Rata-Rata Upah Pekerja Berdasarkan Gender 2018-2019.

Pada Januari 2018, Jordan Peterson, seorang Psikolog Klinis dari Kanada membahas kesenjangan upah gender dalam wawancaranya dengan Cathy Newman dari Channel 4 News, yang telah ditonton lebih dari tujuh juta kali secara online. Dalam wawancara tersebut, ia berpendapat bahwa kesenjangan upah berdasarkan gender sebagian besar mencerminkan perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan, yang dijelaskan melalui Lima Besar ciri kepribadian Perempuan: keterbukaan terhadap pengalaman, kesadaran, ekstraversi, keramahan, dan neurotisisme.

Peterson menjelaskan kepada Newman bahwa analisis multivariat tentang kesenjangan upah gender menunjukkan bahwa prasangka hanyalah salah satu faktor kecil dalam kesenjangan tersebut, faktor yang lebih kecil dari “klaim kaum feminis”. Maksudnya, Jordan Peterson Berpendapat jika diskriminasi gender yang secara sengaja dilakukan laki laki pengaruhnya lebih kecil terhadap kesenjangan upah gender antara laki laki dan perempuan dibandingkan kecenderungan biologis perempuan itu sendiri.

Faktor-faktor lain termasuk kecenderungan neurotisisme perempuan – yaitu kemungkinan mereka mengalami stres, depresi, dan ketidakpastian – serta tingginya tingkat keramahan, yaitu sikap kooperatif dan penuh kasih sayang.

Ia juga menyatakan bahwa menghapus kesenjangan upah bisa merugikan kepentingan perempuan, dengan mengganggu pilihan karier yang mereka sukai, seperti pekerjaan yang tidak terlalu menuntut.

Peterson bertanya, mengapa perempuan ingin bekerja dengan upah yang lebih tinggi?  Peterson berpendapat jika laki laki memiliki upah yang lebih tinggi dari perempuan karena laki laki secara fisik dan emosional lebih mampu dari perempuan. Laki laki juga memiliki upah yang lebih tinggi untuk menafkahi perempuan dan untuk keuntungan perempuan sendiri dalam karier yang mereka sukai dengan pekerjaan yang tidak terlalu menuntut.

Peterson menjelaskan: “Banyak perempuan berusia antara 28 dan 32 tahun, mengalami krisis karier-keluarga yang harus mereka hadapi. Saya rasa hal ini disebabkan oleh semakin pendeknya jangka waktu yang harus dihadapi perempuan. Perempuan harus menyelesaikan bagian-bagian penting dalam hidupnya lebih cepat dibandingkan laki-laki.”

Peterson menambahkan bahwa laki-laki lebih cenderung mampu bekerja 70-80 jam seminggu. "Laki-laki dan perempuan tidak sama dan tidak akan sama, namun bukan berarti perempuan tidak boleh diperlakukan secara adil," katanya.

Newman menanyakan pada Peterson mengapa hanya ada tujuh perempuan yang menjalankan perusahaan FTSE 100.

Peterson menjelaskan fenomena di mana pria dan wanita cenderung memilih jalur karir yang berbeda jika diberi kebebasan penuh untuk memilih berdasarkan keinginan pribadi mereka. Ini berdasarkan pengamatan yang terjadi di negara-negara Skandinavia, di mana terdapat kesetaraan gender yang tinggi dan kebebasan individu yang luas. 

Dalam contoh yang diberikan, terdapat perbedaan signifikan dalam pemilihan profesi antara pria dan wanita:

1. Di bidang keperawatan, ada perbandingan 20 berbanding 1, di mana lebih banyak wanita yang memilih menjadi perawat dibandingkan pria.

2. Di bidang teknik, jumlah insinyur pria dan wanita hampir sama.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa meskipun ada kesetaraan dan kebebasan dalam memilih, preferensi alami atau sosial mungkin mempengaruhi pilihan karir pria dan wanita, yang mengarah pada distribusi yang tidak merata di beberapa profesi.

Menurut perkiraan dari Pew Research Center, perempuan rata-rata memperoleh 82 persen dari gaji laki-laki untuk pekerjaan yang sebanding. Kesenjangan gaji antara pendapatan laki-laki dan perempuan ini memang nyata. Apa penyebabnya?

Salah satu pandangan yang umum adalah bahwa laki-laki cenderung mendapat bayaran lebih tinggi karena mereka lebih sering mempromosikan diri dan bernegosiasi untuk gaji yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Gagasan bahwa perempuan, dibandingkan laki-laki, kurang asertif dan tidak membela diri mereka sendiri ini diangkat dalam buku populer yang ditulis oleh mantan COO Facebook, Sheryl Sandberg (2013), serta dalam buku Women Don't Ask: Negotiation and the Gender Divide (Babcock dan Laschever, 2003). Namun, serangkaian penelitian baru yang diterbitkan dalam Academy of Management Discoveries (Kray, Kennedy, dan Lee, 2023) menunjukkan bahwa stereotip yang menyatakan perempuan tidak asertif dan tidak menegosiasikan gaji mereka adalah salah.

Ronald E. Riggio Ph.D. Dalam Artikelnya di  Psychology Today mengungkapkan Mungkin ada beberapa alasan lain. Umumnya, perempuan memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap tugas-tugas rumah tangga dan lebih cenderung mengambil waktu dari karier mereka untuk memiliki dan membesarkan anak dibandingkan laki-laki. Ada juga bukti bahwa perempuan mungkin memilih jalur karier yang kurang menguntungkan di sektor-sektor yang cenderung memberikan gaji lebih rendah, seperti pendidikan dan layanan kesehatan. Namun, hasil penelitian baru ini, bersama dengan penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa diskriminasi dan bias terhadap perempuan di dunia kerja adalah alasan utamanya.

Ronald membahas stereotip gender dalam kepemimpinan dan dampaknya terhadap kesenjangan upah. Berikut poin-poin utama dari tulisan tersebut:

1. Stereotip Kepemimpinan: 

Dalam posisi kepemimpinan, ada kecenderungan untuk melihat pemimpin prototipikal sebagai laki-laki yang memiliki kualitas maskulin seperti ketegasan, daya saing, dan dominasi. Sebaliknya, perempuan dianggap lebih komunal dengan sifat-sifat seperti suka membantu, mengasuh, dan baik hati.

2. Preferensi Terhadap Kualitas Agen: 

Dalam memilih pemimpin, ada preferensi terhadap kualitas agen (maskulin) seperti kekuatan dan ketegasan. Di banyak organisasi, pemimpin yang kuat lebih diutamakan.

3. Keyakinan yang Salah: 

Salah satu alasan psikologis yang menjelaskan diskriminasi gender dalam pekerjaan adalah kecenderungan untuk menyalahkan korban. Banyak pengusaha mungkin berpegang pada keyakinan yang salah bahwa perempuan tidak bernegosiasi atau membela diri mereka sendiri, bahwa mereka akan mundur dari karier untuk membesarkan anak, atau bahwa mereka kurang kompetitif dibandingkan laki-laki.

4. Kesenjangan Upah Gender: 

Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan upah berdasarkan gender bukan disebabkan oleh kurangnya upaya perempuan dalam memperjuangkan hak mereka, melainkan karena adanya diskriminasi dan stereotip yang melekat dalam pikiran para pengusaha.

Intinya, tulisan ini menyoroti bahwa diskriminasi gender dan stereotip negatif terhadap perempuan dalam kepemimpinan dan dunia kerja adalah penyebab utama kesenjangan upah, bukan karena kurangnya kemampuan atau usaha dari perempuan itu sendiri.

Dalam rangkaian penelitian ini, perempuan dan laki-laki dari masyarakat umum serta lulusan dengan gelar MBA ditanyai seberapa besar mereka mencoba menegosiasikan gaji awal yang lebih tinggi dan seberapa sering mereka meminta kenaikan gaji dan promosi di kemudian hari dalam karier mereka.

Hasilnya menunjukkan bahwa perempuan sebenarnya lebih banyak terlibat dalam negosiasi dibandingkan laki-laki. Namun, analisis terhadap gaji dan lintasan karir dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa perempuan dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki (kesenjangan upah berdasarkan gender) dan lebih cenderung ditolak untuk kenaikan gaji dan promosi.

Selain itu, ketika masyarakat ditanya apakah mereka yakin bahwa sebagian dari kesenjangan gender dalam upah disebabkan oleh perempuan yang tidak bernegosiasi, sejumlah besar laki-laki dan perempuan percaya bahwa hal tersebut benar, meskipun hasil penelitian membantah stereotip tersebut. Menariknya, laki-laki lebih cenderung percaya bahwa kurangnya negosiasi oleh perempuan menyebabkan kesenjangan upah dibandingkan perempuan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama