Suasana tenang di pinggir trotoar itu dipecahkan oleh teriakan kerumunan anak laki-laki. Kira-kira usia mereka sekitar enam tahun. Hasyi melihat lima orang anak kecil menyeret paksa seorang anak lainnya. Mereka menyiksa anak kecil itu dengan menendangi dan memukulinya.

Hasyi juga melihat banyak orang dewasa yang melewati trotoar itu, namun tak ada seorang pun peduli apalagi menunjukkan rasa belas kasihan pada anak kecil yang diganggu teman-temannya itu. Hasyi melihat kebanyakan orang dewasa yang melawati trotoar itu hanya melirik anak yang sedang diganggu itu sekilas kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Menurut Hasyi setidaknya salah seorang dari orang dewasa yang melewati trotoar itu bisa mencoba melerai pertikaian yang terjadi pada anak-anak kecil itu. Daripada sekadar meliriknya dan sesaat terlihat berwajah kaget seolah peduli, padahal mereka lantas hanya berlalu dan memedulikan urusan masing-masing.

Saat melihat anak yang sedang diganggu itu, Hasyi pun berkaca pada dirinya sendiri saat masih seusia anak kecil itu. Saat Hasyi sedang diganggu oleh anak-anak lainnya, ia merasa tak ada seorang pun orang dewasa yang peduli kepadanya.

Nirmala masih berusaha menusuk-nusuk kalbu Hasyi dengan tombak bulan sabitnya yang runcing sedemikian rupa.

***

Dari sudut pandang Hasyi, tempat bimbingan belajar salah seorang guru di sekolahnya sudah dalam kondisi gelap gulita. Padahal saat itu masih pukul lima sore.

Mimpi buruk adalah sekutu kesedihan. Hasyi selalu berusaha menahan kesedihannya karena tak ingin menjadi sekutu Nirmala.

Hasyi terpaksa mengikuti bimbingan belajar guru kelasnya sebagai kelas tambahan untuk memperbaiki nilai-nilai ujian matematikanya yang selalu merah.

Hasyi memang tak berbakat dalam pelajaran matematika dan hanya hebat dalam pelajaran lain. Jika ikan disuruh memanjat pohon, maka ikan itu selamanya akan merasa bodoh karena merasa tak mampu memanjat pohon. Padahal kehidupan alami ikan adalah berenang bukan memanjat pohon.

Saat Hasyi mulai mendekati guru bimbingan belajarnya untuk mengumpulkan tugas, tiba-tiba beberapa teman bimbingan Hasyi yang jahil menarik blangkon Hasyi dari kepalanya. Hasyi sebenarnya mengerti jika mungkin teman-temannya hanya merasa aneh melihat Hasyi mengenakan blangkon, sedangkan anak anak lain mengenakan top hat, topi hitam panjang yang biasanya digunakan oleh pesulap.

Kebanyakan orang di Kerajaan Miggleland memang  lebih suka mengenakan top hat saat keluar rumah daripada mengenakan jenis topi lainya. Karena warna dari top hat itu yang serasi dengan kepribadian penduduk Miggleland yang gelap.

Padahal sama sekali tak ada peraturan berpakaian di bimbingan belajar itu. Semua murid di situ diizinkan mengenakan pakaian apa saja, asalkan rapi dan sopan.

Sebenarnya Hasyi hanya merasa tidak nyaman saat mengenakan top hat. Ia merasa tidak tahu mengapa saat mengenakan top hat seringkali ia merasa gelisah. Topi hitam itu terasa terlalu panjang untuk kepalanya yang bundar dan agak pengap di kepalanya saat dikenakan dengan telinga kelincinya yang gatal dan berbulu.

Hasyi justru selalu merasa nyaman saat mengenakan blangkon topi khas peninggalan Jawa. Perilaku pembangkangnya inilah yang membuat Hasyi dianggap sebagai anak yang nakal dan tidak mau mengikuti aturan tak tertulis tentang cara berpakaian di kerajaan.

