Ada Jam di dalam Tubuhku
Raja Ghaozon mengundang Hasyi bertemu dengannya. Raja sama-sekali masih belum mengetahui jika Hasyi terlibat dalam Tanduk Berlian, meskipun sebagian kepolisian kerajaan sudah mencurigai jika teroris Tanduk Berlian banyak yang bersembunyi sebagai anggota parlemen maupun pelayan pribadi kerajaan. Mereka tak berani melapor sembarangan pada raja jika belum ada bukti yang akurat. Raja sangat membenci berita bohong.
Ghaozon dulu adalah raja tak berperasaan yang naik takhta dengan membunuh kakaknya. Sang Raja belum bisa menganggap Hasyi sebagai anak sendiri, apalagi ia berniat membunuh Hasyi saat berusia 18 tahun, sebelum Hasyi membawa kehancuran bagi kerajaan ini. Mungkinkah ini bagian dari rencananya?
Apakah Raja Ghaozon memberikan Hasyi kesempatan untuk mendapatkan kasih sayangnya atau ini ujian terakhir sebelum Hasyi mati? Entahlah, namun Raja Ghaozon tetaplah seorang ayah yang ditakdirkan untuk Hasyi.
Awalnya Hasyi tak mau masuk ke ruang rapat raja karena nomor ruangannya ganjil. Hasyi meminta raja memasuki nomor ruangan yang berjumlah genap. Raja pun mengiyakan karena semua ruangan rapat itu dalamnya sama. Hasyi memiliki trauma dengan bilangan ganjil karena ketika masih sekolah dasar ia seringkali dimarahi ibunya karena kesulitan menjumlah angka ganjil. Raja pun memerintahkan Hasyi untuk menyalakan perapian emas di ruang rapat yang ditutupi teralis.
“Saya harap kamu betah bekerja di istana ini,” Raja melempar senyuman pada Hasyi. Hasyi mengangguk dengan sopan. Ia duduk di kursi meja rapat panjang di sisi raja.
“Sebenarnya saya ingin bertanya padamu mengapa kau melamar di sini, maksud saya kau masih sangat muda bahkan kau pelayan termuda yang bekerja di istana ini, di mana kau tinggal?” tanya Sang Raja.
“Di rumah ayah tiri saya, setelah ibu saya meninggal ayah tiri saya bersedia merawat saya,” jawab Hasyi dengan kalimat yang lugas.
“Jadi sebelum meninggal ibumu sempat menikah lagi?” Raja menggebrak meja. Pipinya memerah merasa cemburu mantan istrinya menikah lagi. Padahal dirinya tak pernah memikirkan pasangan lain, bahkan ia bukan tipe raja yang suka mengoleksi selir.
“Iya dengan seorang pengusaha tembakau,” jawab Hasyi pelan. Ia heran mengapa Raja tiba-tiba marah.
“Baiklah, baiklah, kita bicarakan topik lain. Mengapa kau terlihat sangat canggung, dan maaf, agak aneh seperti orang yang kerasukan roh jahat. Baru saja aku melihatmu berbicara sendiri sambil menatap atap,” tanya raja yang berdiri di kursi terbesar di ruang rapat itu.
“Saya tidak kerasukan roh jahat, saya mengidap autisme. Saya berbicara sendiri untuk memilah informasi dan membantu mengingat. Jika tidak berbicara sendiri terkadang saya bisa melupakan hal-penting,” jawab Hasyi dengan tenang dan ekspresi wajah datar.
“Itu sama saja semua anak autis telah dikutuk oleh roh jahat!” tukas Raja sambil meminta Hasyi memberikannya secangkir kopi yang baru saja diseduh.
“Roh jahat takut pada cahaya, anak autislah yang pertama kali menciptakan lampu dan mengusir roh-roh jahat di dunia ini dengan cahaya lampu pijar yang mereka ciptakan,”jawab Hasyi percaya diri.
“Apakah kau tak punya keinginan sedikitpun untuk sembuh dari autis yang kau derita?” tanya Raja pada wajah Hasyi yang terlihat terlalu optimistis.
“Tentu tidak Yang Mulia, seperti yang saya bilang tadi, autis yang saya idap bukanlah kutukan maupun penyakit, tapi itu adalah kepribadian saya yang sudah ada sejak saya dilahirkan. Kalaupun autis bisa disembuhkan, saya tidak mau menyembuhkan autis saya, karena jika saya sampai sembuh saya bukan diri saya yang dulu lagi,” tutur Hasyi.
Dengan autismenya, Hasyi mempelajari banyak hal dalam hidupnya. Ia lebih mampu berempati pada orang-orang berkebutuhan khusus seperti dirinya dan memandang dunia dari sudut pandang yang berbeda. Ia juga merasakan mimpi-mimpi yang tak dirasakan orang-orang normal.
Raja mengangguk sambil memegangi dagunya. Kata-kata Hasyi telah membungkamnya. Hasyi menatap raja dengan senyuman, baginya dikritik karena autis yang ia idap adalah hal yang biasa. Anak autis seperti Hasyi hanya memiliki cara yang berbeda dalam memandang dan menikmati keindahan dunia, dibandingkan anak-anak normal lainnya.
“Baiklah sebenarnya aku biasa mengundang seorang pelayan ke ruangan rapat ini hanya untuk mengajaknya bermain catur di waktu luang yang membosankan. Apakah kau bisa bermain catur?” tanya Raja dengan sebelah alis terangkat.
“Saya bisa tapi saya tidak terlalu pandai memainkannya,” Hasyi mengangguk sambil membungkukkan badan tanda hormat pada Raja.
Papan catur yang terbuat dari kayu mulai digelar, dengan cepat keduanya menempatkan bidak caturnya sesuai tempatnya. Awalnya, Raja menilai Hasyi adalah orang yang sangat lemah dalam mengambil keputusan karena setiap kali melangkah ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding Raja. Hasyi terlihat sering ragu. Namun seiring berjalannya waktu, Raja Ghaozon memainkannya dengan santai dan banyak bicara, sedangkan pikiran Hasyi masih terpaku pada papan catur yang ia gerakkan. Hingga tanpa sadar karena terlalu banyak bicara, Raja kalah dengan skakmate. Bidak rajanya telah terjepit oleh bidak kuda, ratu, dan benteng milik Hasyi hingga tak dapat bergerak ke manapun. Sontak, Sang Raja terkejut begitu ia dikalahkan Hasyi. Belum pernah ada pelayan istana yang berhasil mengalahkan Raja dalam permainan catur sebelumnya.
“Astaga aku kalah! Apa rahasiamu memenangkan pertandingan? Tadi kau bilang kau tidak terlalu pandai memainkan catur? “ sindir Raja Ghaozon sambil tersenyum memaksa sambil mengelus-elus rambut Hasyi.
Hasyi menjelaskan, “Saya memang tidak pandai memainkannya saya hanya berusaha sebaik yang saya bisa. Saya tidak pernah melakukan langkah yang sia-sia ketika menggerakkan bidak catur karena langkah yang sia-sia pasti akan berkibat fatal di masa depan. Itulah prinsip saya dalam bermain catur. Saya memang berbeda dengan ibu saya. Ibu saya selalu mengatakan kita tak perlu takut dalam melangkah karena melangkah lebih baik daripada berdiam diri dan kita tak pernah tahu keberuntungan atau hal baru apa yang akan kita temukan setiap melangkahkan kaki,” jawab Hasyi sambil merapikan papan caturnya atas perintah Raja Ghaozon.
“Maafkan Ayah Hasyim, Ayah masih menyayangimu, namun ini demi keselamatan semua orang. Ayah tak ingin kau membawa kehancuran bagi negeri ini, jadi Ayah berusaha menyembunyikan keberadaanmu,” Raja Ghaozon bergumam dalam hati dengan senyuman yang dipaksakan sambil mengenang versi Hasyi yang masih balita sedang bermain di ruang rapat ini.
“Seganas-ganasnya harimau tak akan pernah tega melukai anaknya sendiri apalagi membiarkan anaknya terluka, benar kan Hasyi?” Raja Ghaozon bergumam sambil memandangi foto mantan istrinya, yaitu ibu Hasyi dan Hasya yang merupakan siluman harimau putih, setelah Hasyi keluar dan menutup pintu ruang rapat. Foto itu selalu ia sembunyikan di dalam sakunya.
***
Nanti malam akan terjadi migrasi penguin tahunan di kerajaan ini bersamaan dengan ulang tahun Kota Rumeli Hisari. Penguin bermigrasi rata-rata sekitar 13.000 kilometer bersama koloninya untuk alasan mencari makan dan kembali lagi.
Sebagai seorang calon pewaris takhta, Putri Hasya harus selalu berlatih pertarungan fisik agar dirinya semakin kuat dan mampu melindungi kerajaan ini di masa depan, meskipun rakyat di kerajaan ini berusaha melindungi diri dari tindakan sewenang-wenang keluarga kerajaan.
Putri Hasya memang bukan orang yang cemerlang dalam hal akademis. Raja seringkali memanggil guru pribadi untuk mengajari Putri Hasya mempelajari berbagai pelajaran sekolah untuk memperbaiki nilainya, pelajaran tambahannya, selain sekolah homeschooling. Kemampuan akademis terbaiknya adalah di pelajaran seni khususnya seni musik.
Azra-lah yang selalu melatih Putri Hasyah dalam pertarungan fisik karena ia berasal dari militer. Selain itu, sebagai kakak sepupu ia diperintahkan oleh ayahnya, yaitu adik kandung raja untuk selalu membantu Putri Hasya. Azra terpaksa bersikap baik di depan Hasya meskipun. Meskipun akademisnya tak terlalu memuaskan, Putri Hasya sangat berbakat dalam pertarungan fisik. Bakat dan kemampuan pertarungan fisiknya pastilah menurun dari ibunya yang merupakan seorang bekas panglima Janissary sebelum akhirnya dipinang raja.
Setelah hampir setengah hari melatih Putri Hasya, Azra pergi meninggalkannya. Azra mendapatkan panggilan untuk kembali ke dalam batalionnya untuk memimpin perlawanan melawan sisa pemberontak yang mencoba membakar alun-alun kota. Azra melatih Hasya di tempat latihan kedap suara yang jika dibuka dari pintu kayu ukiran bagian belakang akan langsung menuju balkon. Tempat latihan itu dilengkapi fasilitas dunia pertarungan virtual reality yang memungkinkan Hasya merasa berlatih dengan musuh sungguhan di dalam dunia buatannya.
Setelah selesai berlatih, Putri Hasya memberi makanan berupa daun pada kupu-kupu kesayangannya yang ia kurung di dalam toples dan ia jepit di teralis jendela kamarnya.Kupu-kupu itu berwarna merah muda kombinasi kuning emas. Keindahan warna kupu-kupi membuat hati Hasya menjadi tenang dan selembut kupu-kupu, meskipun kerajaan ini sedang diporak-porandakan oleh pemberontakan yang terkadang membuatnya gelisah. Kibasan sayap kupu-kupu di toples itu membuat hati Putri Hasya menjadi syahdu. Kupu-kupu itu, ditambah senandung nyanyiannya bisa membuat siapapun terbuai.
Putri Hasya mendadak berteriak sambil melambaikan tangan dari balkon kamarnya pada Hasyi yang sedang membuat manusia salju, sambil memandikan penguin kesayangan Putri Hasya. Putri Hasya selalu ingin penguin itu dimandikan setiap hari, meskipun di alam liar penguin itu tak pernah dimandikan. Putri Hasya seringkali menyiksa penguin itu seperti menggunakan paruhnya dan tubuhnya sebagai raket untuk memukul bola pingpong atau diam-diam menggunakan tubuh penguin yang gempal itu untuk dijadikan bantal yang empuk. Semua yang ada di istana ini ia perlakukan dengan sesuka hatinya.
Putri Hasya segera menyuruh Hasyi membawakannya teh hangat dan kue-kue kering. Sambil membungkuk Hasyi menaruh semua cemilan itu ke meja balkon kamar Putri Hasya yang sangat luas untuk tempat latihannya bersama Azra tadi. Putri Hasyah masih tertawa tipis melihat keanggunan kupu-kupu kesayangannya di dalam toples. Namun hati Hasyi yang sangat lembut terlihat iba membiarkan kupu-kupu itu terus dikurung dan tak memiliki kesempatan meraih kebebasan.
“Menyedihkan sekali kupu-kupu itu, “ celetuk Hasyi sambil menggosok debu di toples yang membelenggu kebebasan mahluk bersayap itu.
“Apa maksudmu? Kupu-kupu itu terlihat semakin indah di dalam toples dan membuatku semakin bahagia setiap saat!” sahut Putri Hasya dengan agak sinis. Kupu-kupu itu mengeluarkan sayap cahaya api yang membuat toples itu bersinar seperti sebuah lentera.
“Apakah Tuan Putri tidak pernah memikirkan bagaimana rasanya menjadi kupu-kupu itu? Bagaimana rasanya jika dikurung di dalam toples seperti kupu-kupu itu tanpa bisa menentukan tujuan hidupnya sendiri?” tukas Hasyi.
“Ya, memang hidupku sama seperti hidup kupu-kupu di dalam toples itu. Aku tidak berhak menentukan sendiri semua keinginanku. Semua langkahku ditentukan oleh tanggung jawabku sebagai calon penerus takhta!” sergah Putri Hasya yang lalu menundukkan kepala. Ia selalu merasa hampa jiwa dan ingin terbang bebas.
“Mungkin jika Tuan Putri melepaskan kupu-kupu itu, hidup Putri juga akan lebih bisa merasakan kebebasan, seperti kupu-kupu itu yang akan terbang bebas,” ujar Hasyi.
Seketika itu Putri Hasyah menaikkan alis putihnya yang cukup tebal dan indah. “Aku tidak mau melepaskan kupu-kupunya, ini milikku! Memangnya apa yang bisa kau lakukan untuk merebut kupu-kupu ini dariku!?” tantang Putri Hasya seperti orang yang hendak berkelahi.
Hasyi sama-sekali tak bermaksud membuat ribut. Ia memilih untuk mengalah.
“Tapi saya akan melakukan apapun untuk Tuan Putri jika Putri Hasya mau melepaskan kupu-kupu itu,” pinta Hasyi bersimpuh di depan sepatu hak tinggi Putri Hasya.
“Apapun? Heheheh…” Putri Hasya tertawa licik. Ia pasti ingin mengerjai Hasyi seperti biasanya. Ketika Hasyi lengah, ia selalu mencakar punggung Hasyi hingga robek. Namun Hasyi telah menjadi lebih kuat daripada sebelumnya. Tidak seperti saat pertama kali bertemu dengan Putri Hasya, Hasyi mampu menggengam tangan Putri Hasya seperti menangkap bola basket dengan kepalan yang sangat kuat, mencegah Putri Hasya menyerangnya. Tangan Putri Hasya menjadi kesakitan, namun dia menahan rasa sakitnya. Ia tak ingin kelihatan lemah di depan Hasyi.
“Tuan Putri, saya mohon jangan sakiti saya seperti waktu itu, apa salah saya Putri. Saya minta maaf,” Hasyi kembali bersimpuh ketika Putri Hasya hampir menyerangnya, seakan Hasyi adalah orang lemah yang berada di depan pemangsa, meskipun mungkin Hasyi hampir sama kuatnya dengan Putri Hasya saat ini. Namun Hasyi tak akan mungkin menyerang majikannya sendiri.
Putri Hasya merasa menemukan lawan yang cukup tangguh untuk bersenang-senang.
“Baiklah mungkin aku akan melepaskan kupu-kupu itu namun dengan satu syarat!” Putri Hasya mengambil sebuah jarum suntik di sakunya melukai tangannya sendiri hingga keluar darah dan memasukan darahnya ke jarum suntik itu.
”Kemarikan tanganmu Hasyi!” Putri Hasya mengasah ujung jarum suntik itu dengan kuku harimaunya yang sangat tajam.
Hasyim memiliki trauma masa kecil dengan jarum suntik ketika ia melihat anak autis di panti asuhan tewas perlahan-lahan setelah disuntik vaksin. Itu sebabnya ia takut ketika Hasya mencoba menyuntikan jarum itu pada dirinya.
“Tidak mau saya benci suntikan, ibu saya sendiri saja tak mengizinkan saya disuntik vaksin imunisasi sembarangan, tubuh saya sangat sensitif karena memiliki daya tahan yang lemah, suntikan sembarangan dapat membuat saya sakit parah bahkan meninggal,” Hasyi menolak dengan sopan. Tapi tampaknya Putri Hasya tak akan berhenti memaksa.
“Ayolah Hasyi dengan darahku yang disuntikkan ini, aku hanya ingin membuatmu menjadi lebih kuat daripada diriku. Darahku tidak mengandung zat-zat berbahaya. Darahku ini sangat baik untuk kesehatanmu,” bujuk Putri Hasya dengan wajah setengah memelas tapi memaksa dan mengintimidasi.
“Apa untungnya Putri membuat saya menjadi lebih kuat? Saya mohon jangan,” Hasyi menangis sambil menggelengkan kepala berusaha menolak dengan sopan semampu yang ia bisa. Ia mundur perlahan-lahan hingga ia tersudut di tembok dekat pintu kamar Putri Hasya.
“Tentu saja untuk bersenang-senang, aku bebas melakukan semua yang kuinginkan di dunia ini!” jawab Putri Hasya santai dengan tatapan sinis.
Hasyi ingin berteriak namun ketakutannya membuatnya mati rasa untuk berteriak. Beberapa kali Hasyi mencoba menyerang Putri Hasya dengan bola api kecil yang keluar dari tangannya, namun semua itu tak mempan. Tubuh Putri Hasya tahan api.
Dengan mudah Putri Hasya menyuntik lengan kanan Hasyi sambil membuka lengan bujunya yang panjang hingga Hasyi meronta kesakitan. Namun bukan itu bagian terburuknya ketika disuntik ia langsung pingsan di tempat. Melihat Hasyi pingsan, Putri Hasya terlihat menyesal. Ia merasa dirinya sudah keterlaluan dalam becanda. Dahi Hasyi sangat panas setelah mendapatkan suntikan dari Putri Hasya.
***
Lanza mendapatkan kasus baru. Ia harus menyelidiki pembunuhan seorang wali kota padahal enam jam lagi wali kota seharusnya dijadwalkan untuk meresmikan ulang tahun ke-120 Kota Rumeli Hisari. Banyak yang menuduh jika wakil walikota-lah yang membunuh wali kota karena ingin menggantikan posisi atasannya. Mereka tengah menunggu petugas forensik.
Namun hingga saat ini Lanza belum menemukan bukti yang meyakinkan jika wakil wali kotalah yang membunuh wali kotanya sendiri. Sidik jari wakil wali kota sama sekali tak ditemukan di gagang pisau yang digunakan seseorang untuk membunuh wali kota di dalam kamarnya. Lagipula beberapa jam lalu wakil wali kota sedang keluar kota. Jadi tak mungkin ia membunuh wali kota ketika ia tidak sedang berada di kediaman wali kota. Si wakil wali kota punya alibi.
Namun bisa jadi ada skandal pembunuhan. Wakil wali kota tidak terlibat pembunuhan secara langsung karena bisa saja ia membayar beberapa orang dalam di kediaman wali kota untuk membunuh majikannya. Kini wakil wali kota masih menjadi tersangka dan semua alat komunikasi termasuk ponsel wakil wali kota sedang disita sebagai barang bukti. Namun wakil wali kota itu tetap harus meresmikan ulang tahun Kota Rumeli Hisari menggantikan wali kotanya. Tentu saja dengan pengawasan kepolisian yang amat ketat.
Menurut kesaksian seorang staf yang melihat pembunuhan dari jendela luar kamar, staf awalnya tidak curiga dengan orang misterius yang terlihat tengah mengotak-atik kipas angin wali kota. Mungkin saja orang yang mengotak-atik kipas angin itu hanya petugas yang sedang memperbaiki kipas angin. Apalagi orang itu memang terlihat mirip ajudan wali kota.
Kipas angin yang tergantung di atas atap kamar wali kota, bagian baling-balingnya diikat seseorang tak dikenal dengan sebuah benang pancing yang berseliweran dan di bagian bawah. Benang-benang itu diikat benda-benda tajam yang berputar dan dapat menyakiti siapa saja ketika dinyalakan. Di saat yang bersamaan, benang piano yang berputar itu menarik ranjang wali kota yang sedang tidur bersamanya hingga ranjang wali kota keluar jendela dan membuat wali kota tewas karena terjatuh dari lantai atas dengan kepala hancur.
Kamar wali kota telah ditutupi garis polisi berwarna kuning. Semua pelayan, staf, sekretaris, ajudan, dan orang-orang terdekatnya sedang diperiksa.
“Aku paham Pak Komisaris,” deputi Lanza mulai angkat suara.
Di kerajaan ini, komisaris jendral polisi yang dijabat Lanza adalah jabatan tertinggi polisi militer. Kantor polisi di setiap distrik kota yang berbeda dikepalai oleh seorang komisaris jenderal polisi. Di atasnya dipimpin langsung secara berturut-turut oleh komandan Janissary, Grand Vezir, dan kekuasaan tertinggi kepemimpinan polisi Janissary dipegang oleh raja.
Deputi pun melanjutkan, ”Mula-mula patung hiasan pintu kamarnya sebagai beban diikaitkan skrup yang dilonggarkan kemudian diikat dan diselipkan di teralis yang patah di kamarnya. Pelaku menyambungkannya dengan kawat piano yang dikaitkan ranjang wali kota. Selanjutnya tinggal menjatuhkan patung itu ke bawah. Ranjang wali kota akhirnya terangkat karena tertarik oleh patung yang telah diikat ke jendela atas sehingga wali kota terlontar ke keluar jendela dan terjatuh hingga kepalanya terbentur halaman kediamannya. Pertanyaanya adalah siapa yang menjatuhkan patung itu dan membunuh wali kota? Tak mungkin orang menyerangnya dari bawah karena di bawah balkonnya ada sepuluh lantai tak mungkin ditarik dari bawah yang sangat sulit dijangkau siapapun.” Deputi itu menghela napas. “Artinya pelakunya adalah orang yang selalu bersama wali kota sendiri di lantai atas. Kemungkinan pelakunya adalah ajudan wali kota itu sendiri karena hanya dialah yang memiliki tenaga cukup besar untuk menjatuhkan patungnya ke bawah…” deputi itu berbisik ke telinga Lanza karena ajudan itu sedang berjaga di belakang kamar.
“Tidak, menurutku orang yang tak bertenaga pun mampu menjatuhkannya dengan alat sabotase yang membuat kipas angin manual itu dapat dikendalikan otomatis dari jarak jauh. Ini bukan pembunuhan biasa, ini adalah aksi terorisme. Hanya Tanduk Berlian yang memiliki alat sabotase peralatan rumah tangga seperti itu. Aku sudah mempelajari semua alat sabotase mereka. Asalkan kawat piano yang menghubungkan patung dan ranjang dilonggarkan, berat ranjang tak akan berpengaruh waktu ditarik sehingga mudah dijatuhkan. Pasti si pelaku berniat menjatuhkannya ke bawah balkon bersama ranjangnya. Tapi ranjang itu tersangkut di jendela atas hingga hanya wali kotalah yang terlontar bersama patungnya dan ranjangnya tersangkut di balkon.”
Lanza menghirup tembakaunya. “Setelah itu, kawat piano putus karena berat patung, ranjang pun jatuh di balkon kamar, sedangkan patungnya menimpa wali kota. Ada sebuah goresan tipis dipatung kan? Itu mungkin muncul karena digoreskan kawat piano yang putus.”
Posting Komentar