Di tengah heningnya malam, aku duduk di sudut ruangan yang remang-remang, dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuanganku yang selalu siap menghunuskan bambu runcingnya. Tahun 1928 kami bersumpah jika kami memiliki tanah air, bangsa dan bahasa yang satu. Sumpah pemuda yang mempersatukan Indonesia di masa depan bergema dalam ingatanku. Namun, bangsa ini memiliki ancaman baru, Inggris menjanjikan tanah air kami, Indonesia kepada pemukim Yahudi yang datang atas tawaran Joseph Chamberlain,Sekretaris Koloni Inggris

Setelah peristiwa Perang Napoleon di Eropa, Inggris merebut Indonesia dari Belanda pada tahun 1811 dan mengklaim berkuasa sampai saat ini di tahun 1946 setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, karena dibatalkannya perjanjian Anglo-Dutch.

Joseph Chamberlain menawarkan Indonesia sebagai tanah air  Yahudi kepada Theodore Herzl, tokoh utama gerakan Zionisme di Eropa pada  tahun 1903.

Joseph Chamberlain mengusulkan  tanah Nusantara sebagai tanah air bagi orang Yahudi karena percaya ini dapat mengalihkan perhatian dari masalah dalam negeri Inggris.

Pada awal abad ke-20, ada beberapa proposal untuk mendirikan koloni bagi orang Yahudi di berbagai lokasi, termasuk Afrika, sebagai solusi untuk masalah anti-Semitisme di Eropa. Salah satu ide yang muncul adalah pemukiman di Uganda, yang dikenal sebagai "Uganda Proposal."

Proposal ini muncul pada saat Konferensi Zionis di 1903, di mana pemerintah Inggris, di bawah Joseph Chamberlain, menawarkan sebagian wilayah di Uganda sebagai tempat pemukiman bagi orang Yahudi.

Meskipun beberapa pemimpin Zionis mempertimbangkan tawaran ini, banyak yang menolaknya karena mereka ingin tanah air mereka berada di Palestina, yang memiliki ikatan sejarah dan religius bagi  Zionisme, Namun, karena berbagai potensi konflik etnis dan dikelilingi orang Arab yang sangat memusuhi Zionisme mereka akhirnya setuju untuk pindah ke Indonesia karena tanahnya juga jauh lebih luas dan subur daripada wilayah Levant.

Deklarasi tersebut muncul sebagai bagian dari strategi Inggris untuk mendapatkan dukungan dari komunitas Yahudi di seluruh dunia, terutama dalam menghadapi ancaman dari kekuatan Eropa lainnya. Dalam pandangannya, menjanjikan tanah yang kaya sumber daya ini dapat memperkuat posisi Inggris di Asia Tenggara, sekaligus menciptakan koloni baru yang loyal.

Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa janji ini akan berdampak langsung pada penduduk lokal. Di balik kata-kata yang menjanjikan, tersimpan niat untuk menaklukkan dan mengeksploitasi, mengabaikan hak-hak penduduk asli yang telah berjuang mempertahankan tanah mereka. Dengan pengabaian sejarah dan budaya yang mendalam, deklarasi ini memicu konflik yang tak terhindarkan, mengubah dinamika kekuasaan di kawasan yang kaya akan sejarah dan tradisi.

Kami Rakyat Indonesia, Pribumi Nusantara awalnya menyambut orang Yahudi yang mengungsi ke Indonesia dengan tangan terbuka, karena menjadi korban genosida Jerman Nazi, tapi kaum Zionis memutuskan menduduki tanah Indonesia karena mengangap pribumi Indonesia adalah bangsa yang miskin, bodoh, biadap dan terbelakang hingga mudah ditaklukkan dan diusir. 

Belum lagi November tahun lalu Inggris mendarat di Surabaya dan memaksa rakyat Indonesia angkat kaki dari tanah air kami dan menyerahkan tanah air kami kepada Zionisme, karena Inggris menuduh kami sebagai antek Penjajah Jepang yang fasis dan antisemit, kemerdekaan negara kami juga dituduh hadiah dari kaisar Jepang. Inggris berlagak menjaadi pahlawan dengan mengusir Orang Indonesia dari tanah airnya.

Sementara pemukim Yahudi datang dengan harapan akan masa depan yang lebih baik, Rakyat Indonesia merasakan ancaman nyata terhadap identitas dan eksistensi kami. Janji Inggris ini, yang tampaknya menjanjikan, ternyata menjadi awal dari kesengsaraan dan perjuangan panjang yang akan menguji ketahanan dan keberanian bangsa yang telah lama bertahan di tanah ini.

Satu suara dalam hatiku berteriak, "Ini tanah kita!" Namun, suara lain muncul, mempertanyakan: apakah kita akan membiarkan impian merdeka terampas lagi? Kaum Zionis datang dengan harapan dan keyakinan mereka, tetapi aku melihatnya sebagai penjajahan baru. Aku tak bisa tinggal diam. 

Di pasar, aku mendengar bisikan kaum Yahudi tentang impian mereka membangun negara di tanah yang telah dikuasai Inggris. Aku marah, bukan hanya karena tanah ini, tetapi karena harapan akan kemerdekaan kami semakin kabur. Kawan-kawanku percaya bahwa kita bisa berjuang bersama, tetapi aku meragukan niat mereka. 

Suatu malam, aku berdiri di depan orang-orang yang mulai bersemangat dengan kedatangan mereka. "Apa yang kita inginkan?" tanyaku. "Kemerdekaan!" jawab mereka. "Maka, mari kita lawan siapa pun yang mencoba mengklaim tanah kita!" Terpancar semangat di wajah mereka, tetapi bayangan keraguan tetap menghantui hatiku.

Di tengah ketegangan yang semakin meruncing, para pemukim Zionis yang mengaku sebagai bangsa paling spesial pilihan tuhan itu mulai menunjukkan sikap merendahkan terhadap penduduk asli. Mereka melihat kami sebagai orang yang primitif, kurang beradab. Dalam interaksi sehari-hari, ejekan dan sindiran sering terlontar, menciptakan jurang yang lebih dalam antara kami.

Bangsa pilihan tuhan itu menghina fisik kami, memandang warna kulit kami yang sawo matang dengan tatapan sinis dan jijik.

Di pasar, ketika kami bertransaksi, mereka sering melontarkan kata-kata kasar. “Orang-orang ini tidak tahu cara berbisnis,” kata mereka dengan nada mengejek, saat kami berusaha menjelaskan harga barang. Mereka meremehkan budaya kami, menganggap tradisi masyarakat Indonesia yang telah diwariskan selama berabad-abad sebagai sesuatu yang terbelakang.

Di desa, anak-anak kami sering menjadi sasaran hinaan. "Anak-anak liar, tak berpendidikan," kata salah satu pemukim, sambil tertawa, saat melihat mereka bermain. Ini bukan hanya sekadar hinaan; itu adalah upaya untuk mengikis harga diri kami sebagai bangsa.

Satu malampun kalian tak akan pernah bisa mengalahkan kami.” Tawa mereka menggema, membuat kami merasa kecil. Kami mengadakan pertemuan di balai desa, beberapa pemukim mendekat, tertawa dengan sinis. “Apa yang kalian rencanakan? Berperang dengan kami?” salah satu dari mereka berteriak. “Kalian tidak ekan.

Ketika aku mendengar hinaan ini, hatiku teriris. Tidak hanya tanah kami yang terancam, tetapi juga martabat kami sebagai manusia. Kami mungkin tidak memiliki senjata yang sama, tetapi kami memiliki hak untuk dihormati.

Semangat untuk melawan semakin menyala di dalam diriku. Aku sadar, kami harus mengubah ejekan menjadi kekuatan. Kami bukan makhluk yang tak berdaya; kami adalah penjaga tanah ini, dan kami akan berjuang untuk keberadaan kami, bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk semua generasi yang akan datang.

Kedatangan para pemukim Zionis ke Indonesia tidak hanya menghadirkan harapan baru bagi mereka, tetapi juga ancaman nyata bagi kami, penduduk lokal. Inggris, melalui deklarasi Balfour, telah menjanjikan tanah ini kepada mereka, dan janji itu mulai terlihat dalam tindakan nyata.

Di desa-desa, aku menyaksikan pemukim Yahudi mendirikan pemukiman baru, mengusir penduduk yang telah tinggal di sana selama beberapa generasi. Mereka membawa alat berat, menggusur rumah-rumah kami, dan mengklaim tanah yang selama ini kami garap. Ada ketidakberdayaan yang mendalam saat melihat tanah yang telah kami rawat dengan keringat dan air mata berpindah tangan begitu saja.

Para pemukim datang dengan cara mereka sendiri. Mereka mengisolasi kami, membangun pagar-pagar tinggi di sekitar wilayah mereka. Di pasar, suara mereka lebih lantang; mereka membeli tanah dengan harga yang tidak bisa kami tolak, seolah memberi kami pilihan. Namun, pilihan itu hanyalah ilusi. Diskriminasi semakin nyata; mereka tidak ingin berinteraksi, menganggap kami sebagai penghalang bagi impian mereka.

Di suatu malam, kami berkumpul di balai desa untuk membahas situasi ini. Suasana gelap, hanya diterangi oleh cahaya lilin. Kawan-kawanku berbicara tentang perlawanan, tetapi ketakutan menyelimuti hati kami. "Mereka memiliki dukungan Inggris," kata salah satu teman. "Apa yang bisa kita lakukan?"

Aku merasakan ketidakadilan ini, dan marah semakin membara. Dalam hati, aku berjanji bahwa kita tidak boleh membiarkan diri kita terpuruk lebih jauh. Kami harus melawan, tidak hanya untuk tanah yang kami miliki, tetapi untuk masa depan anak-anak kami.

Kami merencanakan aksi damai, mengumpulkan penduduk untuk menunjukkan penolakan kami terhadap pengusiran ini. Namun, di balik semua itu, aku merasa keraguan menggerogoti semangatku. Bagaimana jika semua ini sia-sia? Bagaimana jika kita hanya memperparah situasi?

Suatu sore, saat matahari terbenam, aku melihat para pemukim Yahudi berkumpul untuk merayakan pencapaian mereka. Dari jauh, aku melihat mereka menari dan bernyanyi, seolah tak peduli pada tangis kami yang terpendam. Saat itulah aku sadar; kami harus bersatu, meskipun dalam ketidakpastian, demi masa depan yang lebih baik. Kami tidak bisa menyerah.

Ketika malam tiba, kami mengangkat bambu runcing bersama, menantang Tirani Zionisme yang berusaha menghapus identitas kami. Suara kami mungkin kecil, tetapi kami bertekad untuk membuatnya bergema. Kami bukan hanya berjuang untuk tanah, tetapi untuk hak kami sebagai manusia. Semangat ini, meski rapuh, akan menjadi cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti Nusantara.

Kami mungkin bangsa yang mudah terpecah belah hingga dijajah bangsa asing selama berabad-abad, kaum Zionis yang merupakan bangsa pilihan tuhan itu mungkin mengusir kami, bangsa yang hina ini dari tanah nenek moyang kami karena kebodohan kami sendiri.

Tapi aku hanya memiliki tiga kata untuk kalian demi mempertahankan kemerdekaan tanah airku dalam perang abadi, wahai Zionis Biadap! MERDEKA ATAU MATI!!!

(Damar Pratama Yuwanto)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama