraguan Hasyi melangkah perlahan-lahan ke arah Putri Hasya yang terlihat mengulurkan tangan padanya. “Duduklah menghadap cermin itu!”

Di depan cermin itu, Hasyi melihat Putri Hasya duduk sambil memeluk kedua kakinya. ”Tariklah napasmu dan keluarkan perlahan-lahan!”

Meskipun pemarah dan agak sulit tersenyum, Putri Hasya adalah seorang putri yang sangat rendah hati. Cermin itu adalah cermin yang dulunya ada di sebuah kamp pengungsian yang sudah ada sebelum Putri Hasya dilahirkan di dunia ini.

Di cermin itu pula, dulu muncul sebagai seorang penyihir yang mengubah Putri Hasya yang dulunya gadis kesepian di dalam sebuah kamp pengungsian perang dunia, menjadi seorang putri saat ia dilahirkan kembali. Tentu saja di dalam kamar Putri Hasya cermin itu berubah menjadi lebih mewah daripada saat di kamp pengungsian dulu.

Putri Hasya memperlakukan Hasyi seperti orang yang sangat dekat dan sudah lama dikenalnya. Ia memasangkan semacam perban di pundak Hasyi yang masih memerah karena baru saja sembuh dari luka gigitannya sendiri dua jam yang lalu.

Putri Hasya pun mulai memijat-mijat pundak Hasyi yang tegang dan masih mengigil dengan perasaan penuh kasih sayang, namun dengan senyum yang disembunyikan. Setelah berhenti memijat ia mengambil gunting mewahnya dan memotong rambut pendek Hasyi menjadi lebih rapi.

Putri Hasya sangat mahir menata rambut. Ia tidak suka melihat pelayan istana berpenampilan tidak rapi. Tetapi percuma saja, pekan depan rambut Hasyi juga akan panjang lagi. Di depan cermin itu wajah mereka terlihat sama persis. Putri Hasya menunjukkan wajah penuh kasih sayangnya kepada Hasyi.

”Saya ini benar-benar orang yang tidak tahu etika Tuan Putri, mana ada pelayan yang rambutnya dipangkas majikanya sendiri. Lagi pula saya seorang laki-laki tidak sepantasnya saya berada di kamar seorang perempuan terlalu lama. Ibu saya bilang jika saya berkunjung ke rumah teman perempuan, saya tidak boleh masuk ke kamarnya,” Hasyi merasa risih dan sangat malu.

”Ini atas keinginanku sendiri, kau terlihat masih ketakutan padaku karena ternyata kau memang sangat lemah. Ayahku, maksudku sang raja, selalu bisa merasa tenang saat aku bernyanyi di dekatnya sambil memangkas rambutnya, seperti ini. Aku hanya ingin menolongmu. Menguasai emosimu!” tukas Putri Hasya dengan nyanyian yang membuat burung gagak yang hinggap di jendelanya yang terbuka ikut bernyanyi lalu terbang dan menari di angkasa.

Burung itu melayang bukan karena mengepakkan sayapnya, tetapi karena angin lembut yang keluar dari lantunan nyanyian Putri Hasya.

“Apakah Anda memperlakukan semua pelayan Anda sebelumnya seperti Anda memberikan perlakuan khusus pada saya?” tanya Hasyi dengan mata mengerjap.

“Tidak semua sih. Aku hanya tertarik padamu. Entah ketertarikanku membuatmu sangat beruntung atau sebaliknya sangat tidak beruntung karena aku seringkali mempermainkan orang yang membuatku tertarik,” suara Putri Hasya lembut namun mengancam.

“Wajah kita berdua sama persis apakah kita berdua semacam saudara kembar? Ataukah kita memang satu orang yang sama?” ujar Putri Hasya memperlihatkan bibir tersunggingnya dengan nada bergurau. Senyuman terlihat manis.

Namun Hasyi menanggapi gurauan Putri Hasya dengan penuh keseriusan. Lagi-lagi fantasinya yang seluas alam semesta seakan sedang mengingat-ingat sesuatu sambil berkhayal tentang sebuah jalan cahaya yang tak terbatas.

Saat pundaknya dipijat, Hasyi mulai bersendawa kemudian ia langsung menutup mulutnya karena merasa malu hingga pipinya memerah. Sosok Putri Hasya selalu mengingatkan Hasyi dengan ibu kandungnya yang telah meninggal.

Sisa-sisa langit biru tampak di luar jendela kamar Putri Hasya. Hasyi sesekali melirik jendela yang selalu bisa memberikan ketenangan padanya.

“Ikat kepalamu aneh sekali, seperti bando bentuk telinga kelinci,” Putri Hasya pun menarik-narik telinga kelinci yang menempel di bagian samping kepala Hasyi. Ia terlihat menyukainya hingga secara tidak sadar telinga kelinci Hasyi gemetar seperti habis dikelitiki.

“Hey ini telinga asli saya! Tolong jangan ditarik!” pinta Hasyi menepis tangan Putri Hasya. Putri Hasya langsung menyingkirkan tangannya dari kepala Hasyi.

“Saya tahu Tuan Putri, dari tadi Anda terus mengkritik fisik saya dan saya sudah terbiasa di bilang orang aneh oleh teman-teman saya. Anda pasti akan bilang kalau saya ini terlihat seperti anak perempuan atau anak kecil karena telinga kelinci ini. Tapi apa boleh buat selamanya saya tak bisa melepaskan telinga ini dari kepala saya!” cetus Hasyi yang kembali meneteskan air mata.

Hasyi kembali mengalami meltdown autisme. Ia terlihat berusaha menyembunyikan telinga kelincinya dari Putri Hasya.

“Tidak. Jangan salah sangka aku tak mau mengatakan itu. Aku justru kagum dengan telinga kelinci di kepalamu, kau siluman api kan? Aku belum pernah melihat orang lain memiliki telinga seindah dan selembut itu Hasyi. Hanya kau orang yang kukenal memiliki telinga kelinci itu. Telinga itu membuatmu istimewa, Hasyi,” kedengarannya Putri Hasya memuji Hasyi bukan hanya sekadar untuk membuat Hasyi tidak tersinggung.

Putri Hasya benar-benar tulus dengan pipinya yang agak memerah. Nada bicaranya juga persis seperti ibu Hasyi yang mau menerima Hasyi apa adanya, meskipun Hasyi menyandang autisme.

Setelah memarahi Hasyi yang suka mencoret-coret tembok atau merobek-robek buku PR atau hasil kertas ulangan matematika ketika Hasyi sedang mengalami meltdown autisme, ibu Hasyi selalu menggigit leher Hasyi. Ia menganggap Hasyi berbuat nakal persis seperti Putri Hasya barusan yang tampaknya sangat menikmati saat menggigit leher Hasyi dengan taring siluman harimaunya.

Tentu saja Putri Hasya memiliki tubuh yang jauh lebih kuat dan sifat yang lebih agresif daripada ibunya sendiri. Ibu Hasyi tidak pernah sekalipun membuat Hasyi begitu ketakutan hingga menangis seperti yang Hasyi rasakan saat Putri Hasya menerkamnya. Meskipun ketakutan Hasyi terhadap Putri Hasya dapat hilang dalam sekejap.

Namun setelah menggigit leher Hasyi, baik Putri Hasya maupun ibu Hasyi terlihat sangat menyesal dan kasihan dengan Hasyi. Keduanya memiliki tangan lembut yang seakan memiliki sihir cukup kuat untuk menenangkan Hasyi yang sering mengalami meltdown autisme.

***

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama