Aku seorang hakim, terjebak dalam dilema moral dan hukum yang belum pernah aku hadapi sebelumnya. Di ruang sidang, aku melihat dua pihak yang sama-sama mengklaim hak atas tanah milik Albert, seorang ilmuwan yang telah meninggal. Di satu sisi, ada A1-bert, robot yang menampung kesadaran Albert, dan di sisi lain, Leo, seorang anak berusia 15 tahun mengklaim sebagai reinkarnasi dari jiwa Albert.
Di tahun 2145, kemajuan teknologi telah mencapai puncaknya. Kesadaran manusia dapat dipindahkan ke dalam tubuh robot, memberi kesempatan untuk hidup selamanya dalam bentuk yang baru.
A1-bert, dengan ingatan dan pengalaman hidup Albert, menjalani kehidupan baru sebagai entitas robot. Dia menjadi simbol kemajuan teknologi dan kebangkitan hidup, namun merindukan keterhubungan dengan dunia manusia.
Disisi lain, jiwa Albert bereinkarnasi menjadi seorang anak bernama Leo, yang lahir di kota yang sama. Leo tumbuh besar dengan kenangan samar tentang hidup sebelumnya, sering merasa ada sesuatu yang hilang. Mereka adalah dua tubuh berbeda yang mewarisi ingatan dan kesadaran dari orang yang sama. Dua jiwa, masing-masing menginginkan apa yang dianggap sebagai milik mereka, sama sama merasa berhak atas seluruh tanah, rumah dan harta kekayaan Albert.
Ketika warisan Albert, sebuah rumah dan tanah luas, menjadi sengketa. Baik A1-bert maupun Leo mengklaim haknya. Setiap hari, aku menyaksikan argumen demi argumen. A1-bert memperlihatkan bukti transfer memorinya. Ia dapat berbicara tentang masa lalu Albert dengan detail yang mencengangkan. Namun, Leo, dengan ingatan yang dijelaskan melalui saksi-saksi, menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan emosional dengan kehidupan Albert. Leo dapat menjelaskan detail-detail kehidupan Albert kepada saksi-saksi yang mengenalnya untuk membuktikan jika dia memang reinkarnasi dari ilmuwan itu.
Di pengadilan, suasana tegang. Pengacara A1-bert menekankan bahwa robot tersebut adalah kelanjutan dari Albert, sementara pengacara Leo menegaskan bahwa reinkarnasi membawa hak atas warisan tersebut. Saat aku merenungkan bukti-bukti ini, aku merasa semakin tertekan.
Ketika sidang berlanjut, aku memutuskan untuk mengambil pendekatan berbeda. Aku meminta kedua belah pihak untuk berbicara secara langsung. Diskusi ini menjadi momen penting, di mana mereka mulai saling memahami keinginan masing-masing.
Dua klaim ini mengusik pikiranku, menantang konsep dasar tentang identitas dan kepemilikan. Berhubung hukum di negara ini tak menyebutkan undang-undang terkait kasus aneh ini, aku mulai menyerah. Kasus ini tak bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Aku ingin mereka menemukan jalan tengah, bukan hanya untuk kepemilikan tanah, tetapi juga untuk membangun hubungan yang lebih dalam.
Kasus paling aneh dalam hidupku ini membawaku pada pertanyaan yang lebih mendalam: Apa sebenarnya jiwa dan kesadaran itu? Jika ingatanku ditransfer ke robot seperti Albert, sementara jiwaku bereinkarnasi, mana diriku yang asli? Siapa yang berhak mengklaim sebagai penerusku?"
Siapa yang lebih berhak? Robot yang mewarisi ingatan atau jiwa yang baru lahir? Apa artinya hak milik dalam konteks ini? Aku mengingat kembali prinsip-prinsip hukum yang kupelajari, tetapi situasi ini jauh lebih kompleks daripada sekadar hukum positif.
Posting Komentar