Hasyi benar-benar kesal dengan teman-teman bimbingan belajarnya yang telah merampas blangkonnya. Hasyi pun berusaha merebut kembali blangkon kesayangannya dengan susah payah.

“BOCAH GILA! BOCAH GILA! YA AUTIS!” ledek teman-teman bimbingan belajar Hasyi sambil saling mengoper-ngoper blangkon Hasyi satu sama lain agar Hasyi kesulitan mengambil blangkonnya kembali.

Sekali lagi Hasyi bertanya-tanya pernahkah anak-anak itu berpikir jika berada di posisinya? Bagaimanakah jika seandainya mereka sendirilah yang diganggu seperti Hasyi? Sudah pasti hati mereka juga akan terpuruk seperti yang dirasakan Hasyi.

Hasyi merasa seakan tak ada seorang pun di dunia ini yang pernah berpikir untuk berada di posisi orang lain apalagi di posisi seperti dirinya. Mereka terus mengejek Hasyi dan menjadikannya bahan tertawaan meskipun bagi Hasyi semua itu sama-sekali tak lucu.

Saat Hasyi hampir merebut blangkonnya dari satu orang. Temannya yang lain langsung mengoper blangkon Hasyi ke yang lainnya, membuat gerakan lari Hasyi yang lambat, kurang cekatan, dan kurang peka dengan sekelilingnya, kesulitan menangkapnya.

Hasyi benar-benar muak dengan perlakuan buruk teman-temannya. Rasanya Hasyi ingin marah sambil membanting barang.

“Awas kalian! Rasakan ini!” umpat Hasyi.

“Byuurrr….”

Hasyi menyiram teman-teman bimbingan belajarnya yang telah merampas blangkon dari kepalanya dengan air botol minum yang ia bawa. Hasyi juga membasahi pakaian teman-temannya. Bahkan ia hampir membasahi seluruh meja belajar di situ.

Anak autis jarang melakukan kenakalan yang disengaja. Mereka akan bereaksi dan marah jika diganggu orang-orang di sekitarnya. Namun karena reaksi amarahnya yang berlebihan mereka dianggap sebagai anak yang nakal dan tidak tahu sopan santun.

Seketika, guru langsung menghardik Hasyi, menarik kerah bajunya, dan mendorong Hasyi ke meja yang masih basah sehingga baju Hasyi juga ikut basah.

“Bocah gila! Kerjanya bikin masalah saja! Gak pentes kamu belajar di sini!” gertak guru bimbingan belajar yang juga menjadi salah satu guru Hasyi di sekolahnya itu secara spontan.

Si guru panik melihat meja kesayangannya basah.  Lalu ia menempeleng kepala Hasyi dengan seluruh tenaga yang dimilikinya.

“Blangkon saya diambil, Pak!” teriak Hasyi seketika seraya mengaduh kesakitan. Namun begitu, gurunya menempeleng kepalanya berkali-kali lagi tanpa belas kasihan sedikitpun. Bagi Hasyi, guru itu sama-sekali tak memiliki perasaan keadilan di hatinya.

“Siapa suruh pakai blangkon? Ini tempat bimbingan belajar. Kalau mau pakai blangkon jadi tukang sate sana!” bentak guru itu mendorong dada Hasyi. Hasyi terjatuh kembali ke meja yang masih basah ketika mencoba untuk kembali berdiri.

Sebenarnya blangkon adalah salah-satu hal tak terpisahkan dalam kehidupan kerajaan ini karena sebagian penduduknya merupakan keturunan Jawa.

Ketika upacara adat, banyak orang yang mengenakan blangkon. Meskipun terkadang keberadaannya dianggap membawa kesialan bagi sebagian penduduk yang memiliki dendam masa lalu dengan perlakuan orang Jawa dari Kerajaan Majapahit yang membuang  warga yang dianggap sampah masyarakat dan menindas penduduk asli di kerajaan ini.

“Kenapa malah pakai jas batik? Kenapa kamu sama sekali gak pakai pakaian berwarna hitam? Mana rasa banggamu pada kerajaan ini!? Kau tak pantas menjadi penduduk kerajaan ini! Bahkan kau tak pantas menampakkan wajahmu sebagai murid di sini!!!” guru bimbingan belajar Hasyi tetap menatap Hasyi penuh kebencian.

“Setahu saya tidak ada aturan berpakaian di tempat ini, Pak. Saya bingung mengapa saat saya diganggu oleh teman-teman saya yang lain, Bapak malah memarahi saya, padahal saya yang sedang menjadi korban kejahilan mereka dan Bapak malah membiarkan mereka terus mengganggu saya.

Saya tahu Bapak marah bukan karena Bapak ingin menjaga kenyamanan belajar di tempat ini. Tapi Bapak takut disuruh membersihkan meja oleh pemilik bimbingan belajar ini kan? Bapak gak pantes jadi guru!” Hasyi hampir saja ingin membenturkan kepalanya ke tembok untuk melampiaskan amarahnya.

Hasyi mulai menunjuk-nunjuk wajah guru dengan jari-jarinya yang kecil.

“Dosa apa yang dilakukan orang tuamu hingga kau dilahirkan dengan ditunggangi roh jahat yang hina begini? Dasar Setan!“ Guru bimbingan belajar Hasyi lalu hanya terdiam sambil menatap wajah Hasyi dengan tatapan kebencian. Ia menggeram setelah mengatakan kata-kata itu.

“Ya udah Pak, usir aja dari tempat bimbingan belajar ini! Udah gila gak tahu malu lagi. Gak pentes hidup dia, Pak!”

"Yah gila! Ya gila!” Anak-anak lain di tempat bimbingan belajar itu malah menimpali guru Hasyi tanpa merasa bersalah sedikitpun. Guru Hasyi tidak menahan anak-anak lain yang serentak ikut menendangi kepala Hasyim bersama-sama.

Tentu saja Hasyi tidak merasa bersalah. Dengan menutup kedua telinga kelincinya, ia berteriak sekeras yang ia bisa.

Hasyi mengelilingi kelas itu sambil meronta menendangi seluruh meja-mejanya dan bergegas kembali pulang sambil menyandang tas ranselnya. Ia menangis tersedu-sedu selama perjalanan pulang.

“Biarkan dia pergi. Dia hanyalah anak bodoh yang tidak punya masa depan, seharusnya dia tidak dilahirkan di dunia,” kata guru bimbingan belajar itu meredakan amarah anak-anak di situ.

Hasyi terkadang merasa bersalah atas kelakuannya yang tidak tahu sopan santun pada guru-gurunya dulu. Meskipun guru bimbingan belajarnya itu dulu bagi Hasyi berperilaku lebih mengerikan daripada iblis.

Tapi di manapun ia berada, baik di sekolah maupun di tempat bimbingan belajarnya, karena dianggap kurang fokus, dia seringkali mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan oleh guru-gurunya.

Tangan Hasyi kerapkali dipukul hingga kepalanya ditendang. Ia juga dikeluarkan dari barisan saat ia sedang latihan baris-berbaris. Lantaran sering diabaikan, jika anak-anak lain sangat sedih dan malu saat dikeluarkan dari kelas oleh gurunya, Hasyi justru merasa bahagia.

Bagi Hasyi, suasana koridor sekolah saat dia dihukum dengan disuruh berdiri di depan kelas sangatlah membahagiakan. Seakan ia merdeka dari seluruh suasana kelas yang membuat hatinya selalu terpuruk.

Berkali-kali Hasyi meminta ibunya mengizinkannya keluar dari tempat bimbingan belajar itu. Tapi tentu saja ibu Hasyi tidak mengizinkannya. Alasan ibu Hasyi memasukkan Hasyi ke tempat bimbingan belajar guru sekolahnya karena ibu Hasyi sangat ingin anaknya itu tidak terlalu bodoh di pelajaran matematika.

Hasyi memang sangat lemah dalam matematika. Saat melihat angka-angka dalam pelajaran matematika pikiran fantasi yang ada di otak Hasyi membayangkan jika angka-angka matematika itu sedang menari-menari.

Bahkan ada beberapa dari angka-angka matematika  itu yang berubah menjadi hewan-hewan mengerikan seperti kelabang, kecoa, dan kalajengking. Seakan mereka akan segera hinggap di sekujur tubuh Hasyi dan masuk ke lubang telinganya.

Sejak dulu Hasyi tahu jika tak ada seorang pun yang peduli padanya saat ia sedang diganggu oleh anak-anak lain di sekitarnya. Sama seperti anak laki-laki yang sedang diganggu di trotoar itu. Tak ada seorang dewasa pun yang peduli pada anak yang sedang diganggu itu.

Karena Hasyi juga tahu bagaimana perasaan anak kecil  yang sedang diganggu di trotoar itu, Hasyi tak sanggup hanya berdiam diri. Ia tak ingin membiarkan anak kecil itu terus dipukuli hingga babak belur seperti dirinya saat masih kecil.

Hati Hasyi sudah tidak tahan membiarkan anak itu terus dipukuli oleh teman-temannya. Entah mengapa rasanya tangan Hasyi langsung tergerak untuk mengambil tongkat bambu yang ia temukan di trotoar.

Tadinya batang bambu itu dipakai oleh seseorang untuk memasang spanduk, tapi nampaknya orang yang memasang spanduk itu tak bertanggung jawab dan membiarkan bambunya tetap berserakan di trotoar.

Hasyi pun langsung mengusir anak-anak yang mengganggu anak kecil itu dengan mengancam mereka menggunakan tongkat bambu yang ada dalam genggamannya. Lutut anak yang baru diganggu itu kini dipenuhi dengan darah.

Hasyi segera membantu anak itu untuk kembali berdiri kemudian membawa anak itu menuju bangku halte bus terdekat sambil membersihkan luka dengan sapu tangan yang ia bawa.

Hasyi juga memberikan anak kecil laki-laki itu minum dari botol minum yang ia bawa. Air dari botol minum itu belum Hasyi minum sama sekali.

Hasyi tetap berusaha menolong anak itu semampunya, meskipun Nirmala terus berbisik di telinganya dan menghinanya sebagai anak yang sangat cengeng.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Hasyi tersenyum di depan wajah anak kecil itu. Hasyi masih membersihkan lutut anak kecil itu yang penuh luka dengan sapu tangan yang ia bawa.

Dengan masih agak terengah-engah, anak itu berusaha tersenyum pada Hasyi sambil mengangguk.

“Kenapa tadi teman-temanmu menyakitimu? Memangnya apa salahmu pada mereka?” tanya Hasyi penuh teliti bercampur perasaan kasihan.

“Aku adalah manusia siluman bunga bangkai. Aromaku sangat bau setiap hari mereka selalu berbuat kasar padaku seperti ini karena aku tak beraroma wangi seperti mereka.

Aku selalu mandi setiap hari dan memakai wangi-wangian sesering mungkin, tapi aku tetap saja beraroma busuk seperti biasanya,” jawab anak kecil itu seraya menundukkan kepalanya. Ia merasa hidupnya sudah tidak ada artinya karena terlahir dengan aroma busuk dan terus menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Hasyi masih membersihkan luka di lutut anak malang itu. Hasyi pun teringat pada dirinya sendiri. Sekuat apapun Hasyi berusaha tidak bertingkah aneh seperti anak-anak pada umumnya, orang lain tetap menganggapnya bertingkah seperti anak autis.

Hasyi masih tidak tahu di manakah tingkahnya yang terlihat seperti orang aneh. Anak-anak autis seperti dirinya seolah terus terbelenggu oleh takdir yang buruk.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama