Di tengah malam yang kelam, langit Rafah dipenuhi awan hitam pekat yang berkilat oleh petir. Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin dekat. Tiba-tiba, sebuah getaran dahsyat mengguncang tanah, diikuti oleh suara ledakan besar. 

Di tengah kota, dekat reruntuhan sebuah percobaan nuklir yang gagal, tanah terbelah dan dari celah itu muncul makhluk raksasa yang mengerikan, Kaiju.

Kaiju ini dinamakan Al-Ghul, sesuai dengan legenda setempat tentang makhluk malam yang menakutkan. Al-Ghul memiliki tinggi lebih dari 100 meter, dengan kulit bersisik tebal berwarna hijau tua yang memancarkan cahaya radioaktif. 

Matanya bersinar merah menyala, memberikan kesan mengintimidasi. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar, menghancurkan bangunan di sekitarnya. Dari mulutnya keluar asap beracun yang menghanguskan segala sesuatu yang dilewatinya. Suara raungannya menembus langit malam, menggema di seluruh kota, menebarkan ketakutan yang mendalam di hati setiap orang.

Al-Ghul muncul sebagai hasil dari percobaan nuklir yang gagal dilakukan oleh Pemerintah Israel dilLokasi percobaan nuklir dekat perbatasan Jalur Gaza, Palestina,.yang padat penduduk. Radiasi dan energi yang tidak terkendali dari percobaan tersebut menyebabkan mutasi besar-besaran, menciptakan monster raksasa ini.

Sebagai makhluk yang lahir dari radiasi dan kehancuran, Al-Ghul tidak memiliki motivasi selain insting dasarnya untuk menghancurkan dan menyebabkan kerusakan. Setiap langkahnya membawa kehancuran bagi wilayah sekitarnya, menciptakan kepanikan dan ketakutan di mana pun ia berada.

Dengan penampilan dan kekuatan seperti ini, Al-Ghul menjadi ancaman yang sangat besar bagi wilayah Rafah dan sekitarnya, menantang Sang Penjaga Timur untuk melindungi tanah airnya dari ancaman yang hampir tak terkalahkan ini.

Kepala Al-Ghul mirip dengan naga tapi dengan tanduk banteng dengan rahang yang kuat dan gigi tajam yang berkilauan. Matanya berwarna merah menyala, penuh kebencian dan kekuatan destruktif. Sepasang tanduk melengkung keluar dari kepalanya, menambah kesan seram. 

Kepala Al-Ghul mirip dengan naga dengan rahang yang kuat dan gigi tajam yang berkilauan. Matanya berwarna merah menyala, penuh kebencian dan kekuatan destruktif. Sepasang tanduk melengkung keluar dari kepalanya, menambah kesan seram.
 
Tangan dan kakinya besar dengan cakar tajam yang mampu merobek beton dan baja dengan mudah. Jari-jarinya panjang dan kuat, ideal untuk mencengkeram dan menghancurkan.

Al-Ghul memiliki ekor panjang yang dilapisi duri tajam. Ekor ini tidak hanya berfungsi untuk menjaga keseimbangan tetapi juga sebagai senjata mematikan yang bisa menghancurkan apa saja yang disentuhnya. Kulitnya bersisik tebal, hampir tidak bisa ditembus oleh senjata biasa. Sisik-sisik ini juga mengeluarkan racun dan radiasi yang mematikan.

Al-Ghul dapat mengeluarkan napalm radioaktif dari mulutnya, yang membakar dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Asap dari napalm ini juga beracun, menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada lingkungan sekitarnya.
 
Luka yang diterima Al-Ghul dapat sembuh dengan sangat cepat, membuatnya sulit untuk dikalahkan.
Al-Ghul memiliki kemampuan untuk menyemburkan energi nuklir yang kuat dari mulutnya, mirip dengan semburan api dari naga. Energi ini bisa menghancurkan bangunan dan meledakkan struktur besar.
Raungannya sangat keras dan menakutkan, mampu menyebabkan gelombang kejut yang bisa merobohkan bangunan di sekitarnya dan membuat orang-orang menjadi panik dan kehilangan keseimbangan.

Rakyat Palestina yang setiap hari selama puluhan tahun menderita dibawah penjajahan Israel, kini semakun menderita dengan kemunculan Kaiju Al-Ghul.

 
***

Di televisi, Pemerintah Israel dibawah Perdana Mentri Benyamin Netanyahu menolak bertanggung jawab atas kemunculan Kaiju Al Ghul yang menyerang Kota Rafah di selatan Jalur Gaza,

Dialog Berita Televisi:

Pembawa Acara: "Kami kembali dengan berita terbaru mengenai kemunculan Kaiju Al-Ghul yang menghancurkan wilayah Rafah. Pemerintah Israel, yang dipimpin oleh Benyamin Netanyahu, baru saja mengeluarkan pernyataan resmi."

Layar berganti ke konferensi pers, Benyamin Netanyahu berbicara di podium.

Benyamin Netanyahu: "Kami ingin menegaskan bahwa pemerintah Israel tidak bertanggung jawab atas kemunculan Kaiju Al-Ghul. Ini adalah masalah teknis yang tidak terduga. Percobaan nuklir yang kami lakukan di perbatasan tidak ada hubungannya dengan kejadian ini."

Layar kembali ke studio, Pembawa Acara berbicara.

Pembawa Acara: "Namun, beberapa pakar telah mengkritik percobaan nuklir yang dilakukan di dekat wilayah perbatasan Palestina yang padat penduduk. Mereka menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran kemanusiaan yang jelas."

Pakar 1: "Percobaan nuklir di wilayah yang begitu padat penduduk sangat berisiko dan tidak bertanggung jawab. Ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga menempatkan ribuan nyawa dalam bahaya."

Pembawa Acara: "Kita akan terus mengawal perkembangan berita ini. Tetap bersama kami untuk informasi lebih lanjut.

***
 
Rafah, meskipun berada di tengah konflik, adalah kota yang penuh dengan kehidupan dan sejarah. Jalan-jalannya sempit dan berliku, dipenuhi dengan pasar yang ramai, di mana para pedagang menjajakan barang-barang dari rempah-rempah hingga kain sutra. Bangunan-bangunan bergaya tradisional berdiri berdampingan dengan struktur modern yang terbuat dari beton dan kaca. Di tengah kota, terdapat Masjid Agung dengan menara yang menjulang tinggi, menjadi simbol keimanan dan keteguhan masyarakat.

Setiap sudut kota memiliki ceritanya sendiri. Di bagian barat, terdapat taman kota yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak untuk bermain dan keluarga untuk bersantai. Di bagian timur, terdapat sisa-sisa reruntuhan sejarah yang mengingatkan warga pada masa lalu yang penuh perjuangan.

Kota Rafah memiliki seorang gadis ramaja yang merupakan ilmuwan kebanggaan Palestina, dia adalah Layla Al-Mansour. Layla adalah seorang ahli fisika dan insinyur dari Rafah, Palestina. Layla lahir dan dibesarkan dalam kondisi sulit di tengah konflik. Namun, kecerdasannya yang luar biasa dalam sains dan teknik robotika membawanya meraih beasiswa internasional untuk belajar di luar negeri. Setelah menyelesaikan studinya dengan gemilang, Layla kembali ke Palestina dengan tujuan menggunakan pengetahuannya untuk kebaikan tanah airnya.

Layla mendapatkan beasiswa dari sebuah yayasan internasional bernama Minerva Schoolarship yang berfokus pada pendidikan anak-anak berbakat di wilayah konflik. Ini memungkinkan Layla untuk berkuliah di sebuah universitas terkemuka di luar negeri. Layla  pergi ke Universitas Borneo di IKN, Ibukota Indonesia, salah satu Universitas terbaik di dunia di mana Layla mengambil jurusan fisika dan teknik robotika. Selama masa kuliahnya, Layla terlibat dalam penelitian energi terbarukan dan teknologi bersih, mendapatkan banyak penghargaan atas penelitiannya.

Langit sore di Rafah berubah menjadi kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas kota yang damai. Layla sedang berada di pusat kendali, memeriksa peralatan dan persenjataan yang siap digunakan jika keadaan darurat terjadi. Tiba-tiba, suara sirene tanda bahaya memecah keheningan, membuat jantung Layla berdegup kencang.

"Layla, ada sesuatu yang besar menuju kota kita!" seru salah satu teknisi dengan wajah panik di layar monitor.

Layla segera berlari ke arah jendela besar di pusat kendali. Di kejauhan, dia melihat gelombang kejut besar yang menghantam tanah, mengguncang seluruh kota. Asap dan debu mengepul, membentuk bayangan raksasa yang perlahan mulai terlihat jelas.

Sosok itu semakin mendekat, menampakkan tubuh raksasa dengan sisik hijau tua yang mengeluarkan cahaya radioaktif. Matanya yang merah menyala penuh dengan kebencian, dan suara raungannya menggema di seluruh kota, membuat tanah bergetar.

"Mahluk apa itu?" gumam Layla dengan suara terkejut, matanya membelalak saat melihat Kaiju Al-Ghul untuk pertama kalinya.

***
 
Layla sedang mempersiapkan armor Sang Penjaga Timur di ruang kerjanya, suara-suara bising dari alat-alat yang dia gunakan memenuhi ruangan. Hatinya penuh dengan tekad, tetapi bayangan masa lalu dan ketakutan masa depan menyelip di sudut pikirannya. Pintu terbuka pelan, dan sosok ibunya, Mariam, muncul di ambang pintu dengan wajah yang penuh kecemasan.

"Layla, tolong hentikan ini. Jangan pergi melawan Kaiju itu. Aku tidak bisa kehilanganmu juga," kata Mariam dengan suara yang gemetar, air mata mengalir di pipinya.

Layla menoleh, menatap ibunya dengan mata yang penuh dengan campuran tekad dan kesedihan. "Ibu, aku harus melakukannya. Al-Ghul menghancurkan kota kita. Hanya aku yang punya kemampuan untuk menghentikannya."

Mariam mendekat, suaranya semakin parau. "Aku sudah kehilangan ayahmu, Layla. Dia tewas dalam serangan Israel. Aku tidak bisa hidup kalau harus kehilanganmu juga."

Layla berhenti sejenak, meletakkan alat yang ada di tangannya dan mendekati ibunya. Dia menggenggam tangan Mariam dengan lembut. "Aku mengerti, Ibu. Kehilangan Ayah adalah luka yang tidak pernah sembuh. Tapi justru karena itu, aku harus bertindak. Aku tidak bisa diam dan melihat lebih banyak orang yang kita sayangi terluka atau terbunuh."

Mariam menggenggam tangan Layla lebih erat, matanya penuh dengan ketakutan yang mendalam. "Tapi Layla, kau satu-satunya yang kumiliki sekarang. Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi berhadapan dengan monster itu sendirian?"

Layla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya dan ibunya. "Ibu, aku sudah mempersiapkan diri untuk ini. Aku tidak akan sendirian. Aku punya armor ini dan pengetahuan yang Ayah dan para ilmuwan ajarkan padaku. Aku akan melakukan segalanya untuk kembali dengan selamat."

Air mata mulai mengalir deras di pipi Mariam. Dia memeluk Layla erat-erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya. "Layla, aku bangga padamu. Kau selalu berani dan cerdas. Tapi janji padaku, kau akan kembali. Jangan biarkan aku kehilanganmu juga."

Layla membalas pelukan ibunya, merasakan kehangatan dan kekuatan dari cinta ibunya. "Aku berjanji, Ibu. Aku akan kembali. Dan aku akan memastikan Al-Ghul tidak akan pernah lagi mengancam kita atau siapa pun."

Mariam memeluk Layla dengan erat, air matanya bercampur dengan doa-doa yang tidak terucap. "Pergilah, anakku. Selamatkan kota kita. Ayahmu akan bangga padamu, dan aku juga."

Layla mengambil langkah mundur, matanya penuh dengan tekad. "Terima kasih, Ibu. Aku akan kembali."

Dengan langkah mantap, Layla mengenakan armor Sang Penjaga Timur, siap untuk menghadapi ancaman yang menghancurkan. Dia melangkah keluar rumah, meninggalkan Mariam yang berdoa dengan khusyuk, memohon keselamatan untuk putrinya.

Layla menatap ke langit malam yang penuh dengan bintang-bintang, mengambil napas dalam-dalam. "Untuk Ayah, untuk Ibu, dan untuk semua orang yang aku sayangi. Aku akan kembali." Dengan tekad yang bulat, dia berangkat untuk menghadapi Al-Ghul, siap untuk melindungi tanah airnya dari ancaman yang hampir tak terkalahkan.


***

Pernah suatu ketika Layla duduk sendirian di ruang kerjanya, armor Sang Penjaga Timur bersinar lembut di sudut ruangan. Dia menatap alat-alat yang berserakan di mejanya, pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Tangannya tanpa sadar mengelus lencana kecil yang tergantung di lehernya, sebuah kenang-kenangan dari ayahnya. Ingatan yang selama ini dia pendam mulai kembali muncul ke permukaan.

Suasana sore di Rafah terasa hangat dan penuh keakraban. Layla kecil berlari-lari di halaman rumah, mengejar layang-layang yang diterbangkan oleh ayahnya, Hasan. Hasan adalah seorang ilmuwan yang cerdas dan penuh kasih sayang, selalu meluangkan waktu untuk bermain dan berbagi pengetahuan dengan putri tercintanya.

"Layla, lihat! Layang-layangmu terbang tinggi sekali!" seru Hasan sambil tersenyum lebar.

Layla tertawa riang, matanya berbinar-binar penuh kebahagiaan. "Ayah, aku bisa terbangkan lebih tinggi lagi!"

Hasan tertawa kecil dan mengangguk. "Tentu bisa, Layla. Kau anak yang hebat."

Namun, kebahagiaan sore itu tiba-tiba terputus oleh suara sirene yang memekakkan telinga. Langit yang tadi cerah berubah menjadi kelam oleh asap tebal. Serangan udara Israel datang tanpa peringatan, menjatuhkan bom di sekitar kota. Hasan segera meraih Layla dan membawanya ke tempat perlindungan terdekat.

"Layla, jangan takut. Ayah ada di sini," kata Hasan dengan suara tenang, meski ketakutan tergambar jelas di matanya.

Di tempat perlindungan, mereka berdesakan dengan keluarga lain, suara ledakan dan gemuruh menghancurkan ketenangan mereka. Hasan memeluk Layla erat-erat, melindunginya dengan tubuhnya. Namun, sebuah ledakan besar terjadi di dekat tempat perlindungan, menghancurkan dinding dan menyebabkan puing-puing berjatuhan.

Saat debu mulai mengendap, Layla merasakan sesuatu yang hangat dan lengket di pipinya. Dia menoleh dan melihat ayahnya terbaring di tanah, tubuhnya terluka parah. Napas Hasan terdengar berat, namun dia tetap berusaha tersenyum pada putrinya.

"Ayah...?" Layla menangis, suaranya tercekat oleh ketakutan dan kesedihan.

Hasan mengelus rambut Layla dengan lembut, matanya mulai kehilangan fokus. "Layla, kau harus kuat. Ingat semua yang ayah ajarkan padamu. Kau adalah harapan kita..."

Dengan kata-kata terakhir itu, Hasan mengembuskan napas terakhirnya. Layla menangis histeris, mengguncang tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa, berharap keajaiban bisa membangunkannya.

***

Air mata mengalir di pipi Layla saat ingatan itu kembali menghantuinya. Hatinya terasa hancur setiap kali mengenang saat-saat terakhir bersama ayahnya. Dia menyeka air matanya dengan cepat, mencoba menguatkan dirinya.

"Ayah, aku akan melanjutkan perjuanganmu. Aku akan melindungi orang-orang yang kita sayangi," bisik Layla pada dirinya sendiri.

Dengan tekad yang semakin kuat, Layla bangkit dari kursinya dan menuju armor Sang Penjaga Timur. Dia mengenakan armor itu, merasakan kekuatan dan tanggung jawab yang dibawanya. Layla tahu bahwa apa yang akan dia hadapi sangat berbahaya, tapi demi kenangan ayahnya dan masa depan tanah airnya, dia siap untuk bertarung.

"Untuk Ayah, untuk Ibu, dan untuk Rafah," kata Layla dengan suara tegas. Dengan itu, dia melangkah keluar, siap menghadapi Kaiju Al-Ghul dan melindungi tanah airnya dari kehancuran.

***
 
Dia segera mengaktifkan armor Sang Penjaga Timur, menyiapkan dirinya untuk pertempuran yang belum pernah dia bayangkan. Dengan cepat, Layla mengenakan helm dan merasakan energi dari armor menyatu dengan tubuhnya, memberinya kekuatan dan keberanian yang dibutuhkan. 

Dengan armor yang dilengkapi berbagai senjata canggih seperti laser energi, perisai elektromagnetik, dan pelontar misil, Layla berubah menjadi Sang Penjaga Timur. 

Armor dengan warna perak dengan aksen hijau dan merah, mencerminkan bendera Palestina. Dilengkapi dengan berbagai senjata canggih dan perisai energi.

Topeng menutupi sebagian wajahnya, memberikan identitas misterius dan melindunginya dari serangan langsung. Sebuah lambang Timur di dada, melambangkan kekuatan dan tekad untuk melindungi tanah air.

Saat Layla melangkah keluar dari pusat kendali, Al-Ghul sudah mencapai pinggiran kota, menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. Bangunan runtuh, jalanan retak, dan ledakan terdengar di mana-mana. Layla berdiri tegak, menatap makhluk raksasa itu dengan campuran ketakutan dan keberanian.

Pertarungan dengan Al-Ghul berlangsung di tengah kota yang penuh dengan bangunan dan struktur bersejarah. Setiap langkah Al-Ghul menghancurkan jalan-jalan dan bangunan, menciptakan pemandangan kehancuran yang menakutkan.

"Al-Ghul... Jadi inilah yang kita hadapi," katanya dengan suara tegas, meskipun hatinya berdebar kencang.

Al-Ghul menyemburkan napalm radioaktif, memusnahkan apa pun yang berada di jalurnya. Layla menghindar dengan cepat, menggunakan perisai energinya untuk melindungi diri dari serangan mematikan itu. Tanpa menunda lagi, dia meluncurkan proyektil energi dari tangannya, menghantam tubuh Kaiju dengan kekuatan penuh.

Namun, serangan itu hanya membuat Al-Ghul semakin marah. Makhluk itu mengeluarkan semburan energi nuklir yang lebih kuat, mencoba menghancurkan Layla. Dengan kecepatan dan kelincahan, Layla bergerak menghindar, mencari celah untuk menyerang balik.

"Kau tidak akan menghancurkan kotaku!" teriak Layla dengan tekad yang membara dan  suara yang penuh keberanian. "Al-Ghul, kau tidak akan menghancurkan Rafah lagi!"

Pertempuran antara Layla dan Al-Ghul pun dimulai, dengan kedua belah pihak menunjukkan kekuatan dan keberanian yang luar biasa. Layla tahu bahwa ini adalah ujian terbesar yang pernah dia hadapi, namun demi melindungi orang-orang yang dia cintai, dia siap menghadapi segala ancaman. Dengan setiap serangan yang dilancarkan, dia bertekad untuk menghentikan makhluk raksasa ini, memastikan Rafah tetap aman dari kehancuran

Layla menggunakan kekuatannya untuk menghindari serangan mematikan dari Al-Ghul, sambil melancarkan serangan balasan yang strategis. Dia memanipulasi energi nuklir yang dihasilkan oleh Al-Ghul, mengubahnya menjadi senjata yang bisa dia kendalikan. Penduduk Rafah, meskipun ketakutan, memberikan dukungan moril dan logistik. Mereka membantu Layla dengan informasi penting dan bantuan medis bagi yang terluka. Kerjasama antara Layla dan penduduk lokal menjadi kunci untuk mengalahkan Kaiju.

Kaiju itu menanggapi dengan menyemburkan napalm radioaktif dari mulutnya, mengejar Layla yang bergerak cepat untuk menghindar. Bangunan-bangunan di sekitarnya hancur berantakan, api dan asap menggulung langit malam. Layla menggunakan perisai energinya untuk melindungi dirinya dari serangan napalm, sambil berusaha mencari celah untuk melawan balik.

Dengan mantap, Layla meluncurkan serangan dengan senjata energi dari tangan kanannya, menembakkan proyektil bercahaya yang menghantam tubuh Kaiju dengan kekuatan dahsyat. Namun, serangan itu hanya membuat Kaiju semakin marah, membuatnya mengeluarkan semburan energi nuklir yang menghancurkan segala yang ada di sekitarnya.

Layla melihat dirinya terpojok, namun dia tidak menyerah. Dengan kecepatan kilat, dia menggunakan keahliannya dalam bertarung dan manuver, menghindari serangan Kaiju dan mencari peluang untuk melawan balik. Dia menggabungkan kekuatan fisiknya dengan teknologi canggih dari armor Sang Penjaga Timur, menciptakan kombinasi serangan yang mematikan.

Setiap serangan yang dilancarkan oleh Layla membuat Kaiju terdesak, namun monster itu tidak mudah dikalahkan. Al-Ghul terus melancarkan serangan mematikan, mencoba untuk menghabisi lawannya. Namun, Layla tidak mundur, dia melawan dengan gigih, mengambil inspirasi dari tekadnya untuk melindungi tanah air dan kenangan ayahnya.

Dalam momen kritis, Layla menggunakan pengetahuannya tentang energi nuklir untuk menciptakan sebuah perangkap yang bisa menghentikan Kaiju. Dengan perhitungan yang cepat, dia meluncurkan serangan terakhirnya, menyerang inti energi Kaiju dengan kekuatan penuh.

Detik-detik terakhir itu terasa seperti abad bagi Layla, namun saat akhirnya serangan itu mencapai sasaran, terjadi ledakan besar yang menyilaukan mata. Ketika debu dan asap mulai berhamburan, Layla melihat dengan lega bahwa Al-Ghul telah dikalahkan, tubuhnya hancur menjadi serpihan.

Dengan napas tersengal-sengal, Layla melangkah maju dari reruntuhan, menatap langit yang kembali cerah. Dia tahu bahwa pertarungan itu belum berakhir, tetapi dia juga tahu bahwa dia telah menunjukkan keberanian dan keteguhan yang tak tergoyahkan. Dengan tekad yang kuat, Layla bersiap untuk pertempuran berikutnya, siap untuk melindungi tanah air dan orang-orang yang dicintainya dari segala ancaman yang akan datang.

Dengan kombinasi kekuatan fisik, teknologi canggih, dan strategi yang cerdas, Sang Penjaga Timur akhirnya berhasil mengalahkan Al-Ghul. Layla menggunakan kemampuan pengendalian energinya untuk menghancurkan inti energi Al-Ghul, menyebabkan makhluk itu meledak dan hancur menjadi debu. Kemenangan ini menjadi simbol perlawanan dan keteguhan rakyat Palestina.


***

Angin malam membawa aroma kehangatan dan harapan, menerobos jendela yang retak di ruang tamu rumah keluarga Al-Mansour. Mariam duduk di sofa, hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terhingga. Dia menatap keluar jendela, berdoa dengan penuh harapan untuk keselamatan putrinya, Layla, yang telah menghadapi bahaya besar.

Seketika, suara langkah yang lembut menghentikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia menoleh dengan cepat, matanya berkaca-kaca ketika melihat siluet yang akrab. Ketika pintu terbuka, Layla melangkah masuk, tubuhnya dipenuhi dengan luka kecil namun wajahnya berseri-seri dengan keberanian yang menginspirasi.

"Mama..." bisik Layla dengan suara yang lembut namun penuh makna.

Mariam berdiri dengan ragu, tidak percaya pada mata dan telinganya sendiri. Air mata mulai mengalir, tetapi kali ini adalah air mata kebahagiaan yang membanjiri pipinya.

"Layla... Layla, putriku!" serunya dengan suara yang penuh dengan kelegaan.

Dengan langkah gontai, Mariam berlari mendekati Layla dan memeluknya dengan erat-erat. Dia merasakan kehangatan tubuh putrinya, memastikan bahwa dia nyata, hidup, dan selamat.

"Layla, oh Layla, aku tidak percaya kau masih hidup," bisik Mariam sambil memeluk Layla dengan erat, air mata mereka bercampur dalam pelukan yang penuh kasih sayang.

Layla membalas pelukan ibunya dengan hangat, merasakan cinta dan kebahagiaan dari pelukan itu. "Maafkan aku, Mama. Aku berjanji akan selalu kembali padamu."

Mariam mengelus rambut Layla dengan lembut, mencium dahinya dengan penuh kasih sayang. "Tidak apa-apa, sayangku. Yang penting kau disini sekarang."

Dalam momen itu, mereka merasakan kekuatan dari ikatan ibu dan anak yang tak tergoyahkan, melebihi segala rintangan yang mereka hadapi. Mata mereka bertemu dalam kebahagiaan yang tulus, bersyukur bahwa mereka masih bersama, siap menghadapi masa depan yang belum terungkap bersama-sama.








Post a Comment

Lebih baru Lebih lama