Dengan tersenyum, Hasyi mulai mengelus-elus rambut ungu anak kecil itu yang terasa sangat halus dan nyaman di telapak tangannya. Anak kecil itu masih berusaha menahan tangisannya.

“Kau punya iris mata dan rambut yang sangat indah. Kau tak perlu sedih dengan kekuranganmu karena di balik semua kekuranganmu, kau adalah manusia bunga yang sangat tampan. Kau tak perlu menjadi apa yang diinginkan orang lain, jadilah dirimu sendiri apa adanya,” kata Hasyi berusaha membangkitkan senyum dari wajah anak kecil itu.

Di sisi lain, ia mencoba menghibur dirinya sendiri dari ingatannya tentang hinaan orang lain. Hasyi masih menyimpan dendam begitu mendalam kepada orang-orang yang selalu mengucilkannya.

“Kak, kenapa kakak gak terpengaruh sama aroma bau busukku ini? Apakah kakak tak dapat mencium aroma tubuhku ini?” tanya anak kecil laki-laki itu mengedipkan bola mata ungunya yang sangat indah bagaikan batu permata.

“Kakak juga tak tahu mengapa kakak tidak merasakan aroma bau busukmu. Mungkin itu sebuah keajaiban,” Hasyi memang tak dapat mencium aroma bau busuk anak kecil itu.

Hasyi mulai merasa jika anak kecil laki-laki yang sedang berbicara dengannya hanyalah teman khayalannya lagi. Namun kali ini Hasyi tidak bisa membohongi dirinya sendiri dengan mengatakan kalau anak kecil itu hanyalah salah satu dari teman khayalannya. Tidak seperti teman khayalan yang sering Hasyi ciptakan, kali ini Hasyi bisa menyentuh anak kecil itu. Ia pun yakin anak kecil yang sedang diajaknya berbicara kali ini memang benar-benar nyata.

“Oh iya, perkenalkan nama kakak, Hasyi. Nama kamu siapa?” tanya Hasyi.

“Namaku Raflesianz.”

“Nama yang sangat indah. Apakah kamu mau mendengarkan dongeng? ” tanya Hasyi melebarkan matanya berusaha memperlihatkan wajah ceria pada Raflesianz.

Setelah selesai membersihkan luka di lutut Raflesianz, Hasyi pun duduk di kursi halte bus dan meminta Raflesianz ikut duduk di sebelahnya. Sambil mengangguk Raflesianz segera duduk mendekati Hasyi. Bahu mereka saling merapat.

Raflesianz mulai mendengarkan setiap kata-kata Hasyi dengan seksama.

“Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang gadis kecil cantik di kerajaan ini, namun pada suatu hari ada seorang penyihir jahat yang iri dengan kecantikan gadis kecil itu,”  tutur Hasyi sambil menggerak-gerakan tangannya mencoba mengilustrasikan dongeng yang sedang ia ceritakan pada Raflesianz.

Mendengar kata ‘penyihir jahat’ membuat wajah Raflesianz tampak tak senang. Rambut dan iris matanya yang tadinya berwarna ungu terang berubah menjadi ungu gelap seperti kebanyakan anak kecil seusianya. Ia seperti semua anak kecil seumurannya yang tahu bagian terburuk dari cerita dongeng baru saja dimulai.

Setelah beberapa kali bersin karena udara di halte bus itu sangat dingin, Hasyi menelan ludah dan lalu meneruskan ceritanya kembali. “Penyihir itu berkata, ‘Dia adalah gadis yang sangat cantik bagaimana jika aku menyihirnya dan menertawakan penderitaannya?’ Seketika  penyihir jahat itu mengubah wajah gadis kecil itu menjadi semerah darah,” Hasyi menggerakkan jari telunjuknya seakan sedang membaca mantra sihir. Sesaat Hasyi terdiam.

“Kemudian apa yang terjadi, Kak?” tanya Raflesianz mulai antusias mendengarkan cerita yang dibawakan Hasyi.

“Dia merasakan semua yang kau rasakan Raflesianz,” jawab Hasyi tanpa senyuman sedikitpun di wajahnya sambil menatap Raflesianz dengan tajam. Raflesianz terdiam sejenak kebingungan dengan jawaban yang diberikan oleh Hasyi.

Dalam batinnya, Hasyi tersenyum. Sesekali manusia harus merasa kehilangan kendali dalam hidup. Selama ini manusia merasa hidup dikendalikan oleh takdir sepenuhnya, dan membuatnya merasa tak berdaya. Padahal manusia dilahirkan untuk menentukan takdir dan jalan hidupnya sendiri, dan bukan ditentukan oleh hal-hal yang selalu didorong oleh dunia atau orang-orang di sekitarnya.

“Karena wajah merahnya yang terlihat seperti iblis itu semua orang di sekelilingnya mulai menjauhi dan mengintimidasi gadis itu. Mereka menganggap gadis itu dapat menularkan penyakit pada mereka,” ujar Hasyi tertawa dengan membuka mulutnya selebar yang ia bisa, sampai membuat ekspresi wajahnya menjadi agak menakutkan bagi Raflesianz.

“Gadis berwajah merah itu pun berkata, ‘Jika aku dapat memiliki satu permintaan dalam seumur hidupku aku hanya menginginkan seorang teman yang setia.’ Tentu saja doa gadis berwajah tulus dan sederhana itu terkabul. Saat gadis berwajah merah itu sedang diganggu oleh anak-anak lain di sekitarnya, seperti dirimu, ada seorang anak laki-laki buta yang membela gadis berwajah darah itu. Anak laki-laki buta itu meminta orang-orang yang gemar mengganggu gadis berwajah darah untuk menjauhinya dan tak pernah mengganggu si gadis buruk rupa itu lagi. Sejak saat itulah anak laki-laki buta dan gadis berwajah darah itu itu mulai berteman baik. Bahkan anak laki-laki buta itu sering memberikan obat kepada gadis berwajah darah itu, meskipun ia tidak pernah melihat penyakitnya.”

Mata Raflesianz mulai berbinar dan bercahaya mendengar kalimat terakhir yang ia dengar dari mulut Hasyi.

“Tapi sayangnya, penyihir jahat itu tidak membiarkan gadis berwajah darah hidup bahagia begitu saja. Penyihir jahat itu membuat mata anak laki-laki yang buta itu dapat melihat kembali. Penyihir jahat berharap anak laki-laki buta itu dapat melihat wajah gadis berwajah darah itu dengan perasaan jijik dan menjauhinya. Penyihir jahat itu ingin si gadis berwajah darah itu tetap bersedih dan merasakan kesepian seperti sedia kala.” Hasyi lalu menirukan suara cekikikan dengan tatapan dan tawa mengerikan seolah-olah ia sedang menjadi penyihir jahat.

“Tetapi upaya penyihir jahat itu sia-sia. Meskipun anak laki-laki buta itu dapat melihat kembali, ia tetap tidak menjauhi si gadis berwajah darah itu saat melihat wajahnya yang mengerikan seperti iblis. Anak laki-laki buta itu tetap menerima gadis berwajah darah itu apa adanya tanpa sedikitpun takut tertular penyakit yang diderita gadis itu. Karena hanya gadis buruk rupa itulah yang selalu mau menemani anak laki-laki buta itu tanpa melihat keadaan fisiknya. Maka seketika itu kutukan yang diberikan penyihir jahat itu lenyap dan wajah gadis buruk rupa itu kembali cantik seperti sedia kala.” Usai bertutur, Hasyi tersenyum sambil mengelus-elus kepala Raflesianz.

Meskipun menurut Hasyi dongeng yang ia ceritakan agak tidak masuk akal karena di awal cerita Hasyi tidak memberitahu Raflesianz bagaimana cara gadis buruk rupa itu dapat mematahkan kutukannya, tapi nampaknya Raflesianz tidak memedulikan cerita itu masuk akal atau tidak. Ia tetap senang mendengarkan cerita yang dibawakan oleh Hasyi.

“Jadi intinya meskipun banyak orang yang membencimu kau harus selalu percaya tetap akan ada orang yang menyayangimu. Mereka adalah rumahmu kau dapat kembali pada mereka kapanpun kau membutuhkannya. Entah orang yang menyayangimu itu teman atau keluargamu, yang jelas dengan semua itu, dunia tak akan menjadi semengerikan yang kita kira. Begitupun sebaliknya, saat ada banyak orang yang menyukaimu tetap akan ada orang yang iri dan membencimu.” Itulah amanat cerita yang dituturkan Hasyi di akhir ceritanya. Meskipun ia seringkali kesulitan menerapkan amanat cerita itu dalam hidupnya sendiri, tapi ia kini justru menasihati orang lain.

Hasyi tetap berusaha tersenyum bahagia di depan orang-orang yang selalu mengganggunya untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia ingin orang-orang yang sering mengganggunya merasa kecewa karena ternyata tak ada gunanya mengganggu dirinya yang tetap tersenyum. Hasyi selalu bertanya-tanya mengapa ia harus tetap bertahan hidup di dunia yang menyedihkan ini? Tetapi setiap hari selalu ada hal yang membuatnya ingin tetap bertahan hidup.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama