Youtube Damar Pratama Official.

Di dalam anime "Kimetsu no Yaiba" (Demon Slayer), terdapat beberapa elemen dan konsep yang dapat dikaitkan dengan filsafat Dokkodo, terutama dalam hal karakterisasi dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh beberapa karakter utama. 

Dokkodo adalah sebuah panduan filsafat yang ditulis oleh Miyamoto Musashi, seorang samurai legendaris dari Jepang pada abad ke-17. Dokkodo diterjemahkan sebagai "Jalan Menuju Kehidupan Tunggal" atau "Jalan Hidup Tunggal".

Ini adalah kumpulan prinsip dan ajaran yang mencerminkan pemikiran Musashi tentang bagaimana seseorang harus menjalani kehidupan dengan kebijaksanaan, integritas, dan kesederhanaan. Dokkodo menekankan kemandirian, penerimaan atas kematian, dan penolakan terhadap dunia yang terlalu berlebihan atau materi.

Dalam konteks perkembangan psikologi seperti yang diajukan oleh psikolog klinis dan perkembangan asal Amerika Serikat James Marcia, konsep identitas diri mengacu pada bagaimana seseorang mengeksplorasi dan berkomitmen terhadap berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti nilai-nilai, keyakinan, dan peran sosial. Mari kita aplikasikan konsep ini pada karakter Tanjiro Kamado dari anime "Kimetsu no Yaiba" (Demon Slayer):

Untuk menjelaskan bagaimana teori James Marcia menggambarkan perkembangan karakter Tanjiro Kamado dari "Demon Slayer" menuju nilai-nilai filsafat Dokkodo Miyamoto Musashi, kita bisa melihatnya dari perspektif tahapan identitas yang Marcia gambarkan, yang meliputi difusi, moratorium, pencarian, dan pencapaian identitas.

Berikut adalah beberapa bentuk filsafat Dokkodo dan perkembangan identitas yang bisa dilihat dalam anime ini:

1. Kemandirian dan Keteguhan Hati serta Identitas Difusi: 

Prinsip pertama dalam Dokkodo adalah Terima segalanya apa adanya. Tokoh utama, Kamado Tanjiro, menunjukkan kemandirian yang kuat dan keteguhan hati dalam mengejar tujuannya untuk menyelamatkan adiknya yang telah menjadi setan. Ini mencerminkan nilai-nilai kemandirian yang dipromosikan dalam Dokkodo.

Tanjiro secara emosional menerima kenyataan bahwa takdir telah membuat keluarganya meninggal dan adiknya, Nezuko, berubah menjadi iblis. Meskipun tidak dapat mengubah masa lalu atau kejadian yang telah terjadi, Tanjiro memilih untuk bereaksi dengan cara yang positif dan produktif.

Di dalam cerita, Tanjiro menunjukkan keteguhan hati yang kuat untuk terus maju, menemui tantangan, dan melindungi orang-orang yang dicintainya. Meskipun awalnya terpukul dan berduka, dia menemukan kekuatan dalam perasaan positif dan tekadnya untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab. Ini sejalan dengan prinsip penerimaan kenyataan dalam filsafat Jepang, di mana menerima takdir tidak hanya berarti pasif menerima, tetapi juga aktif menanggapi dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang teguh.

Dengan cara ini, Tanjiro memperlihatkan sikap yang bisa dikaitkan dengan filsafat seperti yang terdapat dalam Dokkodo atau nilai-nilai serupa yang menekankan kemandirian, keteguhan hati, dan tanggung jawab terhadap tindakan dan nasib yang telah diterima.

Pada awal cerita, Tanjiro mungkin dapat dikaitkan dengan tahap difusi identitas difusi. Dia awalnya hidup dalam keadaan yang relatif damai di desanya, tanpa pengalaman besar yang mempengaruhi nilai-nilai dan identitasnya secara signifikan. Namun, kehidupannya berubah drastis ketika keluarganya diserang oleh iblis, yang memulai proses pencarian identitasnya melalui kemandirian dan keteguhan hati.

Ini adalah tahap di mana individu belum melakukan eksplorasi serius terhadap pilihan-pilihan yang tersedia untuk mereka dalam hidup. Mereka mungkin tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan tertentu. Contohnya, seseorang mungkin masih mencoba-coba berbagai pekerjaan atau gaya hidup tanpa komitmen yang jelas.

2. Kesederhanaan, Keterampilan dan Moratorium Identitas: 

Konsep kesederhanaan dalam Dokkodo ditekankan melalui latihan keras dan pengembangan keterampilan. Tanjiro dan karakter lainnya seperti Giyu Tomioka menunjukkan dedikasi yang mendalam terhadap pelatihan dan pengembangan keterampilan bertarung mereka.

Dalam prinsip ke-4 Dokkodo  Mushashi mengajarkan untuk memikirkan diri sendiri secukupnya dan mendalam terhadap dunia. Tujuan Tanjiro dalam berjuang adalah untuk melindungi adiknya, Nezuko, dan juga untuk melindungi orang-orang agar tidak lagi menjadi korban iblis.

Tujuan hidup Tanjiro tidaklah terkait dengan mencari ketenaran atau pengakuan orang lain seperti Naruto yang ingin menjadi Hokage, Asta yang bercita-cita menjadi Kaisar Sihir, atau Deku yang ingin menjadi pahlawan nomor 1. Sebagai seorang pendekar pedang, Tanjiro sesuai dengan prinsip-prinsip Samurai Dokkodo Miyamoto Musashi yang menekankan pada keberanian, kejujuran, dan perlindungan terhadap yang lemah.

Setelah serangan iblis, Tanjiro tidak segera mencapai tahap pencarian identitas atau tujuan hidupnya. Sebaliknya, dia mengalami moratorium, di mana dia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar tentang kehidupan dan tujuannya. Dia menjalani pelatihan dan pertempuran sebagai bagian dari perjalanan eksploratifnya, mencoba untuk memahami peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang ksatria pembasmi iblis.

Pada tahap ini, individu aktif dalam proses eksplorasi untuk menemukan identitas mereka. Mereka mungkin sedang mencari nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan hidup yang sesuai dengan mereka, tetapi belum membuat komitmen yang kuat. Contoh dari moratorium identitas adalah remaja yang mencoba berbagai kegiatan ekstrakurikuler, mengeksplorasi nilai-nilai baru, atau mengejar berbagai karir sementara.

3. Penolakan Terhadap Keserakahan, Ambisi dan Pencarian Identitas: 

Seiring waktu, Tanjiro mulai menunjukkan tanda-tanda pencarian identitas. Dia terus menemukan nilai-nilai yang penting baginya, seperti melindungi saudara perempuannya, Nezuko, dan mempertahankan keyakinan moralnya bahkan dalam keadaan yang penuh dengan penderitaan dan pertempuran. Dia menjalani pencarian yang aktif untuk memahami lebih dalam misinya sebagai ksatria.

Ini adalah tahap ketika individu telah melakukan eksplorasi yang signifikan dan mulai membuat komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan tertentu dalam hidup mereka. Mereka telah mengidentifikasi apa yang penting bagi mereka dan mulai membentuk identitas pribadi mereka berdasarkan eksplorasi ini.

Prinsip Dokkodo nomor 5 adalah jangan terikat hawa nafsu. Karakter-karakter seperti Muzan Kibutsuji mengeksplorasi konsep penolakan terhadap keserakahan dan ambisi, yang merupakan tema sentral dalam Dokkodo. Sementara Muzan mewakili ambisi yang tidak terbatas, karakter-karakter seperti Tanjiro dan Hashira berusaha untuk hidup dengan sederhana dan bermakna.

Adegan di mana Muzan menghina Buddha dengan tema keserakahan dan ambisi sangat bertentangan dengan ajaran Dokkodo, yang menekankan kesederhanaan, penolakan terhadap keserakahan, dan penerimaan atas ketidakterikatan terhadap hal-hal duniawi. Dalam banyak ajaran Buddha Jepang, termasuk konsep dukkha (penderitaan) dan anicca (ketidakkekalan), diajarkan bahwa mengikat diri pada hal-hal duniawi, seperti kekayaan atau kekuasaan, akan membawa penderitaan karena semuanya tidak abadi.

Dalam konteks "Kimetsu no Yaiba", Muzan Kibutsuji digambarkan sebagai karakter yang sangat ambisius dan rakus akan kekuasaan dan keabadian. Sikapnya yang menghina Buddha bisa diinterpretasikan sebagai contoh keserakahan dan ambisi yang mendalam, di mana dia mengejar kekuasaan dan keabadian dengan cara-cara yang melanggar prinsip-prinsip moral atau spiritual yang diajarkan dalam ajaran seperti Dokkodo atau filsafat Buddha.

Sementara itu, karakter-karakter seperti Tanjiro dan Hashira lainnya dalam cerita mewakili nilai-nilai yang berlawanan, dengan fokus pada kebijaksanaan, kesederhanaan, dan penolakan terhadap keserakahan dalam perjuangan mereka melawan kejahatan. Konflik antara Muzan dan karakter-karakter seperti Tanjiro bisa dilihat sebagai perwujudan perlawanan antara ambisi yang tidak terbatas dan nilai-nilai yang lebih dalam tentang arti kehidupan dan keberadaan.

Pandangan Muzan terhadap Buddha dan para dewa sebagai omong kosong belaka menunjukkan sikapnya yang mencerminkan keserakahan, ambisi yang tidak terbatas, dan keangkuhan. Dia merasa bahwa kekuasaannya tidak bisa dihukum atau dikendalikan oleh kekuatan spiritual apapun, termasuk Buddha atau para dewa, karena dia menganggap dirinya lebih kuat dan lebih mampu daripada entitas rohani tersebut.

Dalam konteks Dokkodo atau filsafat yang menekankan kesederhanaan, kebijaksanaan, dan penolakan terhadap keserakahan, sikap Muzan adalah kontras yang jelas. Dia tidak hanya mengejar keabadian dan kekuasaan secara egois, tetapi juga menunjukkan ketidakpercayaan atau penolakan terhadap nilai-nilai spiritual atau moral yang mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan pengendalian diri.

Karakter-karakter seperti Tanjiro, yang mewakili nilai-nilai seperti keberanian, ketulusan, dan penerimaan atas kenyataan, berfungsi sebagai kontraposisi yang kuat terhadap Muzan. Mereka tidak hanya berjuang untuk melawan kejahatan tetapi juga untuk mempertahankan nilai-nilai yang lebih dalam tentang kehidupan dan keberadaan, yang jelas berbeda dengan pandangan destruktif Muzan yang mencerminkan keserakahan dan ambisi yang tak terbatas.

4. Penerimaan atas Kematian dan Pencapaian Identitas: 

Sesuai dengan prinsip Dokkodo nomor 17 Jangan takut mati. sedangkan nomor 8 adalah jangan bersedih karena perpisahan.

Salah satu aspek dan pencapaian identitas paling penting Dokkodo adalah penerimaan akan kematian. Karakter-karakter dalam "Kimetsu no Yaiba" sering dihadapkan pada kematian dan pengorbanan, yang mencerminkan nilai penerimaan kematian yang dipromosikan oleh Dokkodo.

Meskipun tidak secara eksplisit merujuk pada Dokkodo, "Kimetsu no Yaiba" menghadirkan tema-tema filsafat yang serupa melalui narasinya dan pengembangan karakternya, menyoroti nilai-nilai seperti keberanian, kemandirian, kesederhanaan, dan penerimaan atas kematian yang sejalan dengan ajaran Dokkodo.

Pada akhirnya, Tanjiro mencapai tahap pencapaian identitas. Dia telah membuat komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuannya sebagai ksatria pembasmi iblis. Tanjiro mempertahankan keyakinannya dalam menjalani tugasnya dengan keberanian dan komitmen, sambil tetap mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan empati.

Ini adalah tahap terakhir dalam proses identitas menurut Marcia. Pada tahap ini, individu telah menyelesaikan proses eksplorasi dan telah membuat komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan hidup tertentu. Mereka memiliki pemahaman yang jelas tentang siapa diri mereka, apa yang mereka inginkan dalam hidup, dan bagaimana mereka ingin mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Berikut adalah 21 prinsip Dokkodo yang dikutip dari tulisan asli Musashi:

1. Terima segala hal sebagaimana adanya.
2. Jangan cari kesenangan demi kepentingan sendiri.
3. Jangan tergantung pada emosi sesaat dalam menghadapi  situasi apapun.
4. Pikirkan diri anda secukupnya tapi mendalam terhadap dunia.
5. Jangan terikat hawa nafsu.
6. Jangan menyesali apa yang sudah dilakukan.
7. Jangan cemburu.
8. Jangan bersedih karena perpisahan.
9. Kekesalan dan keluh kesah tidaklah pantas untuk dirimu dan orang lain.
10. Jangan hanyut oleh nafsu asmara
11. Dalam segala hal jangan terikat pada pilihan tertentu.
12. Jangan persoalkan dimana kamu tinggal.
13. Jangan mengejar makanan makanan yang lezat.
14. Jangan terikat harta yang tidak kita butuhkan.
15. Percaya dirimu dan jangan bertindak mengikuti tahayul
16. Jangan mengumpulkan senjata atau berlatih dengan senjata di luar yang dibutuhkan.
17. Jangan takut mati.
18. Jangan tergiur untuk menguasai barang atau tanah di usia tua Anda.
19. Hormati Buddha dan para dewa tanpa berharap bantuan mereka.
20. Anda bisa korbankan diri sendiri tetapi harus menjaga kehormatan Anda.
21. Jangan menyimpang dari strategi.

Secara keseluruhan, Tanjiro Kamado dari "Demon Slayer" dapat dilihat mengalami perjalanan yang mencerminkan tahapan identitas menurut teori James Marcia, sambil menggabungkan nilai-nilai filsafat yang sejalan dengan ajaran Dokkodo Miyamoto Musashi. Perkembangan karakter Tanjiro memperlihatkan bagaimana melalui pencarian yang intensif dan pengalaman hidup, seseorang dapat mencapai kedalaman dalam identitas dan nilai-nilai pribadi mereka.

Sementara itu, nilai-nilai filsafat Dokkodo Miyamoto Musashi, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan pendekatan yang serupa terhadap keberanian, kekuatan pribadi, dan pertimbangan moral. Dokkodo menekankan pada keberanian untuk menghadapi kehidupan dengan hati yang tak terkalahkan, adaptasi terhadap situasi yang berubah, dan penghormatan terhadap kebenaran serta jalan yang benar.

(Damar Pratama Yuwanto/berbagai sumber)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama